Thursday, December 30, 2010

Salya Gugur II: Salya Parwa (Bharatayudha)


Gugurnya Adipati Karna oleh Arjuna pada pertempuran hari ke-17 Perang Kurukhsetra membawa kesedihan baik bagi keluarga Kurawa maupun Pandawa. Bagi Pandawa, Karna adalah saudara tua yang dihormati. Sedang Kurawa berduka karena hilang lagi satu prajurit utama dari kubu Hastinapura. Keaadaan ini memaksa Duryudhana meminta kesediaan Prabu Salya, untuk menjadi senapati/panglima prajurit - prajurit Kurawa. Duryudhana mengerti benar, bahwa Salya tidak setuju akan terjadinya Perang Baratayudha. Duryudhana pun paham, meskipun Salya merupakan mertuanya, cinta Salya kepada Pandawa jauh lebih besar daripada kepada Keluarga Kurawa. Hal ini tak lepas dari kecintaan Prabu Salya kepada Dewi Madrim, adik perempuannya yang menjadi ibu dari Nakula – Sahadewa, bungsu di keluarga Pandawa.

Lewat diskusi panjang, Duryudhana akhirnya berhasil membujuk Salya menjadi pemimpin barisan Kurawa di medan laga. Dengan berat hati pula sebenarnya, Salya menerima tawaran Duryudhana. Sampai hari itu, Salya masih diliputi kesedihan atas gugurnya kerabat-kerabat dekatnya di Kurukhsetra. Disamping kematian sang menantu yakni Adipati Karna, Salya juga kehilangan  dua putra terkasih; Rukmarata dan Burisrawa yang telah gugur beberapa hari sebelumnya. Diceritakan bahwa Salya berputra 5 orang: Dewi Erawati (istri Prabu Baladewa di Mathura), Dewi Surtikanti (istri Adipati Karna di Awangga/Anga), Dewi Banowati (istri Prabu Duryudhana di Hastinapura), Rukmarata serta Burisrawa.

Maka bersorak-sorai pasukan Hastina saat pagi hari ke-18 peperangan, dimana Salya maju ke Palagan Kurukhsetra disertai panglima-panglima dari Mandaraka. Pasukan Pandawa pun menyambut dengan semangat tinggi, dipimpin Bhima dan Arjuna. Dalam waktu singkat, Salya berhasil membuat kocar – kacir barisan pasukan Pandawa. Salya seakan dikelilingi puluhan prajurit raksasa kerdil. Terbunuh satu raksasa, muncul dua raksasa baru, kemudian menjadi empat, enam-belas, dan begitu seterusnya. Inilah sebenarnya Sakti Chandabhirawa, ilmu tinggi warisan dari Sang Bagaspati.

Bhima dan Arjuna pun merasa kewalahan dengan hadirnya raksasa–raksasa Chandabhirawa, sehingga mengambil langkah mundur. Tanggap Sri Kresna, penasehat Pandawa menghadapi keadaan demikian. Dipanggillah Nakula dan Sadewa untuk mengahadang laju sang uwak. Diperintahkan oleh Kresna agar mereka berpakaian serba putih tanpa membawa senjata. Nakula – Sadewa pun menurut dan berhasil mendekati Prabu Salya tanpa mendapat hadangan dari raksasa Chandabhirawa. Salya sempat terkejut dengan kehadiran kemenakannya dengan cara seperti itu. Kemudian terjadilah adegan mengharukan. Serta merta Salya merangkul kemenakannya dengan erat.

”Nakula – Sadewa, aku menyayangimu seperti anakku sendiri…..ingatanku selalu kembali kepada adikku Si Madrim jika bertemu denganmu" ucap Salya.

Melihat Nakula  dan Sadewa berpakaian putih – putih, Salya sedikit terkesiap.

"Mengapa kalian berpakaian putih-putih seperti ini di medan perang?” tanya Prabu Salya menyelidik.

”Kanda Prabu Kresna yang telah memerintahkan kami” sahut Nakula dan Sadewa lirih.

Terdiam Salya mendengar jawaban Nakula-Sadewa. Matanya menerawang jauh.

”Hmm…rupanya Batara Wisnu (*) telah mengingatkan akan janjiku” gumam Salya.

”Anakku Nakula maupun Sadewa, aku beritahu bahwa dengan engkau berdua berpakaian putih – putih seperti ini, Kakakmu Sri Kresna memberi pesan pada diriku” ujar Sang Salya.

“ Ini berarti telah sampai waktu bagiku untuk menepati janji kepada Resi Bagaspati, ayah mertuaku. Warna baju dan selendang putih yang kalian berdua kenakan, adalah warna kesukaan Ramanda Bagaspati........”  ucap Prabu Salya dengan parau.

“ Ya, memang sudah waktunya aku kembalikan Chandabhirawa kepada yang lebih berhak” tambah Prabu Salya.

