Umum adanya terhadap nama – nama bernuansa satwa dalam sejarah Indonesia kuno, tak terkecuali di Majapahit. Sebenarnya kalau diteliti, nama – nama tersebut adalah nama gelar yang disematkan kepada tokoh yang bersangkutan setelah kiprahnya diketahui masyarakat. Sayangnya, bangsa Indonesia tidak pandai menyimpan catatan terstruktur sehingga seringkali nama asli serta asal – usul si penyandang gelar hilang ditelan jaman. Pada akhirnya banyak mitos bermunculan yang seringkali membingungkan karena bercampurnya mistis dan kenyataan sejarah, suatu hal yang teramat unik dalam mempelajari nusantara pra-Indonesia. Dalam tulisan ini ditampilkan tokoh-tokoh bernama Gajah yang kebetulan sangat berperan dalam kelangsungan negara Majapahit, meski sekali lagi, nama asli serta data pribadi masih banyak mengandung misteri.
Yang pertama tentunya nama Gajah Mada, Mahapatih di Majapahit pada jaman Ratu Tribhuwana Tunggadewi hingga Shri Rajasanegara di kurun 1329-1357. Tidak ada catatan pasti mengenai jatidiri Gajah Mada. Nama aslinya pun tidak diketahui. Pendapat umum mengatakan Gajah Mada adalah anak keluarga petani dari daerah Blitar. Sebagian mengatakan beliau adalah keturunan prajurit Mongol yang tinggal dan menikah dengan wanita Jawa setelah peristiwa di Surabaya 1293. Hal ini menilik dari kemampuan diplomasi Gajah Mada yang banyak berciri Tionghoa, serta ditambah kenyataan Gajah Mada mampu membuat eksistensi Majapahit terhindar dari bentrokan dengan Dinasti Ming, penguasa Asia Timur saat itu. Pendapat – pendapat diatas hanya dugaan yang sangat lemah dari bukti – bukti sejarah. Nama Gajah Mada mulai muncul saat terjadi usaha penyelamatan Shri Jayanegara dari pemberontakan Kuti 1321. Setelah pemberontakan Kuti padam, barulah nama Gajah Mada tersemat padanya. Gajah artinya besar, atau pimpinan. Mada artinya setara, ada pula yang mengartikan prajurit. Jadi nama Gajah Mada dalam kesustraan Jawa kuno berarti pimpinan prajurit, atau prajurit yang agung. Berbeda dengan dengung Sumpah Palapa yang abadi, tidak banyak diketahui bagaimana beliau wafat. Gajah Mada tiba-tiba raib dari masyarakat luas pada tahun 1364, tanpa diketahui siapapun terkecuali keluarga dekatnya. Banyak cerita berkembang tentang wafat Gajah Mada, mulai moksa, sebagaimana kepercayaan masyarakat Hindu Indonesia masa itu, sampai mengasingkan diri dari Madakaripura di Lumajang menuju tempat nun jauh dari Jawa. Tetapi sekali lagi perkiraan – perkiran tersebut tidak ditunjang bukti yang kuat. Negarakertagama menyatakan pada tahun 1364 tersebut, Patih Gajah Mada wafat karena usia tua.
Gajah berikutnya Gajah Lembana, penerus Gajah Mada, pejabat Patih Majapahit saat meletus perang Paregreg 1404-1406. Salah satu alasan Bhre Wirabumi, pembesar Majapahit di Pamotan, berani mengangkat senjata terhadap Wikramawardhana, penguasa Majapahit di Trowulan adalah spekulasi akan berpihaknya Bhre Tumapel, seorang pangeran berpengaruh dari keluarga Majapahit kepada penguasa di Pamotan. Keyakinan Bhre Wirabhumi bertambah mengingat mundurnya kedisiplinan tentara Majapahit sejak wafatnya Gajah Mada. Perkiraan Bhre Wirabumi ternyata meleset, saat di babak akhir Paregreg Bhre Tumapel memilih berpihak pada Pura Trowulan, serta kemampuan tak terduga dari Gajah Lembana untuk menata kembali organisasi ketentaraan Majapahit. Nama Gajah Lembana sebenarnya bukan nama asli, Gajah berarti besar, sedang Lembana artinya pujian. Tidak jelas bagaimana nama ini diberikan kepada Sang Patih, terangnya berkat kerja beliau membantu Bhre Tumapel, Majapahit kembali memiliki organisasi yang rapi dan beroleh kemenangan di Perang Paregreg. Sebagaimana Gajah Mada, tidak banyak diketahui data diri serta riwayat Gajah Lembana.
