Saturday, December 7, 2013

Pertempuran Perairan Mutiara Desember 1941: Kegagalan Sebuah Operasi Militer

Peristiwa penting terjadi pada Hari Minggu, tanggal 7 Desember 1941, saat Armada Kekaisaran Jepang melancarkan operasi militer kearah Pangkalan Angkatan Laut (AL) Amerika Serikat (AS) di Perairan Mutiara, atau dikenal sebagai Pearl Harbor, Pulau Oahu, Hawaii. Sebanyak 353 pesawat tempur laut AL Jepang terbagi dalam dua gelombang, menjadi pelaku utama dalam agresi yang berlangsung sejak pukul 8.00 pagi waktu setempat, hingga sekitar 2.5 jam setelahnya. Hasilnya sangat spektakuler dan memuaskan bagi fihak penyerang. Serangan udara berhasil menghajar 19 kapal AS yang sedang bersandar di pangkalan, dengan 6 kapal utama berhasil ditenggelamkan. Tak kurang 188 pesawat tempur milik Dinas Udara AS juga berhasil dilumpuhkan, dan lebih dari 2000 personel AS kehilangan nyawa dalam serangan tersebut. Termasuk juga gudang-gudang senjata, lapangan terbang serta bengkel militer menjadi sasaran amuk pesawat-pesawat Jepang. Kemenangan di Pearl Harbor disambut penuh suka cita pihak militer Jepang. Keyakinan bahwa kekuatan negeri-negeri kulit putih di Asia dapat dilemahkan semakin menebal. Dan perwujudan adanya Kekaisaran Jepang yang membentang dari Semenanjung Kamchatka hingga Kepulauan Hindia di Laut Selatan bukanlah impian mengada-ada.

Dibalik keberhasilan misi AL Jepang tersebut, seorang Perwira AL Jepang justru terlihat tidak bergembira. Perwira yang tak lain adalah Isoroku Yamamoto, seorang laksamana (admiral) Pimpinan Tertinggi AL Jepang, sekaligus perancang skenario penyerangan ke Perairan Mutiara. Di benak Yamamoto, misi ke Hawaii merupakan serangan yang jauh dari sempurna, bahkan mungkin juga dapat dikatakan suatu kegagalan. Tak mengherankan saat Pimpinan AL Jepang melakukan ‘kanpai’ (toast) untuk merayakan kemenangan di Pearl Harbor, Yamamoto sama sekali tak berselera untuk minum sake kesukaannya. Yamamoto malah memilih menyendiri keluar dari kerumunan rekan-rekannya. Pikiran Yamamoto yang sibuk selama berbulan-bulan untuk mempersiapkan strategi menyerang Pearl Harbor, menjadi semakin kusut setelah operasi militer usai dilaksanakan.

Apa yang menjadikan Yamamoto muram cukup beralasan. Tujuan utama serangan ke Hawaii adalah melumpuhkan kekuatan Armada Amerika di Pasifik. Dan sebagai seorang yang berpikiran maju, Yamamoto tahu benar bahwa kekuatan utama dalam perang laut modern terletak pada kapal induk (carrier) yang mampu melontarkan puluhan sampai ratusan pesawat tempur untuk menjangkau sasaran dengan radius yang jauh. Karenanya Yamamoto berharap serangan mendadak ke Pearl Harbor selain dapat merusakkan kapal perang utama (battleship), dapatlah pula untuk memberangus kapal induk milik AS yang biasa mangkal disana. Tetapi, laporan dari Laksamana Chuichi Nagumo, pimpinan lapangan dari serbuan ke Pearl Harbor, memberitakan bahwa serangan Jepang tidak membawa korban dalam bentuk kapal induk AS. Inilah yang menjadikan Yamamoto kecewa setelah laporan hasil serangan Jepang memasuki meja kerjanya.

Kekecewaan Laksamana Yamamoto berasal pula dari tidak rapinya koordinasi yang dibangun antara dirinya sebagai mastermind serangan ke Pearl Harbor, dengan Laksamana Nagumo sebagai komandan operasional di lapangan. Secara personal, Yamamoto memang tidak terlalu yakin dengan Nagumo, seorang perwira senior dan sebenarnya cukup berpengalaman. Tetapi Nagumo tidak memiliki spesialisasi untuk bertempur dengan kapal induk. Sempat terbersit bahwa serbuan ke Hawaii dapat dilakukan perwira yang lebih sejalan dengan pikiran Yamamoto. Namun, Yamamoto pun mengerti bahwa tradisi hirarki kemiliteran Jepang tidak memungkinkan baginya untuk melakukan pemilihan personil sesuai dengan yang dia butuhkan. 

Kekecewaan itu menjadi semakin besar setelah Yamamoto mengetahui bahwa Nagumo sebenarnya memiliki informasi bahwa pada waktu operasi dilangsungkan, tak satupun kapal induk AS bakal ditemui di Hawaii. Sekitar enam jam sebelum penyerangan dimulai, Dinas Intelijen Jepang sudah memberitahu Nagumo mengenai kepastian tidak adanya Kapal Induk AS di Oahu. Tetapi Nagumo lebih tertarik pada satu sisi laporan yang menyatakan bahwa personil AS di Pearl Harbor dalam keadaan yang sangat santai. Pihak AS diberitakan tidak memiliki persiapan apapun untuk sebuah aksi militer. Nagumo berkeinginan untuk dapat lebih memanfaatkan unsur mendadak (surprise), kemudian menimbulkan kepanikan di pihak lawan, sehingga dapat menambah efektifitas suatu agresi. Tanpa berkonsultasi terlebih dulu kepada Yamamoto, Nagumo memutuskan untuk tetap melaksanakan rencana semula, yaitu menciptakan kerusakan kapal perang serta fasilitas di pangkalan utama, untuk dapat memberi pukulan moril kepada Armada AS di Pasifik. Tetapi, pendapat Nagumo ini di belakang hari terbukti overestimate. Banyak tulisan mengungkap jika saja Nagumo melaporkan bahwa tak akan ditemui satupun Kapal Induk AS di Pearl Harbor, besar kemungkinan Yamamoto akan mengajak Nagumo beserta para ajudannya, untuk berdiskusi ulang mengenai jalannya penyerangan.