“ Nakula dan Sadewa, panggillah si Yudhistira untuk menghadapiku. Aku merasa hanya dia yang bisa aku titipi Chandabhirawa.......”. Sejenak Sang Salya terdiam.
“……..dan sepeninggalku nanti, aku titipkan Kerajaan Mandaraka kepada kalian berdua. Pimpinlah Negeri Mandaraka dengan baik. Tegakkan keadilan, dan ayomi kehidupan rakyat di Mandaraka”, berkata demikian, jatuhlah cucuran tangis Salya maupun Nakula – Sadewa.

Singkat cerita majulah Yudhistira ke peperangan, suatu hal yang jarang terjadi. Meskipun di masa mudanya Yudhistira seorang ksatria tangguh yang tak kalah jago dari adik-adiknya seperti Bhima dan Arjuna, tetapi minatnya tumbuh lebih besar kepada ilmu kenegaraan dan kebijaksanaan.

Melihat Yudhistira ada di medan perang, raksasa – raksasa Chandabhirawa menghilang satu demi satu sambil berteriak:  
”aku ikut, Bapak..aku kembali kepadamu, Bapak!”….

Konon, melihat sang Yudhistira, raksasa – raksasa bajang Chandabhirawa seakan melihat Resi Bagaspati melambaikan tangan, mengajak raksasa-raksasa kerdil itu mengikuti raga Yudhistira.

Salya pun tersenyum, lalu berkata;
”Yudhistira, ucap trimakasih engkau bersedia datang memenuhi permintaanku...
Ketahuilah, Ngger.... aji Chandrabhirawa telah aku relakan untuk engkau warisi. Dengan begitu tertebus pula dosaku kepada Ramanda Bagaspati. Beliau dan diriku adalah saudara di kehidupan yang lalu….
aku merupakan titisan Sumantri, sedang Ramanda Bagaspati adalah penjelmaan Sukrasana, saudaraku. Telah lama aku menantikan pertemuan kembali dengannya”

“Rupanya di peperangan ini, sukma Sukrasana datang untuk menjemputku. Gembira hatiku karenanya. Dengan kematianku pula, engkau dan saudaramu akan dapat memenangkan perang ini lebih mudah. Angkara murka Kurawa, memang harus segera terbasmi. Karena itu lemparkan tombakmu Yudhistira, aku sudah siap” tegas Sang Salya mantap tanpa ragu - ragu.

Menitik air mata Sang Yudhistira mendengar penjelasan itu. Sejurus kemudian sulung Pandawa itu mengambil tombak pusaka, dan dengan satu lemparan, gugurlah sang Salya di Kurukhsetra.


Catatan:
- Cerita Narasoma dan Salya Gugur di tulisan ini banyak dipengaruhi Versi Jawa yang tidak diketemukan di versi aslinya, Mahabharata versi Wyasa. Pujangga-pujangga di Nusantara telah banyak menggubah cerita-cerita yang ada, agar lebih menarik dan sesuai dengan masyarakat lokal. Jika dibawakan oleh seorang dalang yang berpengalaman, Kisah Salya Gugur akan sanggup membuat penonton bungkam serta berkaca – kaca, terutama di bagian akhir cerita

- Sumantri dan Sukrasana adalah putra Begawan Swandagni di Epos 'Arjunasasrabahu'. Sumantri di masa hidupnya melakukan kesalahan yang tidak ia sengaja, menyebabkan Sukrasana, saudaranya, terbunuh. Karena rasa cinta yang besar kepada saudaranya itu, kematian Sukrasana sangat disesali Sumantri sepanjang hidupnya. Diilhami kepercayaan pada masa itu, diceritakan  bahwa penjelmaan sebagai Narasoma (Salya) merupakan masa penebusan dosa bagi Sumantri. Sebagai referensi dapat dibaca pada Kisah "Sumantri dan Sukrasana".

- (*) Sri Kresna dalam Wiracarita Mahabharata merupakan representasi dari Sang Hyang Wisnu yang turun ke dunia untuk memadamkan kejahatan dari Para Kurawa.

Monday, December 20, 2010

Salya Gugur I: Narasoma


Cerita Narasoma dipetik dari Epik Mahabharata yang banyak dipengaruhi versi Pewayangan Nusantara. Versi asli Mahabharata menceritakan adanya nama Salya, seorang raja dari daerah Madras, India. Saat akan pecah Perang Bharatayudha, Salya berkeinginan memberikan dukungan kepada Pandawa, akan tetapi di tengah jalan tertipu bujuk rayu Duryudana. Hingga akhirnya dalam Perang Bharatyudha di Kurukhsetra, Salya tergabung dengan kubu Kurawa dari Hastinapura.

Versi Nusantara menceritakan kehidupan Sri Salya secara lebih panjang lebar. Salya saat masih muda bernama Narasoma, Pangeran Mahkota dari kerajaan Mandaraka. Saat beranjak dewasa, Narasoma didesak oleh ayahnya, Prabu Mandrapati (ada juga yang menyebut Prabu Mandradipa) agar segera mencari pasangan hidup, sehingga tahta Mandaraka dapat segera dilakukan suksesi. Prabu Mandrapati bermaksud untuk lengser keprabon, madheg pinandhita (suatu cerita yang diambil kebiasaan dari raja – raja Indonesia di masa Hindu).

