Saturday, December 7, 2013

Pertempuran Perairan Mutiara Desember 1941: Kegagalan Sebuah Operasi Militer

Peristiwa penting terjadi pada Hari Minggu, tanggal 7 Desember 1941, saat Armada Kekaisaran Jepang melancarkan operasi militer kearah Pangkalan Angkatan Laut (AL) Amerika Serikat (AS) di Perairan Mutiara, atau dikenal sebagai Pearl Harbor, Pulau Oahu, Hawaii. Sebanyak 353 pesawat tempur laut AL Jepang terbagi dalam dua gelombang, menjadi pelaku utama dalam agresi yang berlangsung sejak pukul 8.00 pagi waktu setempat, hingga sekitar 2.5 jam setelahnya. Hasilnya sangat spektakuler dan memuaskan bagi fihak penyerang. Serangan udara berhasil menghajar 19 kapal AS yang sedang bersandar di pangkalan, dengan 6 kapal utama berhasil ditenggelamkan. Tak kurang 188 pesawat tempur milik Dinas Udara AS juga berhasil dilumpuhkan, dan lebih dari 2000 personel AS kehilangan nyawa dalam serangan tersebut. Termasuk juga gudang-gudang senjata, lapangan terbang serta bengkel militer menjadi sasaran amuk pesawat-pesawat Jepang. Kemenangan di Pearl Harbor disambut penuh suka cita pihak militer Jepang. Keyakinan bahwa kekuatan negeri-negeri kulit putih di Asia dapat dilemahkan semakin menebal. Dan perwujudan adanya Kekaisaran Jepang yang membentang dari Semenanjung Kamchatka hingga Kepulauan Hindia di Laut Selatan bukanlah impian mengada-ada.

Dibalik keberhasilan misi AL Jepang tersebut, seorang Perwira AL Jepang justru terlihat tidak bergembira. Perwira yang tak lain adalah Isoroku Yamamoto, seorang laksamana (admiral) Pimpinan Tertinggi AL Jepang, sekaligus perancang skenario penyerangan ke Perairan Mutiara. Di benak Yamamoto, misi ke Hawaii merupakan serangan yang jauh dari sempurna, bahkan mungkin juga dapat dikatakan suatu kegagalan. Tak mengherankan saat Pimpinan AL Jepang melakukan ‘kanpai’ (toast) untuk merayakan kemenangan di Pearl Harbor, Yamamoto sama sekali tak berselera untuk minum sake kesukaannya. Yamamoto malah memilih menyendiri keluar dari kerumunan rekan-rekannya. Pikiran Yamamoto yang sibuk selama berbulan-bulan untuk mempersiapkan strategi menyerang Pearl Harbor, menjadi semakin kusut setelah operasi militer usai dilaksanakan.

Apa yang menjadikan Yamamoto muram cukup beralasan. Tujuan utama serangan ke Hawaii adalah melumpuhkan kekuatan Armada Amerika di Pasifik. Dan sebagai seorang yang berpikiran maju, Yamamoto tahu benar bahwa kekuatan utama dalam perang laut modern terletak pada kapal induk (carrier) yang mampu melontarkan puluhan sampai ratusan pesawat tempur untuk menjangkau sasaran dengan radius yang jauh. Karenanya Yamamoto berharap serangan mendadak ke Pearl Harbor selain dapat merusakkan kapal perang utama (battleship), dapatlah pula untuk memberangus kapal induk milik AS yang biasa mangkal disana. Tetapi, laporan dari Laksamana Chuichi Nagumo, pimpinan lapangan dari serbuan ke Pearl Harbor, memberitakan bahwa serangan Jepang tidak membawa korban dalam bentuk kapal induk AS. Inilah yang menjadikan Yamamoto kecewa setelah laporan hasil serangan Jepang memasuki meja kerjanya.

Kekecewaan Laksamana Yamamoto berasal pula dari tidak rapinya koordinasi yang dibangun antara dirinya sebagai mastermind serangan ke Pearl Harbor, dengan Laksamana Nagumo sebagai komandan operasional di lapangan. Secara personal, Yamamoto memang tidak terlalu yakin dengan Nagumo, seorang perwira senior dan sebenarnya cukup berpengalaman. Tetapi Nagumo tidak memiliki spesialisasi untuk bertempur dengan kapal induk. Sempat terbersit bahwa serbuan ke Hawaii dapat dilakukan perwira yang lebih sejalan dengan pikiran Yamamoto. Namun, Yamamoto pun mengerti bahwa tradisi hirarki kemiliteran Jepang tidak memungkinkan baginya untuk melakukan pemilihan personil sesuai dengan yang dia butuhkan. 