Evaluasi yang dilakukan Yamamoto terhadap operasi di Pearl menemukan pula fakta tambahan tentang ketidaksempurnaan eksekusi. Daftar kerusakan fasilitas AS di Hawaii tidak menyertakan adanya instalasi pendukung pangkalan berupa tangki-tangki minyak, dok reparasi serta dok kapal selam sebagai korban sasaran pemboman. Sesuai instruksi awal Yamamoto, gudang minyak dan fasilitas pendukung berada pada skala prioritas sasaran yang amat rendah, karena yang menjadi fokus adalah kapal induk dan kapal perang utama AS. Jika tangki-tangki minyak dijatuhi bom, maka akan menimbulkan asap tebal yang mengganggu aksi para pilot Jepang saat menghadapi perlawanan pilot-pilot laut maupun artileri pertahanan udara milik AS. Tetapi sebenarnya dengan tidak adanya kapal induk, tugas pemboman menjadi lebih mudah, dan penghancuran fasilitas pendukung bisa naik prioritasnya sebagai target sasaran. Sebagaimana diketahui, kecuali kapal perang beserta instalasi utama, seluruh fasilitas pendukung pangkalan milik AS di Oahu, termasuk fasilitas intelijen tidak sempat ditengok pesawat pembom Jepang.

Sebenarnya para kapten skuadron terbang di armada Nagumo sempat mengusulkan adanya pengiriman misi udara tambahan untuk meledakkan fasilitas-fasilitas pendukung yang masih tersisa. Tetapi usulan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh para komandan operasional  penyerangan. Keputusan ini sekilas terdengar wajar mengingat rekor capaian misi udara Jepang hari itu sudah melampaui target yang direncanakan. Apalagi saat itu cuaca di Laut Pasifik mulai memburuk, hari yang sudah menjelang sore (pada masa itu, hanya AL Inggris yang berkemampuan untuk beroperasi dengan kapal induk di petang hari) dan meningkatnya kesigapan artileri anti-pesawat AS, menjadikan pengiriman misi udara tambahan akan sangat beresiko, serta dapat merusak suasana kemenangan yang sudah di tangan. Tetapi konsekuensi dari terlewatnya target pendukung pangkalan laut menjadikan tujuan utama serangan Jepang, yakni memaksa Armada AS keluar dari kancah panas di Pasifik belum tercapai. Selain Yamamoto, hanya sebagian saja para perwira di kemiliteran Jepang yang menyadari bahwa blunder dari misi di Mutiara tersebut merupakan kerugian yang sangat besar bagi Jepang. Chester Nimitz, seorang perwira AL yang ditugaskan oleh Presiden Roosevelt memimpin Armada AS di Pasifik setelah aksi Jepang di Hawaii, pernah berujar dalam memoarnya;
”Jika saja fasilitas-fasilitas itu (sempat) disapu armada Jepang, Operasi Militer AS di Pasifik dapat tertunda paling tidak hingga dua tahun lamanya”.
Lewat modal fasilitas pangkalan serta armada kapal induk yang relatif utuh, ditambah kemampuan adaptasi strategi yang fleksibel, pihak Amerika dapat secara cepat menyusun perlawanan balasan.  

Satu hal lagi yang cukup merisaukan pikiran Yamamoto adalah fakta bahwa Deklarasi Perang Jepang baru diterima petinggi AS di Washington DC setelah serangan usai dilancarkan. Peristiwa ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh kalangan elit militer Jepang. Rencananya, deklarasi perang dapat didengar petinggi AS sekitar 30 menit sebelum operasi militer Jepang dimulai. Karena kendala teknis dalam penerjemahan kode kiriman Tokyo kepada staf Kedubes Jepang di DC, Deklarasi Perang Jepang baru diterima pihak AS beberapa jam setelah Perairan Mutiara luluh lantak. Para petinggi militer Jepang, terutama Yamamoto pun sadar, keterlambatan itu berarti pula bahwa serangan rancangannya berubah arti, dari sebuah pesan tegas kepada militer dan pejabat AS, menjadi sebuah pembokongan kepada seluruh rakyat Amerika. Yamamoto yang pernah beberapa tahun tinggal di AS untuk keperluan studi, paham sikap orang Amerika yang menggelegak jika harga diri mereka terkena sesuatu yang bersifat pengecut. Sikap penjagaan harga diri dari orang Amerika, dalam benak Yamamoto, akan mampu menggerakkan industri di Amerika menjadi kekuatan yang sangat mengerikan. Jika itu terwujud maka akan sulit bagi militer Jepang untuk menandinginya, apalagi jika peperangan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
(Pandangan Laksamana Yamamoto tentang kecilnya kans Jepang dalam Perang Pasifik sejalan dengan pendapat beberapa koleganya misalnya saja Laksamana Soemu Toyoda, yang pada babak akhir Perang Pasifik ditunjuk menjadi Pimpinan Tertinggi AL Jepang).

