Peristiwa penting terjadi pada Hari Minggu, tanggal 7 Desember
1941, saat Armada Kekaisaran Jepang melancarkan operasi militer kearah
Pangkalan Angkatan Laut (AL) Amerika Serikat (AS) di Perairan Mutiara, atau
dikenal sebagai Pearl Harbor, Pulau Oahu, Hawaii. Sebanyak 353 pesawat tempur
laut AL Jepang terbagi dalam dua gelombang, menjadi pelaku utama dalam agresi
yang berlangsung sejak pukul 8.00 pagi waktu setempat, hingga sekitar 2.5 jam
setelahnya. Hasilnya sangat spektakuler dan memuaskan bagi fihak penyerang.
Serangan udara berhasil menghajar 19 kapal AS yang sedang bersandar di
pangkalan, dengan 6 kapal utama berhasil ditenggelamkan. Tak kurang 188 pesawat
tempur milik Dinas Udara AS juga berhasil dilumpuhkan, dan lebih dari 2000
personel AS kehilangan nyawa dalam serangan tersebut. Termasuk juga
gudang-gudang senjata, lapangan terbang serta bengkel militer menjadi sasaran
amuk pesawat-pesawat Jepang. Kemenangan di Pearl Harbor disambut penuh suka
cita pihak militer Jepang. Keyakinan bahwa kekuatan negeri-negeri kulit putih
di Asia dapat dilemahkan semakin menebal. Dan perwujudan adanya Kekaisaran
Jepang yang membentang dari Semenanjung Kamchatka hingga Kepulauan Hindia di
Laut Selatan bukanlah impian mengada-ada.
Dibalik keberhasilan misi AL Jepang tersebut, seorang Perwira AL
Jepang justru terlihat tidak bergembira. Perwira yang tak lain adalah Isoroku
Yamamoto, seorang laksamana (admiral) Pimpinan Tertinggi AL Jepang, sekaligus
perancang skenario penyerangan ke Perairan Mutiara. Di benak Yamamoto, misi ke
Hawaii merupakan serangan yang jauh dari sempurna, bahkan mungkin juga dapat
dikatakan suatu kegagalan. Tak mengherankan saat Pimpinan AL Jepang melakukan
‘kanpai’ (toast) untuk merayakan kemenangan di Pearl Harbor, Yamamoto
sama sekali tak berselera untuk minum sake kesukaannya. Yamamoto malah memilih
menyendiri keluar dari kerumunan rekan-rekannya. Pikiran Yamamoto yang sibuk
selama berbulan-bulan untuk mempersiapkan strategi menyerang Pearl Harbor,
menjadi semakin kusut setelah operasi militer usai dilaksanakan.
Apa yang menjadikan Yamamoto muram cukup beralasan. Tujuan utama
serangan ke Hawaii adalah melumpuhkan kekuatan Armada Amerika di Pasifik. Dan
sebagai seorang yang berpikiran maju, Yamamoto tahu benar bahwa kekuatan utama
dalam perang laut modern terletak pada kapal induk (carrier) yang mampu
melontarkan puluhan sampai ratusan pesawat tempur untuk menjangkau sasaran
dengan radius yang jauh. Karenanya Yamamoto berharap serangan mendadak ke Pearl
Harbor selain dapat merusakkan kapal perang utama (battleship), dapatlah
pula untuk memberangus kapal induk milik AS yang biasa mangkal disana. Tetapi, laporan dari Laksamana
Chuichi Nagumo, pimpinan lapangan dari serbuan ke Pearl Harbor, memberitakan
bahwa serangan Jepang tidak membawa korban dalam bentuk kapal induk AS. Inilah
yang menjadikan Yamamoto kecewa setelah laporan hasil serangan Jepang memasuki
meja kerjanya.
Kekecewaan Laksamana Yamamoto berasal pula dari tidak rapinya
koordinasi yang dibangun antara dirinya sebagai mastermind serangan ke Pearl Harbor, dengan
Laksamana Nagumo sebagai komandan operasional di lapangan. Secara personal,
Yamamoto memang tidak terlalu yakin dengan Nagumo, seorang perwira senior dan
sebenarnya cukup berpengalaman. Tetapi Nagumo tidak memiliki spesialisasi untuk
bertempur dengan kapal induk. Sempat terbersit bahwa serbuan ke Hawaii dapat
dilakukan perwira yang lebih sejalan dengan pikiran Yamamoto. Namun, Yamamoto
pun mengerti bahwa tradisi hirarki kemiliteran Jepang tidak memungkinkan
baginya untuk melakukan pemilihan personil sesuai dengan yang dia butuhkan.