Kekecewaan itu menjadi semakin besar setelah Yamamoto mengetahui bahwa Nagumo sebenarnya memiliki informasi bahwa pada waktu operasi dilangsungkan, tak satupun kapal induk AS bakal ditemui di Hawaii. Sekitar enam jam sebelum penyerangan dimulai, Dinas Intelijen Jepang sudah memberitahu Nagumo mengenai kepastian tidak adanya Kapal Induk AS di Oahu. Tetapi Nagumo lebih tertarik pada satu sisi laporan yang menyatakan bahwa personil AS di Pearl Harbor dalam keadaan yang sangat santai. Pihak AS diberitakan tidak memiliki persiapan apapun untuk sebuah aksi militer. Nagumo berkeinginan untuk dapat lebih memanfaatkan unsur mendadak (surprise), kemudian menimbulkan kepanikan di pihak lawan, sehingga dapat menambah efektifitas suatu agresi. Tanpa berkonsultasi terlebih dulu kepada Yamamoto, Nagumo memutuskan untuk tetap melaksanakan rencana semula, yaitu menciptakan kerusakan kapal perang serta fasilitas di pangkalan utama, untuk dapat memberi pukulan moril kepada Armada AS di Pasifik. Tetapi, pendapat Nagumo ini di belakang hari terbukti overestimate. Banyak tulisan mengungkap jika saja Nagumo melaporkan bahwa tak akan ditemui satupun Kapal Induk AS di Pearl Harbor, besar kemungkinan Yamamoto akan mengajak Nagumo beserta para ajudannya, untuk berdiskusi ulang mengenai jalannya penyerangan.

Evaluasi yang dilakukan Yamamoto terhadap operasi di Pearl menemukan pula fakta tambahan tentang ketidaksempurnaan eksekusi. Daftar kerusakan fasilitas AS di Hawaii tidak menyertakan adanya instalasi pendukung pangkalan berupa tangki-tangki minyak, dok reparasi serta dok kapal selam sebagai korban sasaran pemboman. Sesuai instruksi awal Yamamoto, gudang minyak dan fasilitas pendukung berada pada skala prioritas sasaran yang amat rendah, karena yang menjadi fokus adalah kapal induk dan kapal perang utama AS. Jika tangki-tangki minyak dijatuhi bom, maka akan menimbulkan asap tebal yang mengganggu aksi para pilot Jepang saat menghadapi perlawanan pilot-pilot laut maupun artileri pertahanan udara milik AS. Tetapi sebenarnya dengan tidak adanya kapal induk, tugas pemboman menjadi lebih mudah, dan penghancuran fasilitas pendukung bisa naik prioritasnya sebagai target sasaran. Sebagaimana diketahui, kecuali kapal perang beserta instalasi utama, seluruh fasilitas pendukung pangkalan milik AS di Oahu, termasuk fasilitas intelijen tidak sempat ditengok pesawat pembom Jepang.

Sebenarnya para kapten skuadron terbang di armada Nagumo sempat mengusulkan adanya pengiriman misi udara tambahan untuk meledakkan fasilitas-fasilitas pendukung yang masih tersisa. Tetapi usulan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh para komandan operasional  penyerangan. Keputusan ini sekilas terdengar wajar mengingat rekor capaian misi udara Jepang hari itu sudah melampaui target yang direncanakan. Apalagi saat itu cuaca di Laut Pasifik mulai memburuk, hari yang sudah menjelang sore (pada masa itu, hanya AL Inggris yang berkemampuan untuk beroperasi dengan kapal induk di petang hari) dan meningkatnya kesigapan artileri anti-pesawat AS, menjadikan pengiriman misi udara tambahan akan sangat beresiko, serta dapat merusak suasana kemenangan yang sudah di tangan. Tetapi konsekuensi dari terlewatnya target pendukung pangkalan laut menjadikan tujuan utama serangan Jepang, yakni memaksa Armada AS keluar dari kancah panas di Pasifik belum tercapai. Selain Yamamoto, hanya sebagian saja para perwira di kemiliteran Jepang yang menyadari bahwa blunder dari misi di Mutiara tersebut merupakan kerugian yang sangat besar bagi Jepang. Chester Nimitz, seorang perwira AL yang ditugaskan oleh Presiden Roosevelt memimpin Armada AS di Pasifik setelah aksi Jepang di Hawaii, pernah berujar dalam memoarnya;
”Jika saja fasilitas-fasilitas itu (sempat) disapu armada Jepang, Operasi Militer AS di Pasifik dapat tertunda paling tidak hingga dua tahun lamanya”.
Lewat modal fasilitas pangkalan serta armada kapal induk yang relatif utuh, ditambah kemampuan adaptasi strategi yang fleksibel, pihak Amerika dapat secara cepat menyusun perlawanan balasan.  