Tidak sempurnanya serangan Jepang di Pearl Harbor cukup menghantui pikiran Yamamoto selama Perang Pasifik berlangsung. Hingga hari naas kematiannya saat pesawat Yamamoto ditembak jatuh Operasi Udara AS di Kepulauan Solomon pada 18 April 1943, tak banyak yang tahu bagaimana suasana batin pahlawan perang Jepang tersebut. Yang pasti, apa yang dikhawatirkan Yamamoto memang menjadi kenyataan. Keunggulan Jepang di Pasifik praktis hanya berumur sekitar 6-8 bulan saja setelah Pearl Harbor terbakar. Selanjutnya hingga perang berakhir pada tahun 1945, Jepang lebih sering mengambil posisi defensif.

Tetapi, di mata para analis sejarah, sebenarnya kesalahan terbesar dari operasi militer di Perairan Mutiara adalah keputusan untuk menyerang itu sendiri. Penyerangan Pearl Harbor dipicu kekhawatiran akan munculnya intervensi AS kepada tindakan agresif Jepang dalam mewujudkan Kekaisaran Asia Timur Raya. Sebenarnya, sebelum Pearl Harbor diserang, mayoritas warga AS, sebagaimana tercermin dari sikap para senator di Kongres, sama sekali tidak memiliki ketertarikan dengan isu-isu peperangan. Bisa dimaklumi, karena AS berada pada kondisi yang tenteram, tak ada kepentingan dengan Perang Dunia yang saat itu sudah kurang lebih 2 tahun berkecamuk. Yang terancam langsung dengan rencana Asia Timur Raya milik Jepang sebenarnya kekuatan lama Eropa di Asia macam Inggris, Perancis dan Belanda, bukan Amerika Serikat. Lagipula, Amerika Serikat waktu itu bukan negeri yang begitu dominan pengaruh politiknya seperti pada periode paska Perang Dunia II. Sehingga keputusan Jepang untuk menggempur fasilitas Amerika di Pasifik sebenarnya agak berlebihan.

Bagi masyarakat di Indonesia, peristiwa serangan di Pearl Harbor dikenang sebagai pembuka babak penting menuju kemerdekaan. Dengan ditebus penderitaan lahir dan batin di masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dapat mengenal dasar-dasar kemiliteran modern melalui organisasi paramiliter bentukan Jepang macam Heiho dan PETA. Selanjutnya, para pemuda hasil gemblengan Jepang juga memainkan peran yang tidak sedikit untuk tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan, selang beberapa hari saja setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada kekuatan Sekutu, 15 Agustus 1945.


Thursday, October 31, 2013

Legenda Totok Kerot dan Sri Aji Jayabaya


Totok Kerot merupakan sebuah nama patung dwarapala (penjaga gapura) peninggalan dari masa Kerajaan Panjalu atau Kediri. Menurut cerita rakyat, arca Totok Kerot berasal dari seorang putri, penguasa Jawa Timur bagian selatan. Legenda menuturkan adanya seorang penguasa putri sakti dan cantik rupawan berada di daerah Lodaya, terletak di Kabupaten Blitar di masa sekarang. Sebut saja namanya Putri Lodaya. Sang Putri berkeinginan untuk menjadi 'garwa padmi' atau permaisuri utama dari Prabu Sri Aji Jayabaya, seorang raja termasyur di Kediri. Namun tampaknya keinginan itu tidak kesampaian, karena Sang Jayabaya menolaknya. Penolakan itu membuat Putri Lodaya berang. Dikirimlah pasukan Lodaya untuk memerangi Kediri. Rupanya Sang Putri terlalu gegabah, karena angkatan perang Kediri yang kuat dan tersohor jelas bukan tandingan tentara Lodaya. Putri Lodaya mengalami kekalahan.

Saat dihadapkan sebagai tawanan didepan raja, Putri Lodaya mengumpat serta memaki Prabu Jayabaya. Murka Jayabaya terlontar sebagai kutukan sehingga Putri Lodaya berubah wujud menjadi patung raksasa. Selanjutnya patung Putri Lodaya dikenal sebagai Patung Totok Kerot. Cerita mistis berkembang meliputi keberadaan Totok Kerot, sebagaimana lazim dialamatkan kepada banyak peninggalan arkeologi di Indonesia. Cinta tak terbalas Totok Kerot sendiri, yakni Sang Aji Jayabaya juga tak luput dari mitos-mitos yang sebenarnya cukup sulit dibuktikan kebenarannya. 