Narasoma masygul, enggan untuk memenuhi keinginan Sang Ramanda. Ia merasa belum cukup umur dan masih bercita-cita mencari ilmu dari berbagai guru yang ada di pertapaan – pertapaan terpencil. Narasoma pun minggat dari istana saat tekanan untuk menikah dari keluarga semakin kuat.

Di dalam perjalanan, Narasoma bertemu pendeta sakti berwujud raksasa bernama Bagaspati. Pertemuan ini suatu kebetulan, karena Bagaspati telah berjalan berhari-hari dengan maksud untuk bertemu dengan Narasoma. Bagaspati diminta oleh anak perempuan tunggalnya untuk dipertemukan dengan Narasoma. Konon, Narasoma telah membuatnya jatuh cinta lewat mimpi-mimpi yang dialami setelah bertapa untuk mendapatkan jodoh. Mendengar cerita ini, Narasoma menolak. Dia merasa enggan untuk harus menikahi seorang raseksi (raksasa perempuan), meski itu anak seorang brahmana sakti. Singkat kata terjadi perkelahian antara Narasoma dan Bagaspati, Narasoma mengalami kekalahan. Dengan berat hati Narasoma menuruti Bagaspati untuk dibawa ke pertapaannya di Argobelah. Sesampai di Argobelah, Narasoma kaget bukan kepalang. Anak Bagaspati ternyata seorang putri yang jelita, bernama Pujawati. Pujawati adalah anak perempuan Resi Bagaspati pemberian dari para dewa. Maka berlangsunglah pernikahan antara Narasoma dan Pujawati disaksikan oleh penduduk Argobelah.

Selang beberapa hari setelah pernikahan, Narasoma sering terlihat termenung sendiri. Sebagai pendeta yang sidik wacana, Bagaspati menangkap isi hati Narasoma. Maka dipanggillah sang menantu.

”Narasoma, aku berterimakasih engkau telah memenuhi keinginan si Pujawati, meski aku pun tahu engkau malu menganggap diriku sebagai ayah mertuamu’..demikian ucap sang Pendeta.

”Ah, tidak Bapak, aku tidak berpikir sedemikian” jawab Narasoma.

”Jangan berbohong, Narasoma, aku tahu benar isi hatimu” timpal Bagaspati. Narasoma tak bisa membantah, dia memang merasa risih dengan adanya Bagaspati yang berwujud raksasa sebagai mertuanya.

”Panggil si Pujawati kesini”, sambung sang Pendeta.

Datanglah Pujawati ke ruang itu.

”Narasoma, untuk melapangkan kepulanganmu ke Mandaraka, aku akan moksa. Sudah cukup dharmaku di madyapada ini. Aku ingin kembali ke puncak dewa-dewa. Sebagai wasiat, aku titip anakku si Pujawati” demikian pesan Resi Bagaspati.

“ Aku akan wariskan pula ajian Chandabhirawa, yang bisa engkau pakai sebagai senjata andalanmu. Namun engkau harus berhati – hati, Narasoma, jangan sampai engkau bentrok dengan orang dengan sifat seperti aku. Ajian itu tidak akan mempan menghadapinya. Aku seorang berdarah putih (*seorang penyabar), berhati-hatilah dengan orang seperti itu. Jika engkau tidak bisa mengelak untuk bertempur dengannya, artinya itu saat dharma-mu telah usai...” tambah Sang Bagaspati.

Mendengar pesan dari Sang Resi, Narasoma maupun Pujawati berlinang air mata. Terutama bagi Pujawati, kata – kata Sang Resi bagai kalimat perpisahan yang memilukan. Sang Bagaspati tersenyum melihat putri cantik kesayangannya itu.
“Pujawati, janganlah engkau menangis. Temani hidup Narasoma dengan setia. Suatu hari kelak, Narasoma akan jadi raja besar dan ternama……sebagai penanda atas restu dan doaku untukmu, ubahlah namamu menjadi Setyawati saat menjadi permaisuri nanti” pesan dari Resi Bagaspati.

Tak lama kemudian, Sang Resi mengambil sikap sempurna, dan hilang dari pandangan Narasoma maupun Pujawati. Sang Resi telah mangkat.

Singkat cerita, Narasoma kembali ke Mandaraka, menjadi raja bergelar Sri Maharaja Salya. Konon, sifat darah putih yang dimaksud Bagaspati ada pada diri Yudhistira, seorang pangeran keturunan Bharata/Kuru yang sabar dan bijaksana. Dalam perang Bharatayudha, Salya gugur oleh Yudhistira.

[bersambung] : Salya Gugur II: Salya Parwa (Bharatayudha)