Di Marunda, di sekitar terminal peti kemas dekat pantai, terdapat makam jagoan tempo dulu. Tapi ini bukan Si Pitung atau Si Jampang jagoan Betawi yang konon punya darah Marunda. Ini makam Kapitan Jonker, perwira VOC yang berkarir sekitar 1659 - 1680 - an. Meski terdengar Eropa, pemilik nama Jonker bukanlah orang Eropa. Bahkan dia ini beragama Islam. Jonker seorang berdarah Nusantara, nama aslinya Ahmad Kawasa, bangsawan dari Manipa, Maluku.
Saat muda, saat masih bernama Pangeran Ahmad, Jonker terlibat dalam Perang Hoamoal, atau dikenal dalam sejarah dunia sebagai The Great Ambon War 1651 - 1656. Jonker dalam perang itu menjadi salah satu anggota pasukan Maluku untuk melawan keberadaan VOC. Dalam peperangan itu, Pasukan Maluku mengalami kekalahan, sehingga Jonker beserta keluarganya menjadi tawanan. Sebagai tawanan, Jonker dkk kemudian dikirim ke Batavia menjadi budak VOC. Tetapi entah bagaimana ceritanya, Jonker malah mendapat kesempatan untuk menjadi serdadu VOC setiba di Batavia. Kemungkinan, opsir - opsir VOC telah mengendus bakat hebat ketentaraanya.
Insting para petinggi VOC kelihatanya menemui kebenaran. Jonker menjadi prajurit pilih tanding setelah berseragam VOC. Dengan skuad Maluku yang dipimpinnya, Jonker tampil gemilang di setiap penugasan misi militer VOC. Karena itu, dia dapat gelar Jonker, artinya raja muda. 'Joncker Jouwa van Manipa', artinya lebih kurang dalam bahasa kita 'raja muda dari pulau Manipa'. Satu gelar ini menjadi pengakuan dan sanjungan atas prestasi mengkilap Kapitan Jonker.
Selama berkarir militer bersama VOC, Jonker terlibat banyak misi penting. Beberapa misalnya Ekspedisi VOC di Srilangka serta India 1657 - 1658, Perang Minangkabau 1666, Perang Makasar melawan Sultan Hasanuddin 1666 - 1667, maupun Perang Trunojoyo di 1680 - an. Hampir semua misi itu dapat diselesaikan Jonker dengan gemilang. Aliansi Jonker dengan pejabat VOC: Cornelis Speelman (kelak Speelman sempat menjabat Gubernur Jenderal di Batavia), serta Arung Palakka seorang Pangeran Bugis, menjadi salah satu inti kekuatan VOC dalam gerak bisnis dan politik perusahaan. Secara khusus, Trio Speelman - Jonker - Palakka, menjadi resep manjur VOC dalam memberangus kekuatan - kekuatan lokal penentang dan musuh kekuatan asing di Perairan Nusantara. Karena kontribusi karirnya terhadap VOC, Jonker sempat mendapat hadiah berupa wilayah kekuasaan khusus dari pimpinan VOC. Daerahnya ada di Marunda, namanya Pejongkeran, salah satu areal di Jakarta Utara sekarang.
Tapi itulah, di dunia fana tidak ada yang abadi. Saat Speelman lengser dari jabatan Gubernur Batavia, kemudian Palakka sudah mapan dengan posisinya di Bone, maka tinggallah Jonker sendirian di Batavia. Lawan - lawan politik Speelman, utamanya Isaac de Martin mulai banyak mengusik ulang rekor karir Speelman yang terkenal korup itu. Jonker jadi kena getahnya. Posisi Jonker sering mendapat tekanan dari para mantan lawan politik Speelman. Menurut rumor, Jonker sempat berusaha menggalang komunikasi dengan penguasa lokal, macam di Banten dan Mataram untuk mempertahankan diri. Tetapi nampaknya tidak terlalu memperoleh hasil.
Yang pasti perseteruan Jonker dan para Petinggi VOC menjadikan suasana di Batavia memanas. Bermacam kerusuhan timbul karenanya. Dalam satu kekacauan pada 23 Agustus 1688, pecah baku tembak mematikan. Jonker tertembak dalam kerusuhan itu, kemudian badannya ditebas pedang opsir VOC bernama Letnan Holcher. Jasad Jonker 'dikeler', untuk kemudian dipamerkan di tengah Kota Batavia selama 3 hari, sebelum kemudian dimakamkan di Marunda, bekas wilayah kekuasaannya.
Kisah Jonker, atau Pangeran Ahmad, atau ada juga yang menyebutnya Pangeran Jafar Maluku ini memang hitam - putih. Buat kita kebanyakan di Indonesia, agak sulit menghakimi posisi Jonker. Jonker dapat disebut sebagai penghianat dalam riwayat Indonesia, karena selama karir, Jonker sering berada di kubu 'lawan' untuk menekan para pahlawan tradisional jagoan kita. Tetapi Jonker dapat disebut juga pahlawan, terutama oleh keluarga dan kaumnya. Keputusan Jonker untuk bergabung dengan VOC membebaskan kemungkinan kehidupan kelam sebagai budak tawanan perang bagi orang - orang Maluku saat itu. Lagipula, kalau didasarkan pada nilai nasionalisme, Jonker tentunya masih belum mengenal konsep tersebut di masanya. Ini karena konsep nasionalisme Indonesia baru timbul pada awal - awal tahun 1900 -an, ratusan tahun setelah Jonker terbunuh. Hingga hari ini,nama Kapitan Jonker masih sangat dihormati oleh sebagian komunitas Maluku di Jakarta.
Kontroversi tentang Kapitan Jonker memang masih menarik dibicarakan. Hingga hari ini, penghianat ataukah pahlawan buat Jonker, sangat bergantung subjektifitas sudut pandang pengamatan semata. Tetapi, barangkali saja, Jonker, sebagai seorang manusia biasa, hanyalah berusaha untuk pragmatis dalam merespon perubahan hidupnya. Bertahan dari tekanan, untuk kemudian mendapatkan kehidupan yang layak bagi diri, keluarga maupun sukunya, adalah pemikiran lumrah bagi setiap manusia. Jonker sebagaimana kebanyakan manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mungkin hanya dapat menjalani garis suratan, tetapan baku dari Allah Ta'ala, Tuhan Sang Serba Maha.
Wallahu alam.
Foto Ilustrasi: Makam Kapitan Jonker, Marunda, Cilincing, Jakarta (Foto: Gam)
No comments:
Post a Comment