Fakta adalah benar bahwa saat Jayabaya berkuasa di Kediri, kerajaan besar bercorak agraris telah tumbuh menjadi pesaing dari kerajaan corak maritim Sriwijaya di Sumatra. Kemakmuran Kediri banyak diceritakan pelaut-pelaut dari Tiongkok, yang mencatat ramainya jalur dagang dari muara Sungai Brantas di Jung Galuh (Surabaya), hingga jauh di pedalaman yakni di Daha, kotaraja Kerajaan Kediri. Masa Jayabaya terutama diwarnai kemajuan bidang kesusastraan dengan munculnya berbagai novel serta puisi versi klasik. Tak ketinggalan kemajuan teknologi pertanian, militer serta kelautan. Tetapi masyarakat modern seakan enggan mengenang kejayaan Panjalu atau Kediri dari sisi faktual yang ada. Kebanyakan, Kediri di masa Jayabaya lebih dikenang lewat berbagai mitos yang berkembang mewarnai kepopulerannya. Sebut saja Dwarapala Totok Kerot, yang memang unik karena dwarapala ini berwujud raseksi (perempuan), tidak berwujud raksasa (laki-laki) sebagaimana umumnya dwarapala dimasa kuno. Jayabaya juga lebih banyak dikenal lewat ‘Jangka Jayabaya’, yang banyak diyakini mengandung ramalan tentang nasib bangsa Indonesia. Uniknya pula, tidak ada bukti bahwa Jayabaya memang pernah menulis ataupun mengucap ramalan-ramalan itu. Benar adanya pada masa Jayabaya bertahta di Daha, banyak ditulis kakawin-kakawin yang kemudian tak lekang oleh jaman, macam Bharatayudha (dinukil dari Mahabharata India), Hariwangsa, Gatotkacasraya, ataupun Kresnayana. Tetapi tidak ditemukan prasasti atau berita menulis bahwa Jangka Jayabaya ditulis pada masa Kediri. Jika memang kitab semacam itu pernah ditulis oleh Sang Prabu Jayabaya, pastilah ada pemberitaan jelas dari jaman tersebut. Tulisan yang berisi Jangka Jayabaya sebagaimana diketahui, baru muncul ratusan tahun setelah Kediri tenggelam dari politik Nusantara. 

Nasib yang sama dialami Totok Kerot, dimana tak dapat diceritakan mengapa dipilih dwarapala berwujud raseksi, tidak sebagaimana lazimnya dwarapala lain yang berwujud raksasa laki - laki. Tidak pula tentang bangunan besar apa yang dijaga oleh Totok Kerot pada masa itu sehingga harus diwujudkan oleh penjaga wujud yang tak lazim, yakni raksasa perempuan. Lagi-lagi, kisah serta riwayat yang sampai ke masa modern, sebagaimana cerita-cerita tentang Jayabaya dan Kerajaan Panjalu/Kediri lainnya, lebih bersifat dongeng semata.

Sisa dari kejayaan Kediri di masa Jayabaya masihlah dapat disaksikan, terutama di tempat bekas semadi Sang Prabu, berlokasi di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Tempat Sang Jayabaya menghabiskan hari tuanya tersebut sesekali masih dikunjungi para wisatawan. Sementara itu Dwarapala Totok Kerot menetap di tempat yang jauh lebih sepi, beberapa kilometer dari Desa Menang yakni di Desa Bulupasar, Pagu, Kediri. Totok Kerot di masa modern tinggal damai di pinggiran areal persawahan, beristirahat dari tugasnya menjaga bangunan penting pada masa kejayaan Kerajaan Kediri, pada waktu lampau.     




Friday, May 31, 2013

Hari Jadi Surabaya 31 Mei

Sebagaimana lazim, tiap tanggal 31 Mei dirayakanlah sebagai hari jadi Kota Surabaya. Penetapan utamanya berdasarkan adanya peristiwa pembakaran kemah pertahanan serta kapal – kapal Tentara Mongol yang ngendon di tepi Sungai Surabaya pada tanggal 31 Mei 1293. Peristiwa yang kemudian diabadikan sebagai kata pendek dalam Bahasa Kawi ‘Sura ing Baya’, atau berarti berani dalam menghadapi bahaya. Frase yang ditujukan pula untuk mengenang keberanian para simpatisan Nararya Wijaya dalam menegakkan kedaulatan dari dominasi Mongol di Jawa. Tentunya, kemenangan tersebut amat membanggakan.Mengingat kemampuan tempur Tentara Mongol saat itu amat ditakuti di seluruh dunia. Pusat kota Abasiyah di Baghdad yang indah dan berbenteng kuat harus rela hancur lebur oleh amukan Mongol. Tapi di Nusantara lama, cerita bisa berbalik 180 derajat. Dalam catatan sejarah, hanya di Surabaya (dan satu lagi saat Mongol berusaha menganeksasi Jepang), Tentara Mongol menemui kegagalan dalam kampanye militer. Tak ayal, peristiwa itu diabadikan sebagai hari jadi kota Surabaya.

Tapi, apakah benar eksistensi Surabaya bertitik tolak dari peristiwa Mongol, sehingga 31 Mei diambil sebagai hari jadi?

Nama Surabaya sesungguhnya sudah dikenal jauh sebelum Majapahit berdiri. Pada medio abad 13M, leluhur Nararya Wijaya di Singasari, Shri Krtanegara mendirikan pemukiman kecil di tepi Sungai Pegirian (dekat Ampel sekarang) sebagai basis militer bagi para prajurit Singasari yang akan pergi ke Sumatera dalam Ekspedisi Pamalayu. Tulisan-tulisan musafir Tiongkok banyak yang membenarkan berita ini. Daerah di delta Pegirian ini kemudian terus berkembang sebagai areal dagang yang penting. Di Surabaya dikenal wilayah Peneleh (di daerah Surabaya Utara), yang diturunkan dari kata ‘pinilih’, sebagai tempat para pangeran dari Singasari bertempat tinggal untuk mengawasai jalannya administrasi pada masa itu. Sehingga eksistensi Surabaya sebenarnya pula sudah ada lama sebelum kemenangan atas Mongol terjadi.

Tetapi,tak dapat dipungkiri jika peran Surabaya memang mulai bertambah penting setelah peristiwa Mongol. Seiring itu pula Kerajaan Majapahit mulai berkembang. Namun, Majapahit sendiri tidak mengambil hari pertempuran 31 Mei tersebut sebagai tanggal kerajaan. Hari resmi Majapahit terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika, atau bertepatan pada tanggal 10 Nopember 1293, saat Nararya Sanggramawijaya jumenengan sebagai Raja Majapahit memakai nama abiseka Shri Kertarejasa Jayawardhana. Sehingga agar memori peristiwa besar melawan militer Mongol tidak hilang begitu saja, diambillah kesepakatan, untuk tanggal 31 Mei ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya.