Kekecewaan itu menjadi semakin besar setelah Yamamoto mengetahui
bahwa Nagumo sebenarnya memiliki informasi bahwa pada waktu operasi
dilangsungkan, tak satupun kapal induk AS bakal ditemui di Hawaii. Sekitar enam
jam sebelum penyerangan dimulai, Dinas Intelijen Jepang sudah memberitahu
Nagumo mengenai kepastian tidak adanya Kapal Induk AS di Oahu. Tetapi Nagumo
lebih tertarik pada satu sisi laporan yang menyatakan bahwa personil AS di
Pearl Harbor dalam keadaan yang sangat santai. Pihak AS diberitakan tidak
memiliki persiapan apapun untuk sebuah aksi militer. Nagumo berkeinginan untuk
dapat lebih memanfaatkan unsur mendadak (surprise), kemudian menimbulkan
kepanikan di pihak lawan, sehingga dapat menambah efektifitas suatu agresi.
Tanpa berkonsultasi terlebih dulu kepada Yamamoto, Nagumo memutuskan untuk
tetap melaksanakan rencana semula, yaitu menciptakan kerusakan kapal perang
serta fasilitas di pangkalan utama, untuk dapat memberi pukulan moril kepada
Armada AS di Pasifik. Tetapi, pendapat Nagumo ini di belakang hari terbukti overestimate. Banyak tulisan
mengungkap jika saja Nagumo melaporkan bahwa tak akan ditemui satupun Kapal
Induk AS di Pearl Harbor, besar kemungkinan Yamamoto akan mengajak Nagumo
beserta para ajudannya, untuk berdiskusi ulang mengenai jalannya penyerangan.
Evaluasi yang dilakukan Yamamoto terhadap operasi di Pearl
menemukan pula fakta tambahan tentang ketidaksempurnaan eksekusi. Daftar
kerusakan fasilitas AS di Hawaii tidak menyertakan adanya instalasi pendukung
pangkalan berupa tangki-tangki minyak, dok reparasi serta dok kapal selam
sebagai korban sasaran pemboman. Sesuai instruksi awal Yamamoto, gudang minyak
dan fasilitas pendukung berada pada skala prioritas sasaran yang amat rendah,
karena yang menjadi fokus adalah kapal induk dan kapal perang utama AS. Jika
tangki-tangki minyak dijatuhi bom, maka akan menimbulkan asap tebal yang
mengganggu aksi para pilot Jepang saat menghadapi perlawanan pilot-pilot laut
maupun artileri pertahanan udara milik AS. Tetapi sebenarnya dengan tidak
adanya kapal induk, tugas pemboman menjadi lebih mudah, dan penghancuran
fasilitas pendukung bisa naik prioritasnya sebagai target sasaran. Sebagaimana
diketahui, kecuali kapal perang beserta instalasi utama, seluruh fasilitas
pendukung pangkalan milik AS di Oahu, termasuk fasilitas intelijen tidak sempat
ditengok pesawat pembom Jepang.
Sebenarnya para kapten skuadron terbang di armada Nagumo sempat
mengusulkan adanya pengiriman misi udara tambahan untuk meledakkan
fasilitas-fasilitas pendukung yang masih tersisa. Tetapi usulan tersebut tidak
ditindaklanjuti oleh para komandan operasional penyerangan. Keputusan ini
sekilas terdengar wajar mengingat rekor capaian misi udara Jepang hari itu
sudah melampaui target yang direncanakan. Apalagi saat itu cuaca di Laut
Pasifik mulai memburuk, hari yang sudah menjelang sore (pada masa itu, hanya AL
Inggris yang berkemampuan untuk beroperasi dengan kapal induk di petang hari) dan
meningkatnya kesigapan artileri anti-pesawat AS, menjadikan pengiriman misi
udara tambahan akan sangat beresiko, serta dapat merusak suasana kemenangan
yang sudah di tangan. Tetapi konsekuensi dari terlewatnya target pendukung
pangkalan laut menjadikan tujuan utama serangan Jepang, yakni memaksa Armada AS
keluar dari kancah panas di Pasifik belum tercapai. Selain Yamamoto, hanya
sebagian saja para perwira di kemiliteran Jepang yang menyadari bahwa blunder dari misi di Mutiara tersebut
merupakan kerugian yang sangat besar bagi Jepang. Chester Nimitz, seorang
perwira AL yang ditugaskan oleh Presiden Roosevelt memimpin Armada AS di
Pasifik setelah aksi Jepang di Hawaii, pernah berujar dalam memoarnya;
”Jika saja fasilitas-fasilitas itu (sempat) disapu armada Jepang,
Operasi Militer AS di Pasifik dapat tertunda paling tidak hingga dua tahun
lamanya”.
