Cerita Haryo Penangsang
merupakan cerita yang cukup sering dipanggungkan di pentas- pentas drama
tradisional. Versi yang umum dikenal di masyarakat, perseteruan Penangsang –
Hadiwijaya berebut pengaruh politik berakhir dengan kematian Penangsang
ditengah Bengawan Sore, tertikam tombak Kyai Plered oleh Danang Sutawijaya
(dibelakang hari beliau menjadi penguasa Mataram bergelar Panembahan Senapati).
Dalam Serat Kandha dikisahkan Penangsang berpuasa serta menahan amarah selama
40 hari untuk memperoleh kesaktian. Di hari ke-40 datang tantangan dari fihak
Pajang membuat Penangsang lupa diri. Sembari mengenderai kuda Gagak Rimang
bersenjatakan keris Setan Kober, Penangsang menjawab tantangan itu. Gagak
Rimang merupakan kuda jantan yang diperam di kandang setiap harinya, sehingga
saat melihat kuda betina yang dikendarai anak angkat Sultan Pajang, Sutawijaya,
Gagak Rimang menjadi liar akibat nafsu birahi. Penangsang tidak mampu
mengendalikannya, sehingga memudahkan Sutawijaya untuk menancapkan tombak
Plered ke perut Penangsang. Usus terburai dari perut, dan meski sempat
memberikan perlawanan yang gagah, Penangsang akhirnya gugur. Konon ini pula
yang menjadikan adat keris Jawa diberi ’melati rinonce’ (rangkaian melati),
untuk mengabadikan gagahnya Penangsang saat bertempur dengan keris dibelit usus
yang terburai.
TVRI Yogyakarta
bekerjasama dengan TVRI Surabaya sekitar tahun 2002-2003 pernah menayangkan
cerita tentang Harya Penangsang dari versi lain. Menurut versi yang konon
merupakan cerita asli tersebut, kisah tentang Haryo Penangsang sesungguhnya
banyak mengandung simbol. Puasa yang dilakukan Adipati Penangsang merupakan
perlambang, saat Jipang Panolan (sekarang daerah di Cepu) daerah kekuasaan
Adipati Penangsang diblokade secara ekonomi oleh Pajang (sekarang daerah di
Kartasura), kesultanan yang dipimpin Mas Hadiwijaya (beliau dikenal pula
sebagai Mas Karebet atau Jaka Tingkir). Kehidupan ekonomi yang sulit
digambarkan seperti keadaannya orang berpuasa. Strategi ditempuh fihak Pajang
dengan menyusupkan wanita cantik yang berperan sebagai telik sandi serta
penggoda di istana Kadipaten Jipang(Mungkin strategi ini juga mengilhami
Sutawijaya saat berkonflik dengan Ki Ageng Mangir serta Adipati Timur di Madiun
di jaman Mataram, dimana Sutawijaya menyusupkan Rara Pambayun di Mangir, serta
Nyi Adisara di Madiun sebagai telik sandi). Penangsang terpikat dan
berkeinginan mengambil wanita tersebut sebagai istri. Si wanita setuju, dengan
syarat pada malam setelah pesta pernikahan, dirinya digendong dari sitihinggil
ke peraduan tanpa kawalan. Penangsang menyanggupinya. Ketika dalam perjalanan
menggendong itulah, Penangsang ditikam oleh Sutawijaya oleh tombak Plered. Ini
yang digambarkan sebagai Gagak Rimang terpikat kuda betina. Demikian akhirnya
Penangsang gugur, menyudahi konflik puluhan tahun diantara keluarga Kesultanan
Demak sepeninggal Raden Patah.
Entahlah mana yang benar
dari versi yang ada, yang pasti dua versi cerita Haryo Penangsang
mengandung filsafat bijak agar
manusia tidak ’grusa-grusu’ dalam bertindak. Sesuai filsafat kuno yang sering
diwasiatkan dar para leluhur; ’ ojo kagetan, ojo gumunan, sing tetep eling lan
waspodo’.
No comments:
Post a Comment