Gajah yang terakhir adalah Narapati Gajah, atau Raden Gajah. Narapati Gajah merupakan salah satu panglima Majapahit dalam perang Paregreg. Nama Narapati Gajah berarti ‘yang tersangkut kematian besar’. Nama ini melekat kepada Senapati Gajah karena keberhasilannya menyergap Bhre Wirabumi saat melarikan diri dari Pamotan. Kedaton Pamotan yang ‘bedah’ tidak dihancurkan oleh pasukan Majapahit karena masih adanya penghormatan terhadap ibu Bhre Wirabumi, istri dari mendiang Shri Hayam Wuruk. Bhre Wirabumi yang berusaha melakukan perang gerilya di luar keraton tertangkap oleh pasukan Majapahit pimpinan Narapati Gajah untuk kemudian menerima hukuman mati dari raja Majapahit di Trowulan. Riwayat lengkap Raden Gajah tidak banyak diungkap, kecuali kematiannya saat terjadi kekacauan negara di masa pemerintahan Ratu Suhita 1433. Terbunuhnya Raden Gajah sebagai benteng terakhir penganut faham integralistik Gajah Mada merupakan kehilangan yang besar bagi Majapahit, hingga mempercepat redupnya sinar kerajaan secara luas.
Monday, January 17, 2011
Sunday, January 16, 2011
Ijo-ijoan
[Celetukan ini sebenarnya diinspirasi dari salah satu guyonan ludrukan Cak Kartolo. Acung jempol kepada si pengadaptasi]
Menjadi kebiasaan untuk penumpang KA Dhoho dari Surabaya untuk berhamburan keluar dari kereta saat mencapai Kertosono sebelum melanjutkan perjalanan ke Blitar. Waktu langsir yang cukupan lama biasanya dimanfaatkan para penumpang untuk ke toilet stasiun, melaksanakan shalat atau juga menyerbu warung – warung nasi pecel yang berjajar di kiri-kanan platform stasiun Kertosono. Dulu, warung – warung tersebut hanya sporadis satu atau dua stan saja, saat ini telah berkembang menjadi jajaran rapi berkat kerja keras para petugas di stasiun serta bantuan ‘guyub’ dari serikat pekerja asongan Daop VII Madiun. Latar belakang itulah yang menjadi setting lelucon ini
Di salah satu warung pecel bergerombol penumpang untuk mengantre makanan. Salah satu pemuda yang dari logatnya kemungkinan dari daerah Surabaya atau sekitarnya, ikut mengantri hingga tiba waktunya untuk mendapat giliran.
Pembeli: Buk, Pecel mboten athik tumpang (Bahasa Jawa campuran, ciri orang Surabaya,
Bu, Pecel tanpa tumpang)
Penjual: ndamel ijo-ijo an mas? (pake yang hijau? /maksudnya sayuran hijau yang mana?....biasanya di Kertosono sayuran bayam, lembayung atau serutan papaya muda)
Pembeli: Nggih, buk (Ya, bu)
Penjual: Sing pundi mas? (yang mana mas?)
Pembeli: Kodok ijo, ulo ijo, buto ijo…(Kodok hijau, ular hijau, raksasa hijau)
Penjual: …waah sampeyan wonten mawon mas….nopo mboten degan ijo pindhah....(sampeyan itu ada-ada saja mas, apa tidak mencari kelapa muda hijau* sekalian)..(ha2)
[kontan seluruh pengantri serta penjual tertawa terbahak-bahak]
Sekadar guyonan parikeno…
Menjadi kebiasaan untuk penumpang KA Dhoho dari Surabaya untuk berhamburan keluar dari kereta saat mencapai Kertosono sebelum melanjutkan perjalanan ke Blitar. Waktu langsir yang cukupan lama biasanya dimanfaatkan para penumpang untuk ke toilet stasiun, melaksanakan shalat atau juga menyerbu warung – warung nasi pecel yang berjajar di kiri-kanan platform stasiun Kertosono. Dulu, warung – warung tersebut hanya sporadis satu atau dua stan saja, saat ini telah berkembang menjadi jajaran rapi berkat kerja keras para petugas di stasiun serta bantuan ‘guyub’ dari serikat pekerja asongan Daop VII Madiun. Latar belakang itulah yang menjadi setting lelucon ini
Di salah satu warung pecel bergerombol penumpang untuk mengantre makanan. Salah satu pemuda yang dari logatnya kemungkinan dari daerah Surabaya atau sekitarnya, ikut mengantri hingga tiba waktunya untuk mendapat giliran.
Pembeli: Buk, Pecel mboten athik tumpang (Bahasa Jawa campuran, ciri orang Surabaya,
Bu, Pecel tanpa tumpang)
Penjual: ndamel ijo-ijo an mas? (pake yang hijau? /maksudnya sayuran hijau yang mana?....biasanya di Kertosono sayuran bayam, lembayung atau serutan papaya muda)
Pembeli: Nggih, buk (Ya, bu)
Penjual: Sing pundi mas? (yang mana mas?)
Pembeli: Kodok ijo, ulo ijo, buto ijo…(Kodok hijau, ular hijau, raksasa hijau)
Penjual: …waah sampeyan wonten mawon mas….nopo mboten degan ijo pindhah....(sampeyan itu ada-ada saja mas, apa tidak mencari kelapa muda hijau* sekalian)..(ha2)
[kontan seluruh pengantri serta penjual tertawa terbahak-bahak]
Sekadar guyonan parikeno…
Subscribe to:
Posts (Atom)