   

Friday, March 8, 2013

Zheng He, Penjelajah Kenamaan dari Dunia Timur


Jika seseorang dari dunia timur ditanya mengenai sosok yang paling diingat sebagai penjelajah atau pelaut ulung, jawabannya hampir pasti bukan Drake, Magelhanz, Cabral, Da Gama, D’Elcano, Cook ataupun Columbus. Jawaban akan memunculkan nama Zheng He, atau disebut pula sebagai Cheng Ho, pelaut tersohor dari Kekaisaran Naga di Tiongkok.

Zheng He terlahir dengan nama Ma He, putra seorang pemuka masyarakat Muslim di daerah Kunyang, Yunnan pada sekitar tahun 1371. Secara politik, masyarakat Yunnan saat itu merupakan pendukung Dinasti Yuan, penguasa Tiongkok dari tanah Mongolia. Pada periode 1381, situasi politik daratan Cina mengalami perubahan dengan naiknya Keluarga Zhu sebagai pemegang kekuasaan di pusat Negara. Keluarga Zhu, kemudian lebih dikenal dengan nama Dinasti Ming, secara intensif melakukan pembersihan terhadap loyalis Yuan diseluruh Cina. Tak terkecuali, keluarga Ma He yang tinggal di Yunnan. Saat itu, Ma He yang berusia 10 tahun-an, menyaksikan bagaimana kampung halamannya dihancurkan oleh Tentara Ming. Hampir seluruh kerabatnya tewas dalam peristiwa tersebut. Beruntung Ma He, karena dirinya tidak turut serta menjadi korban. Meskipun dirinya harus rela menjadi sebagai tawanan, untuk kemudian mengabdi di Istana salah satu Pangeran Ming di Beiping (sekarang menjadi Beijing, Ibukota RRC). Ma He menjadi sida-sida di Istana Pangeran Zhu Di, salah satu pangeran paling berbakat dalam sejarah Keluarga Ming.

Pribadi yang ada dalam diri Ma He, yang setelah dewasa bernama Zheng He, menarik perhatian Pangeran Zhu Di untuk menjadikan dirinya sebagai penasehat utama. Diriwayatkan, Zhu Di ‘hanya’ terpaut sebelas tahun lebih tua dari Zheng He, sehingga banyak ide-ide ‘nyentrik’ Zhu Di dapat diterjemahkan oleh Zheng He. Sebagai sida-sida (Ing. eunuch) di Istana Zhu Di, Zheng He tidak melulu mengurusi Istana Belakang, sebagaimana rekan-rekannya. Atas rekomendasi Pangeran Zhu Di, Zheng He dapat pula mengikuti pendidikan tatanegara serta kemiliteran.

Saat terjadi kerusuhan politik pada tahun 1399-1402, Zheng He banyak berjasa kepada Pangeran Zhu Di lewat aksi-aksinya di medan perang. Konflik internal antar bangsawan Ming  akhirnya dapat distabilkan oleh Pangeran Zhu Di, sehingga melambungkan posisinya menjadi penguasa utama daratan Tiongkok, bergelar Kaisar Yung Lo (disebut pula Yong Le, yang arti harfiahnya ‘Kebahagiaan Abadi’). Kaisar Yung Lo selanjutnya memilih Nanking (atau sekarang bernama Nanjing) sebagai ibukota kerajaan, meneruskan tradisi leluhur keluarga  Ming dalam menjalankan roda pemerintahan.

Pada masa Kaisar Yung Lo, dimulailah usaha untuk membuat proyek mercusuar, berupa misi kelautan.Tujuan utamanya sebenarnya adalah untuk melakukan patroli terhadap Laut Cina Selatan dari para pemberontak kerajaan. Sebagai tambahan, misi kelautan ini juga bertujuan untuk menyiarkan kebesaran Kekaisaran Ming kepada dunia luar. Sebagai kepala proyek, dipilihlah Zheng He sekaligus sebagai desainer serta pelaksananya.Tugas berat tersebut dimulai Zheng He pada tahun 1403 di dok kapal di Nanjing. Zheng He secara teliti pula, merekrut perwira pilihan dari Tentara Ming, serta para intelektual muda semacam tabib, ahli pertanian, ahli ekonomi, maupun juru tulis untuk mengiringi misinya. Musim Panas di tahun 1405, armada Zheng He bertolak dari Soochow, dekat  Shanghai, untuk memulai perjalanannya.

Armada ini kemudian terkenal dalam sejarah kelautan sebagai ‘The Treasury Fleet’, dengan Zheng He bertindak sebagai laksamana. Berkekuatan 317 kapal dengan sekitar 28000 kru, Zheng He menuju Indochina, Semenanjung Melayu, Kepulauan Indonesia, Srilanka, India, Lautan Arab untuk kemudian sampai jauh di Pantai Timur Afrika.

Ekspedisi pertama Zheng He di tahun 1405, menjadi bahan diskusi penting dari sejarah Bangsa Indonesia, karena disinilah Zheng He menemui Majapahit yang berada pada babak akhir Perang Paregreg. Lewat tulisan-tulisan Ma Huan, seorang penulis dokumenter Muslim di Ekspedisi Zheng He, sejarahwan dapat merekonstruksi situasi sosial, ekonomi dan politik di Majapahit. Zheng He secara pribadi juga menyatakan kekagumannya terhadap kesuburan serta kekayaan tanah Nusantara saat itu. Kunjungannya ke daerah Pegunungan Ijen misalnya, mengungkap bahwa tambang belerang telah menjadi komoditi utama masyarakat  Nusantara sejak jaman lampau.