Lewat modal fasilitas pangkalan serta armada kapal induk yang
relatif utuh, ditambah kemampuan adaptasi strategi yang fleksibel, pihak
Amerika dapat secara cepat menyusun perlawanan balasan.
Satu hal lagi yang cukup merisaukan pikiran Yamamoto adalah fakta
bahwa Deklarasi Perang Jepang baru diterima petinggi AS di Washington DC
setelah serangan usai dilancarkan. Peristiwa ini sebenarnya tidak dikehendaki
oleh kalangan elit militer Jepang. Rencananya, deklarasi perang dapat didengar
petinggi AS sekitar 30 menit sebelum operasi militer Jepang dimulai. Karena
kendala teknis dalam penerjemahan kode kiriman Tokyo kepada staf Kedubes Jepang
di DC, Deklarasi Perang Jepang baru diterima pihak AS beberapa jam setelah
Perairan Mutiara luluh lantak. Para petinggi militer Jepang, terutama Yamamoto
pun sadar, keterlambatan itu berarti pula bahwa serangan rancangannya berubah
arti, dari sebuah pesan tegas kepada militer dan pejabat AS, menjadi sebuah
pembokongan kepada seluruh rakyat Amerika. Yamamoto yang pernah beberapa tahun
tinggal di AS untuk keperluan studi, paham sikap orang Amerika yang menggelegak
jika harga diri mereka terkena sesuatu yang bersifat pengecut. Sikap penjagaan
harga diri dari orang Amerika, dalam benak Yamamoto, akan mampu menggerakkan
industri di Amerika menjadi kekuatan yang sangat mengerikan. Jika itu terwujud
maka akan sulit bagi militer Jepang untuk menandinginya, apalagi jika
peperangan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
(Pandangan Laksamana Yamamoto tentang kecilnya kans Jepang dalam
Perang Pasifik sejalan dengan pendapat beberapa koleganya misalnya saja
Laksamana Soemu Toyoda, yang pada babak akhir Perang Pasifik ditunjuk menjadi
Pimpinan Tertinggi AL Jepang).
Tidak sempurnanya serangan Jepang di Pearl Harbor cukup menghantui
pikiran Yamamoto selama Perang Pasifik berlangsung. Hingga hari naas
kematiannya saat pesawat Yamamoto ditembak jatuh Operasi Udara AS di Kepulauan
Solomon pada 18 April 1943, tak banyak yang tahu bagaimana suasana batin
pahlawan perang Jepang tersebut. Yang pasti, apa yang dikhawatirkan Yamamoto
memang menjadi kenyataan. Keunggulan Jepang di Pasifik praktis hanya berumur
sekitar 6-8 bulan saja setelah Pearl Harbor terbakar. Selanjutnya hingga perang
berakhir pada tahun 1945, Jepang lebih sering mengambil posisi defensif.
Tetapi, di mata para analis sejarah, sebenarnya kesalahan terbesar
dari operasi militer di Perairan Mutiara adalah keputusan untuk menyerang itu
sendiri. Penyerangan Pearl Harbor dipicu kekhawatiran akan munculnya intervensi
AS kepada tindakan agresif Jepang dalam mewujudkan Kekaisaran Asia Timur Raya.
Sebenarnya, sebelum Pearl Harbor diserang, mayoritas warga AS, sebagaimana
tercermin dari sikap para senator di Kongres, sama sekali tidak memiliki
ketertarikan dengan isu-isu peperangan. Bisa dimaklumi, karena AS berada pada
kondisi yang tenteram, tak ada kepentingan dengan Perang Dunia yang saat itu
sudah kurang lebih 2 tahun berkecamuk. Yang terancam langsung dengan rencana
Asia Timur Raya milik Jepang sebenarnya kekuatan lama Eropa di Asia macam
Inggris, Perancis dan Belanda, bukan Amerika Serikat. Lagipula, Amerika Serikat
waktu itu bukan negeri yang begitu dominan pengaruh politiknya seperti pada periode
paska Perang Dunia II. Sehingga keputusan Jepang untuk menggempur fasilitas
Amerika di Pasifik sebenarnya agak berlebihan.
Bagi masyarakat di Indonesia, peristiwa serangan di Pearl Harbor
dikenang sebagai pembuka babak penting menuju kemerdekaan. Dengan ditebus
penderitaan lahir dan batin di masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dapat
mengenal dasar-dasar kemiliteran modern melalui organisasi paramiliter bentukan
Jepang macam Heiho dan PETA. Selanjutnya, para pemuda hasil gemblengan Jepang
juga memainkan peran yang tidak sedikit untuk tercetusnya Proklamasi
Kemerdekaan, selang beberapa hari saja setelah Jepang menyerah tanpa syarat
kepada kekuatan Sekutu, 15 Agustus 1945.
No comments:
Post a Comment