Satu hal lagi yang cukup merisaukan pikiran Yamamoto adalah fakta bahwa Deklarasi Perang Jepang baru diterima petinggi AS di Washington DC setelah serangan usai dilancarkan. Peristiwa ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh kalangan elit militer Jepang. Rencananya, deklarasi perang dapat didengar petinggi AS sekitar 30 menit sebelum operasi militer Jepang dimulai. Karena kendala teknis dalam penerjemahan kode kiriman Tokyo kepada staf Kedubes Jepang di DC, Deklarasi Perang Jepang baru diterima pihak AS beberapa jam setelah Perairan Mutiara luluh lantak. Para petinggi militer Jepang, terutama Yamamoto pun sadar, keterlambatan itu berarti pula bahwa serangan rancangannya berubah arti, dari sebuah pesan tegas kepada militer dan pejabat AS, menjadi sebuah pembokongan kepada seluruh rakyat Amerika. Yamamoto yang pernah beberapa tahun tinggal di AS untuk keperluan studi, paham sikap orang Amerika yang menggelegak jika harga diri mereka terkena sesuatu yang bersifat pengecut. Sikap penjagaan harga diri dari orang Amerika, dalam benak Yamamoto, akan mampu menggerakkan industri di Amerika menjadi kekuatan yang sangat mengerikan. Jika itu terwujud maka akan sulit bagi militer Jepang untuk menandinginya, apalagi jika peperangan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
(Pandangan Laksamana Yamamoto tentang kecilnya kans Jepang dalam Perang Pasifik sejalan dengan pendapat beberapa koleganya misalnya saja Laksamana Soemu Toyoda, yang pada babak akhir Perang Pasifik ditunjuk menjadi Pimpinan Tertinggi AL Jepang).

Tidak sempurnanya serangan Jepang di Pearl Harbor cukup menghantui pikiran Yamamoto selama Perang Pasifik berlangsung. Hingga hari naas kematiannya saat pesawat Yamamoto ditembak jatuh Operasi Udara AS di Kepulauan Solomon pada 18 April 1943, tak banyak yang tahu bagaimana suasana batin pahlawan perang Jepang tersebut. Yang pasti, apa yang dikhawatirkan Yamamoto memang menjadi kenyataan. Keunggulan Jepang di Pasifik praktis hanya berumur sekitar 6-8 bulan saja setelah Pearl Harbor terbakar. Selanjutnya hingga perang berakhir pada tahun 1945, Jepang lebih sering mengambil posisi defensif.

Tetapi, di mata para analis sejarah, sebenarnya kesalahan terbesar dari operasi militer di Perairan Mutiara adalah keputusan untuk menyerang itu sendiri. Penyerangan Pearl Harbor dipicu kekhawatiran akan munculnya intervensi AS kepada tindakan agresif Jepang dalam mewujudkan Kekaisaran Asia Timur Raya. Sebenarnya, sebelum Pearl Harbor diserang, mayoritas warga AS, sebagaimana tercermin dari sikap para senator di Kongres, sama sekali tidak memiliki ketertarikan dengan isu-isu peperangan. Bisa dimaklumi, karena AS berada pada kondisi yang tenteram, tak ada kepentingan dengan Perang Dunia yang saat itu sudah kurang lebih 2 tahun berkecamuk. Yang terancam langsung dengan rencana Asia Timur Raya milik Jepang sebenarnya kekuatan lama Eropa di Asia macam Inggris, Perancis dan Belanda, bukan Amerika Serikat. Lagipula, Amerika Serikat waktu itu bukan negeri yang begitu dominan pengaruh politiknya seperti pada periode paska Perang Dunia II. Sehingga keputusan Jepang untuk menggempur fasilitas Amerika di Pasifik sebenarnya agak berlebihan.

Bagi masyarakat di Indonesia, peristiwa serangan di Pearl Harbor dikenang sebagai pembuka babak penting menuju kemerdekaan. Dengan ditebus penderitaan lahir dan batin di masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dapat mengenal dasar-dasar kemiliteran modern melalui organisasi paramiliter bentukan Jepang macam Heiho dan PETA. Selanjutnya, para pemuda hasil gemblengan Jepang juga memainkan peran yang tidak sedikit untuk tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan, selang beberapa hari saja setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada kekuatan Sekutu, 15 Agustus 1945.