Cerita Narasoma dipetik dari
Epik Mahabharata yang banyak dipengaruhi versi Pewayangan Nusantara. Versi asli Mahabharata
menceritakan adanya nama Salya, seorang raja dari daerah Madras, India. Saat akan pecah Perang
Bharatayudha, Salya berkeinginan memberikan dukungan kepada Pandawa, akan tetapi di tengah jalan
tertipu bujuk rayu Duryudana. Hingga akhirnya dalam Perang Bharatyudha di Kurukhsetra, Salya tergabung dengan kubu Kurawa dari
Hastinapura.
Versi Nusantara menceritakan kehidupan Sri Salya secara lebih panjang lebar. Salya saat masih muda bernama Narasoma,
Pangeran Mahkota dari kerajaan Mandaraka. Saat beranjak dewasa, Narasoma didesak
oleh ayahnya, Prabu Mandrapati (ada juga yang menyebut Prabu Mandradipa) agar
segera mencari pasangan hidup, sehingga tahta Mandaraka dapat segera dilakukan
suksesi. Prabu Mandrapati bermaksud untuk lengser keprabon,
madheg pinandhita (suatu cerita yang diambil kebiasaan dari raja – raja
Indonesia di masa Hindu).
Narasoma masygul, enggan untuk
memenuhi keinginan Sang Ramanda. Ia merasa belum cukup umur dan masih
bercita-cita mencari ilmu dari berbagai guru yang ada di pertapaan – pertapaan
terpencil. Narasoma pun minggat dari istana saat tekanan untuk menikah dari
keluarga semakin kuat.
Di dalam perjalanan, Narasoma
bertemu pendeta sakti berwujud raksasa bernama Bagaspati. Pertemuan ini suatu
kebetulan, karena Bagaspati telah berjalan berhari-hari dengan maksud untuk
bertemu dengan Narasoma. Bagaspati diminta oleh anak perempuan tunggalnya untuk
dipertemukan dengan Narasoma. Konon, Narasoma telah membuatnya jatuh cinta
lewat mimpi-mimpi yang dialami setelah bertapa untuk mendapatkan jodoh.
Mendengar cerita ini, Narasoma menolak. Dia merasa enggan untuk harus menikahi
seorang raseksi (raksasa perempuan), meski itu anak seorang brahmana sakti.
Singkat kata terjadi perkelahian antara Narasoma dan Bagaspati, Narasoma
mengalami kekalahan. Dengan berat hati Narasoma menuruti Bagaspati untuk dibawa
ke pertapaannya di Argobelah. Sesampai di Argobelah, Narasoma kaget bukan
kepalang. Anak Bagaspati ternyata seorang putri yang jelita, bernama Pujawati.
Pujawati adalah anak perempuan Resi Bagaspati pemberian dari para dewa. Maka
berlangsunglah pernikahan antara Narasoma dan Pujawati disaksikan oleh penduduk
Argobelah.
Selang beberapa hari setelah
pernikahan, Narasoma sering terlihat termenung sendiri. Sebagai pendeta yang sidik wacana,
Bagaspati menangkap isi hati Narasoma. Maka dipanggillah sang menantu.
”Narasoma, aku berterimakasih engkau telah memenuhi keinginan si Pujawati, meski aku pun tahu engkau malu menganggap diriku sebagai ayah mertuamu’..demikian ucap sang Pendeta.
”Ah, tidak Bapak, aku tidak
berpikir sedemikian” jawab Narasoma.
”Jangan berbohong, Narasoma, aku
tahu benar isi hatimu” timpal Bagaspati. Narasoma tak bisa membantah, dia
memang merasa risih dengan adanya Bagaspati yang berwujud raksasa sebagai
mertuanya.
”Panggil si Pujawati kesini”,
sambung sang Pendeta.
Datanglah Pujawati ke ruang itu.
”Narasoma, untuk melapangkan
kepulanganmu ke Mandaraka, aku akan moksa. Sudah cukup dharmaku di madyapada
ini. Aku ingin kembali ke puncak dewa-dewa. Sebagai wasiat, aku titip anakku si
Pujawati” demikian pesan Resi Bagaspati.
“ Aku akan wariskan pula ajian
Chandabhirawa, yang bisa engkau pakai sebagai senjata andalanmu. Namun engkau
harus berhati – hati, Narasoma, jangan sampai engkau bentrok dengan orang
dengan sifat seperti aku. Ajian itu tidak akan mempan menghadapinya. Aku
seorang berdarah putih (*seorang penyabar),
berhati-hatilah dengan orang seperti itu. Jika engkau tidak bisa mengelak untuk
bertempur dengannya, artinya itu saat dharma-mu telah usai...” tambah Sang
Bagaspati.
Mendengar pesan dari Sang Resi,
Narasoma maupun Pujawati berlinang air mata. Terutama bagi Pujawati, kata –
kata Sang Resi bagai kalimat perpisahan yang memilukan. Sang Bagaspati
tersenyum melihat putri cantik kesayangannya itu.
“Pujawati, janganlah engkau
menangis. Temani hidup Narasoma dengan setia. Suatu hari kelak,
Narasoma akan jadi raja besar dan ternama……sebagai penanda atas restu dan doaku
untukmu, ubahlah namamu menjadi Setyawati saat menjadi permaisuri nanti” pesan
dari Resi Bagaspati.
Tak lama kemudian, Sang Resi
mengambil sikap sempurna, dan hilang dari pandangan Narasoma maupun
Pujawati. Sang Resi telah mangkat.
Singkat cerita, Narasoma kembali
ke Mandaraka, menjadi raja bergelar Sri Maharaja Salya. Konon, sifat darah
putih yang dimaksud Bagaspati ada pada diri Yudhistira, seorang pangeran
keturunan Bharata/Kuru yang sabar dan bijaksana. Dalam perang Bharatayudha,
Salya gugur oleh Yudhistira.
[bersambung] : Salya Gugur II:
Salya Parwa (Bharatayudha)
No comments:
Post a Comment