Ekspedisi Zheng He dalam mengarungi lautan luas terjadi hingga 7 (tujuh) kali. Dengan jumlah dan ukuran yang raksasa, misi tersebut kemudian membekas didalam memori masyarakat lokal yang melihatnya. Kapal utama Zheng He, diriwayatkan memiliki panjang sekitar 120 meter, lebar 50 meter dengan sembilan tiang pancang utama. Ukuran kasarnya sekitar 4-5 kali lebih besar dari kapal Columbus saat mendarat di Kepulauan Karibia di Amerika Tengah. Boleh jadi, armada Kekaisaran Ming saat itu merupakan yang terbesar di dunia. Tetapi, bukan ukuran serta jumlah pasukan yang kemudian banyak dibicarakan oleh khalayak ramai di masa-masa selanjutnya.

Ekspedisi Laksamana Zheng He sangat mengutamakan perdamaian di setiap tempat yang dikunjungi. Seakan menjadi pengejawantahan prinsip budaya timur yang cinta damai, misi Zheng He jauh dari aksi arogansi, intimidasi, perampokan atau pembantaian sebagaimana yang dilakukan oleh penjelajah macam Cortes dan Pizzaro. Sebagaimana tujuan utama pelayaran dari Kekaisaran Ming, kunjungan-kunjungan yang dilakukan banyak ditekankan pada pengikatan persahabatan melalui jalur budaya dan perdagangan. Zheng He secara aktif mempromosikan imigrasi keluarga-keluarga Tionghoa dari tanah asalnya ke daerah-daerah di ‘Laut Selatan’. Dalam ekspedisinya, Zheng He tak lupa  memperkenalkan prinsip dasar filosofi Tionghoa, teknik-teknik pertanian serta irigasi, maupun ajaran Islam Hanafiah di daerah-daerah yang dikunjunginya.

Hingga saat ini, jasa – jasa Zheng He tetap dikenang secara mendalam, terutama oleh masyarakat di sekitar perairan Nusantara. Di Semarang misalnya, Zheng He dianggap sebagai penjelmaan dewa, yang patungnya disucikan setiap Perayaan Tahun Baru Imlek dilaksanakan. Di Bukit China-Malaka, Malaysia, nama Zheng He dihormati dan dipuja dengan cara yang hampir sama. Nama Zheng He diabadikan pula sebagai salah satu nama Masjid Jami (digunakan sebagai tempat jamaah shalat wajib dan Jumah) di Surabaya, yang setiap waktunya dikunjungi oleh jamaah dari berbagai suku bangsa. Laksamana Zheng He sebenarnya telah memberi contoh, bagaimana seharusnya sebagai bangsa timur bersikap dalam pergaulan sehari-hari. Usaha-usaha Zheng He, jauh lebih nyaman untuk dikenang, daripada usaha banyak penjelajah lain yang dikenal dalam sejarah dilakukan dengan kekerasan, meskipun dengan embel-embel misi suci ketuhanan. Lewat prinsip harmoni, persahabatan dan perdamaian, suatu usaha membangun kebersamaan akan dapat terwujud, lebih dapat diterima, dan mudah untuk dikenang di ingatan masyarakat luas dalam waktu yang lama.

Sunday, January 27, 2013

Sumantri dan Sukrasana


Kisah ‘Sumantri dan Sukrasana’ terdapat pada epos cerita ‘Arjunasasrabahu’, yang cerita utamanya mengenai seorang raja yang terkenal sakti dan bijak bernama Arjunasasrabahu atau Arjuna Wijaya. Menurut versi pewayangan Nusantara, Arjunasasrabahu merupakan titisan Dewa Wisnu sebelum masa Ramayana dan Mahabharata. Nama Arjunasasrabahu dalam mitologi Hindu di India, merupakan raja sakti pemuja Dewa Dattatreya, bukan penjelmaan Sang Hyang Wisnu. Pujangga Indonesia banyak melakukan modifikasi cerita ini, termasuk munculnya sosok Sumantri dan Sukrasana.

Versi pewayangan bertutur tentang adanya kakak-beradik Sumantri dan Sukrasana, putra seorang pendeta sakti, Resi Suwandagni (versi Jawa menyebutnya pula Resi Wisanggeni) dari pertapaan Arga Sekar. Secara silsilah, Resi Suwandagni merupakan saudara muda dari Resi Jamadagni, ayah dari Sang Rama Parasu (disebut pula Parasurama atau Rama Bargawa), seorang pendeta sakti pula yang di versi Hindustan merupakan titisan Hyang Wisnu. Di versi Indonesia, Sang Rama Parasu adalah pendekar keprajuritan, dimana akhir hayatnya terjadi saat beradu sakti melawan Sri Rama Wijaya, tokoh utama dalam kisah Ramayana.

