Monday, December 20, 2010

Salya Gugur I: Narasoma


Cerita Narasoma dipetik dari Epik Mahabharata yang banyak dipengaruhi versi Pewayangan Nusantara. Versi asli Mahabharata menceritakan adanya nama Salya, seorang raja dari daerah Madras, India. Saat akan pecah Perang Bharatayudha, Salya berkeinginan memberikan dukungan kepada Pandawa, akan tetapi di tengah jalan tertipu bujuk rayu Duryudana. Hingga akhirnya dalam Perang Bharatyudha di Kurukhsetra, Salya tergabung dengan kubu Kurawa dari Hastinapura.

Versi Nusantara menceritakan kehidupan Sri Salya secara lebih panjang lebar. Salya saat masih muda bernama Narasoma, Pangeran Mahkota dari kerajaan Mandaraka. Saat beranjak dewasa, Narasoma didesak oleh ayahnya, Prabu Mandrapati (ada juga yang menyebut Prabu Mandradipa) agar segera mencari pasangan hidup, sehingga tahta Mandaraka dapat segera dilakukan suksesi. Prabu Mandrapati bermaksud untuk lengser keprabon, madheg pinandhita (suatu cerita yang diambil kebiasaan dari raja – raja Indonesia di masa Hindu).

Narasoma masygul, enggan untuk memenuhi keinginan Sang Ramanda. Ia merasa belum cukup umur dan masih bercita-cita mencari ilmu dari berbagai guru yang ada di pertapaan – pertapaan terpencil. Narasoma pun minggat dari istana saat tekanan untuk menikah dari keluarga semakin kuat.

Di dalam perjalanan, Narasoma bertemu pendeta sakti berwujud raksasa bernama Bagaspati. Pertemuan ini suatu kebetulan, karena Bagaspati telah berjalan berhari-hari dengan maksud untuk bertemu dengan Narasoma. Bagaspati diminta oleh anak perempuan tunggalnya untuk dipertemukan dengan Narasoma. Konon, Narasoma telah membuatnya jatuh cinta lewat mimpi-mimpi yang dialami setelah bertapa untuk mendapatkan jodoh. Mendengar cerita ini, Narasoma menolak. Dia merasa enggan untuk harus menikahi seorang raseksi (raksasa perempuan), meski itu anak seorang brahmana sakti. Singkat kata terjadi perkelahian antara Narasoma dan Bagaspati, Narasoma mengalami kekalahan. Dengan berat hati Narasoma menuruti Bagaspati untuk dibawa ke pertapaannya di Argobelah. Sesampai di Argobelah, Narasoma kaget bukan kepalang. Anak Bagaspati ternyata seorang putri yang jelita, bernama Pujawati. Pujawati adalah anak perempuan Resi Bagaspati pemberian dari para dewa. Maka berlangsunglah pernikahan antara Narasoma dan Pujawati disaksikan oleh penduduk Argobelah.

Selang beberapa hari setelah pernikahan, Narasoma sering terlihat termenung sendiri. Sebagai pendeta yang sidik wacana, Bagaspati menangkap isi hati Narasoma. Maka dipanggillah sang menantu.

”Narasoma, aku berterimakasih engkau telah memenuhi keinginan si Pujawati, meski aku pun tahu engkau malu menganggap diriku sebagai ayah mertuamu’..demikian ucap sang Pendeta.

”Ah, tidak Bapak, aku tidak berpikir sedemikian” jawab Narasoma.

”Jangan berbohong, Narasoma, aku tahu benar isi hatimu” timpal Bagaspati. Narasoma tak bisa membantah, dia memang merasa risih dengan adanya Bagaspati yang berwujud raksasa sebagai mertuanya.

”Panggil si Pujawati kesini”, sambung sang Pendeta.

Datanglah Pujawati ke ruang itu.

”Narasoma, untuk melapangkan kepulanganmu ke Mandaraka, aku akan moksa. Sudah cukup dharmaku di madyapada ini. Aku ingin kembali ke puncak dewa-dewa. Sebagai wasiat, aku titip anakku si Pujawati” demikian pesan Resi Bagaspati.

“ Aku akan wariskan pula ajian Chandabhirawa, yang bisa engkau pakai sebagai senjata andalanmu. Namun engkau harus berhati – hati, Narasoma, jangan sampai engkau bentrok dengan orang dengan sifat seperti aku. Ajian itu tidak akan mempan menghadapinya. Aku seorang berdarah putih (*seorang penyabar), berhati-hatilah dengan orang seperti itu. Jika engkau tidak bisa mengelak untuk bertempur dengannya, artinya itu saat dharma-mu telah usai...” tambah Sang Bagaspati.

Mendengar pesan dari Sang Resi, Narasoma maupun Pujawati berlinang air mata. Terutama bagi Pujawati, kata – kata Sang Resi bagai kalimat perpisahan yang memilukan. Sang Bagaspati tersenyum melihat putri cantik kesayangannya itu.
“Pujawati, janganlah engkau menangis. Temani hidup Narasoma dengan setia. Suatu hari kelak, Narasoma akan jadi raja besar dan ternama……sebagai penanda atas restu dan doaku untukmu, ubahlah namamu menjadi Setyawati saat menjadi permaisuri nanti” pesan dari Resi Bagaspati.

Tak lama kemudian, Sang Resi mengambil sikap sempurna, dan hilang dari pandangan Narasoma maupun Pujawati. Sang Resi telah mangkat.

Singkat cerita, Narasoma kembali ke Mandaraka, menjadi raja bergelar Sri Maharaja Salya. Konon, sifat darah putih yang dimaksud Bagaspati ada pada diri Yudhistira, seorang pangeran keturunan Bharata/Kuru yang sabar dan bijaksana. Dalam perang Bharatayudha, Salya gugur oleh Yudhistira.

[bersambung] : Salya Gugur II: Salya Parwa (Bharatayudha)


No comments:

Post a Comment