Sunday, July 18, 2010

KA Dhoho - KA Penataran

Bagi para pengguna jasa kereta api jalur selatan ke Blitar, tentunya nama KA Dhoho–KA Penataran bukan nama yang asing. Karena KA yang satu ini merupakan satu-satunya akses langsung dari Surabaya ke Blitar. Entah sudah berapa lama, nama Dhoho atau Penataran telah bertugas mengantar para penumpang dari Surabaya ke Blitar. Baik Penataran atau Dhoho merupakan KA kelas III, jauh dari kemewahan kalau dibanding KA Kelas Gunung (Argo) ataupun Kelas Satwa. Tapi jangan salah untuk urusan komunal, kehangatan di Penataran atau Dhoho akan sulit ditemui di kereta-kereta lain yang pernah meluncur di Indonesia.

Sebenarnya, baik Penataran atau Dhoho, keduanya dilayani KA yang sama. KA yang berangkat dari Surabaya saat bertugas di jalur Kertosono bernama Dhoho, dan saat mencapai Blitar, KA ini akan berjalan terus menuju Malang dan Surabaya dengan nama KA Penataran. Hal yang sama juga dijalani KA Penataran saat mencapai Blitar, berganti nama menjadi KA Dhoho saat meneruskan perjalanan pulang ke Surabaya lewat jalur Kertosono.

Nama KA Penataran, mengabadikan nama Candi Penataran tinggalan Shri Rajasanegara Hayam Wuruk di desa Penataran, Kabupaten Blitar. Sedang nama Dhoho mengabadikan nama Dhaha atau disebut pula Dhahanapura, ibukota Kerajaan Kediri dimasa dinasti Isyana tempo dulu. Untuk KA Dhoho, jadwal keberangkatan dari Surabaya, sekitar pukul 5.00, 8.00, 11.00 dan 16.00. KA Penataran biasanya berangkat 15-30 menit sebelumnya. Sepanjang tahun akan ada perubahan meski tidak jauh dari waktu-waktu tersebut..

Banyak yang bisa dipahami dari bepergian dengan KA sekelas Penataran atau Dhoho, yang notabene KA Kelas ‘teri’ tersebut. Terutama melihat dari dekat kehidupan masyarakat kecil yang penuh dinamika, meski kadang ada saatnya kita harus melihat pula kerasnya kehidupan dari pelaku-pelaku yang mengiringi KA tersebut semacam preman, mafia, ataupun pekerja bawah umur. Rasa syukur dan prihatin selalu mengiring sepanjang perjalanan. Bersyukur atas nikmat Tuhan yang terlimpah kepada umat-Nya tanpa kecuali saat mendengar canda-tawa yang terlontar dari para penumpang. Rasa prihatin terkadang timbul karena selama puluhan tahun, seakan isi KA Penataran ataupun KA Dhoho tidak banyak berubah. Seakan menjadi cerminan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang masih hidup sengsara bergulat dengan kemiskinan, tak terpengaruh sedikitpun dengan tak hentinya ramainya perebutan ‘pusaka adil’ di pusat negeri.

Monday, July 12, 2010

Haryo Penangsang


Cerita Haryo Penangsang merupakan cerita yang cukup sering dipanggungkan di pentas- pentas drama tradisional. Versi yang umum dikenal di masyarakat, perseteruan Penangsang – Hadiwijaya berebut pengaruh politik berakhir dengan kematian Penangsang ditengah Bengawan Sore, tertikam tombak Kyai Plered oleh Danang Sutawijaya (dibelakang hari beliau menjadi penguasa Mataram bergelar Panembahan Senapati). Dalam Serat Kandha dikisahkan Penangsang berpuasa serta menahan amarah selama 40 hari untuk memperoleh kesaktian. Di hari ke-40 datang tantangan dari fihak Pajang membuat Penangsang lupa diri. Sembari mengenderai kuda Gagak Rimang bersenjatakan keris Setan Kober, Penangsang menjawab tantangan itu. Gagak Rimang merupakan kuda jantan yang diperam di kandang setiap harinya, sehingga saat melihat kuda betina yang dikendarai anak angkat Sultan Pajang, Sutawijaya, Gagak Rimang menjadi liar akibat nafsu birahi. Penangsang tidak mampu mengendalikannya, sehingga memudahkan Sutawijaya untuk menancapkan tombak Plered ke perut Penangsang. Usus terburai dari perut, dan meski sempat memberikan perlawanan yang gagah, Penangsang akhirnya gugur. Konon ini pula yang menjadikan adat keris Jawa diberi ’melati rinonce’ (rangkaian melati), untuk mengabadikan gagahnya Penangsang saat bertempur dengan keris dibelit usus yang terburai.
TVRI Yogyakarta bekerjasama dengan TVRI Surabaya sekitar tahun 2002-2003 pernah menayangkan cerita tentang Harya Penangsang dari versi lain. Menurut versi yang konon merupakan cerita asli tersebut, kisah tentang Haryo Penangsang sesungguhnya banyak mengandung simbol. Puasa yang dilakukan Adipati Penangsang merupakan perlambang, saat Jipang Panolan (sekarang daerah di Cepu) daerah kekuasaan Adipati Penangsang diblokade secara ekonomi oleh Pajang (sekarang daerah di Kartasura), kesultanan yang dipimpin Mas Hadiwijaya (beliau dikenal pula sebagai Mas Karebet atau Jaka Tingkir). Kehidupan ekonomi yang sulit digambarkan seperti keadaannya orang berpuasa. Strategi ditempuh fihak Pajang dengan menyusupkan wanita cantik yang berperan sebagai telik sandi serta penggoda di istana Kadipaten Jipang(Mungkin strategi ini juga mengilhami Sutawijaya saat berkonflik dengan Ki Ageng Mangir serta Adipati Timur di Madiun di jaman Mataram, dimana Sutawijaya menyusupkan Rara Pambayun di Mangir, serta Nyi Adisara di Madiun sebagai telik sandi). Penangsang terpikat dan berkeinginan mengambil wanita tersebut sebagai istri. Si wanita setuju, dengan syarat pada malam setelah pesta pernikahan, dirinya digendong dari sitihinggil ke peraduan tanpa kawalan. Penangsang menyanggupinya. Ketika dalam perjalanan menggendong itulah, Penangsang ditikam oleh Sutawijaya oleh tombak Plered. Ini yang digambarkan sebagai Gagak Rimang terpikat kuda betina. Demikian akhirnya Penangsang gugur, menyudahi konflik puluhan tahun diantara keluarga Kesultanan Demak sepeninggal Raden Patah.
Entahlah mana yang benar dari versi yang ada, yang pasti dua versi cerita Haryo Penangsang mengandung filsafat bijak agar manusia tidak ’grusa-grusu’ dalam bertindak. Sesuai filsafat kuno yang sering diwasiatkan dar para leluhur; ’ ojo kagetan, ojo gumunan, sing tetep eling lan waspodo’.