Sumantri dan Sukrasana diceritakan memiliki fisik dan kepribadian yang bertolak belakang. Sumantri berperawakan gagah, tampan, simpatik dan penuh wibawa. Banyak gadis yang terpesona olehnya. Sementara sang adinda, Sukrasana, digambarkan berperawakan kerdil, perut tambun, agak hitam warna kulitnya, serta berambut keriting tak beraturan. Tidak seperti Sumantri, Sukrasana hanya memiliki rekan sepermainan yang terbatas. Baik Sumantri maupun Sukrasana, memiliki kesaktian yang tinggi, meski jalan untuk mencapainya ditempuh secara berbeda. Sumantri mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari ayahnya melalui olah kanuragan yang teratur, prosedural, sebagaimana yang ditempuh para ksatria pada umumnya. Sementara, Sukrasana mempelajari ilmu dari sang ayah Resi Suwandagni, dengan banyak berucap syukur atas karunia yang Tuhan telah terlimpah kepadanya, bersikap rendah hati dan nrima, bersatu dengan alam lewat semadi serta menjaga kelestariannya. Lewat lelaku yang sedemikian, Sukrasana banyak mendapat anugrah dari para dewa. Sehingga boleh dikatakan kesaktian Sukrasana berada satu tingkat diatas Sumantri. Meski demikian, Sumantri dan Sukrasana hidup rukun saling mengasihi sebagai sesama saudara dari darah Sang Suwandagni.

Saat mulai beranjak dewasa, Sumantri tumbuh menjadi ksatria yang pilih tanding, dan selalu ingin menjadi yang terbaik diantara rekan-rekannya. Sumantri kemudian berkeinginan untuk merubah nasib dengan menjadi ponggawa di Kotaraja. Niat itu disampaikan kepada sang ayah, Sang Suwandagni. Dengan berat hati, Resi Suwandagni melepasnya. Sementara Sukrasana yang berkinginan ikut merantau bersama, dapat dikelabui saat tidur. Sedih tentunya Sukrasana mendapati bahwa sang kakak, Sumantri, rupanya tidak berkenan mengajak dirinya merantau. Sumantri memang dalam hati sedikit banyak masih merasa malu memiliki saudara yang termasuk tergolong buruk rupa.

Singkat cerita, Sumantri berhasil menjadi petinggi di Kerajaan Maespati, tempat dimana Raja Arjunasasrabahu bertahta. Kerja keras dan rajin dari Sumantri membawanya menempati jabatan Perdana Menteri, bergelar Patih Suwanda. Belum lagi didukung rupanya yang menawan, Sumantri menjadi idola di negeri Maespati. Semua tugas dari Prabu Arjunasasrabahu dapat ditunaikannya dengan baik. Hingga suatu ketika, Sumantri diutus untuk melamar Dewi Citrawati dari Kerajaan Magada. Tugas berat ini pun berhasil diselesaikan. Lewat bantuan Sumantri pula, Negeri Magada dapat selamat dari ancaman prajurit Kerajaan Widarba yang berkeinginan menghancurkan negeri tersebut.

Keberhasilan itu sempat membuat Sumantri lupa diri. Sanjungan dari para panglimanya membuat Sumantri memberanikan diri untuk tidak pulang ke Kotaraja Maespati. Sembari membawa Dewi Citrawati kekasih junjungannya, Sumantri mendirikan kemah di perbatasan Maespati. Sumantri mengirim surat menantang Prabu Sasrabahu untuk beruji kesaktian. Sumantri mulai meragukan kalau sesembahannya itu memang memiiki kelebihan diatas dirinya.

Murka Sang Sasrabahu mengetahui tingkah polah Sumantri yang mulai melewati batas. Tantangan Sumantri ditanggapi oleh Prabu Sasrabahu, sehingga terjadi perkelahian hebat. Nyata kalau Sang Sasrabahu memang seorang raja yang mumpuni. Sebagai titisan Wisnu, Sasrabahu memiliki kekuatan dan kedigdayaan yang berlipat-lipat, jauh diatas ilmu yang dimiliki Sumantri. Sumantri pun terpaksa mengakui kekalahannya. 

Beruntung Sumantri, karena Prabu Sasrabahu tidak menghukum kesalahannya. Hanya saja sebagai ganti hukuman, Sumantri diperintahkan memindahkan Taman Sriwedari dari Magada ke Maespati, memenuhi permintaan Dewi Citrawati yang sering rindu akan kampung halamannya. Sumantri pun berada dalam keadaan bingung.

'Bagaimana pula caranya memindahkan Taman Sriwedari yang sedemikian indah dan kesohor itu? ...
Bukankah pula Taman Sriwedari merupakan hadiah para Dewata yang dikhususkan untuk negeri Magada?'

Puluhan pertanyaan semacam itu muncul di benak Sumantri, menambah kalut suasana batinnya.Dalam kebingungan, Sumantri teringat Sukrasana, saudara yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya. Sembari mengehingkan cipta, Sumantri memanggil adiknya secara gaib. Hadirlah Sukrasana di tempat Sumantri tinggal. Setelah melepas rindu, Sumantri mengutarakan maksudnya. Sukrasana pun tersenyum.

‘Bukan sesuatu yang sulit, Kakang Mantri’ ujar Sukrasana.’ Bantulah aku dalam berdoa kepada Sang Tunggal untuk mengijinkan maksud Kakang. Bagaimanapun banyak ilmu yang aku miliki, tanpa bantuan dari Yang Kuasa, tidak akan sanggup aku melakukannya’ tutur Sukrasana melanjutkan.

Maka hening kedua bersaudara itu dalam doa. Lewat puja mantra Sukrasana, Taman Sriwedari dapat berpindah secara singkat, dari Magada menuju lingkungan Kraton Maespati. Gembira seluruh isi Istana Maespati, terutama Dewi Citrawati menyaksikan taman tempat biasa dia bermain, sekarang telah berada di depan penglihatannya. Sumantri pun mendapat pujian dari berbagai fihak atas usahanya itu. Sementara Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati sedang asyik melihat-lihat isi taman, terdengar teriak dan jerit para pembantu keraton. Dikatakan ada setan kecil telah menyusup di Taman Sriwedari. Sumantri paham dengan kejadian yang berlangsung, itu pasti ulah Sukrasana. Segera ditemuinya Sukrasana.

‘Sukrasana, aku mohon agar engkau menyingkir dahulu saat ini…..Sang Prabu dan Permaisuri sedang menikmati keindahan isi Taman Sriwedari’ pinta Sumantri.

‘Kakang, aku hanya ingin melihat-lihat saja. Aku tidak akan ganggu mereka’ jawab Sukrasana.
’Lagipula, masih belum puas hatiku untuk melihat hasil olah batin kita tehadap Taman Sriwedari ini’ujar Sukrasana menerangkan.

‘Sukrasana…nanti kau boleh teruskan maksudmu itu…tetapi, jangan sekarang wahai adikku..meraka takut melihat dirimu’ timpal Sumantri.

‘Kakang Mantri, selain ingin melihat keindahan Taman Sriwedari, aku juga ingin melihat wajah Sang Prabu majikan Kakang, dan Dewi Citrawati yang katanya mirip putri dari kahyangan itu’ jawab Sukrasana lagi. 
Sukrasana bersikeras tidak mau menyingkir dari Taman Sriwedari sebagaimana permintaan Sumantri.

Debat yang berkepanjangan rupanya membuat Sumantri gusar. Diambilnya anak panah beserta busurnya. Maksud Sumantri sebenarnya hanya agar adiknya menjadi takut untuk kemudian menjauh. Rupanya pegangan Sumantri lepas, dan tanpa sadar pula anak panah yang terambil merupakan anak panah Brahmastra, pusaka pemberian Dewata kepada Resi Suwandagni yang dititipkan kepada Sumantri. Anak panah sakti melesat dari busur Sumantri, menghujam dada Sukrasana, Sukrasana pun pralaya.

Kematian Sukrasana ditangisi oleh Sumantri. Bagaimanapun Sukrasana adalah saudara yang amat dikasihinya. Tapi, sesal kemudian tidak banyak berguna. Sepanjang hidup, Sumantri dibayangi rasa berdosa yang berkepanjangan. Hingga suatu ketika terjadi perang besar antara Maespati dan Alengkadiraja. Sumantri yang dibayangi kesedihan akan hilangnya saudara ditangannya sendiri, tewas ditangan Rahwana, raja Alengkadiraja.

Kisah Sumantri dan Sukrasana mengandung banyak perlambang dan pelajaran yang berharga. Sikap yang ditampilkan dari sisi Sumantri merupakan penggambaran dari kebanyakan dari kita. Sebagaimana Sumantri dalam cerita ini, banyak dari kita memiliki ketrampilan dari suatu latihan yang teratur. Entah lewat sekolah, kursus ataupun pendidikan formal lainnya. Tanpa sadar, bahwa yang kita dapatkan sejatinya adalah titipan Tuhan. Tak sedikit pula dari kita, memiliki ambisi yang meluap-luap. Setelah semua kita dapatkan, kita sering pula lupa diri, bangga dengan yang kita raih untuk kemudian menjadi tinggi hati, mirip Sumantri yang kemudian berani menantang Arjunasasrabahu setelah kesuksesan menghampiri dirinya. Saat kita mendapat kesulitan, kita tanpa malu merengek bantuan kepada banyak fihak, termasuk kepada yang dulu pernah kita tinggalkan dan lupakan. Atau bahkan kepada yang tadinya kita tidak sukai sama sekali. Setelah kesulitan terselesaikan, kembalilah kita lupa diri, tidak mengakui sumbangsih dari pihak lain. Bahkan pula, pihak yang telah berjasa kepada keberhasilan, kita campakkan lagi tanpa canggung.

Dalam kehidupan nyata, kita lebih suka melihat sosok-sosok seperti Sumantri yang memang lebih nyaman dipandang oleh mata duniawi. Bangsa kulit putih  punya peribahasa, yang sebenarnya berupa olok-olok saja, tetapi banyak betulnya juga; ‘good looking tends to win’. Manusia yang mampu menampilkan kelebihan, entah fisik, intelekual atau material secara lahir, memang lebih mudah menarik simpati dari kalangan ramai.

Sifat Sukrasana di lain fihak, biasanya dimiliki orang-orang yang tidak begitu beruntung dari sisi kehidupan. Sukrasana biasanya ada pada diri orang yang hidup melarat, hidup penuh kesusahan dan kegagalan, tersingkir dari hingar bingarnya dunia. Keberadaan Sukrasana di kehidupan nyata, sering dianggap sebagai angin lalu saja. Bahkan kehadirannya kerap kali dianggap sebagai perusuh mata dan pengganggu keindahan. Banyak yang tak sadar bahwa golongan ini bisa jadi memiliki tempat yang sangat baik dimata Tuhan, dikarenakan sikap ‘qanaah’ dan syukur yang selalu mereka kembangkan. Dari ajaran suci kita mengetahui lewat doa, jerih payah dan ketabahan mereka dalam hidup, Tuhan menunda murka serta hukuman yang sebenarnya hendak ditumpahkan-Nya melihat kedurjanaan, kesombongan, ambisi yang berlebihan dari jiwa-jiwa kotor di hati kebanyakan manusia. Perilaku ikhlas dari pemilik jiwa Sukrasana, sesungguhnya telah banyak memberi andil terhadap apa yang kita raih dalam kehidupan. Sayangnya, tak banyak dari kita menyadari akan hal itu, apatah lagi untuk sempat berterimakasih, ataupun memberikan perhatian balik yang layak terhadap mereka.