Bagi para pengguna jasa kereta api jalur selatan ke
Blitar, tentunya nama KA Dhoho–KA Penataran bukan nama yang asing. Karena KA yang
satu ini merupakan satu-satunya akses langsung dari Surabaya ke Blitar. Entah
sudah berapa lama, nama Dhoho atau Penataran telah bertugas mengantar para penumpang
dari Surabaya ke Blitar. Baik Penataran atau Dhoho merupakan KA kelas III, jauh
dari kemewahan kalau dibanding KA Kelas Gunung (Argo) ataupun Kelas Satwa. Tapi
jangan salah untuk urusan komunal, kehangatan di Penataran atau Dhoho akan
sulit ditemui di kereta-kereta lain yang pernah meluncur di Indonesia.
Sebenarnya, baik Penataran atau Dhoho, keduanya dilayani
KA yang sama. KA yang berangkat dari Surabaya saat bertugas di jalur Kertosono
bernama Dhoho, dan saat mencapai Blitar, KA ini akan berjalan terus menuju
Malang dan Surabaya dengan nama KA Penataran. Hal yang sama juga dijalani KA
Penataran saat mencapai Blitar, berganti nama menjadi KA Dhoho saat meneruskan
perjalanan pulang ke Surabaya lewat jalur Kertosono.
Nama KA Penataran, mengabadikan nama Candi Penataran
tinggalan Shri Rajasanegara Hayam Wuruk di desa Penataran, Kabupaten Blitar.
Sedang nama Dhoho mengabadikan nama Dhaha atau disebut pula Dhahanapura,
ibukota Kerajaan Kediri dimasa dinasti Isyana tempo dulu. Untuk KA Dhoho,
jadwal keberangkatan dari Surabaya, sekitar pukul 5.00, 8.00, 11.00 dan 16.00. KA
Penataran biasanya berangkat 15-30 menit sebelumnya. Sepanjang tahun akan ada
perubahan meski tidak jauh dari waktu-waktu tersebut..
Banyak yang bisa dipahami dari bepergian dengan KA
sekelas Penataran atau Dhoho, yang notabene KA Kelas ‘teri’ tersebut. Terutama
melihat dari dekat kehidupan masyarakat kecil yang penuh dinamika, meski kadang
ada saatnya kita harus melihat pula kerasnya kehidupan dari pelaku-pelaku yang
mengiringi KA tersebut semacam preman, mafia, ataupun pekerja bawah umur. Rasa
syukur dan prihatin selalu mengiring sepanjang perjalanan. Bersyukur atas
nikmat Tuhan yang terlimpah kepada umat-Nya tanpa kecuali saat mendengar
canda-tawa yang terlontar dari para penumpang. Rasa prihatin terkadang timbul
karena selama puluhan tahun, seakan isi KA Penataran ataupun KA Dhoho tidak
banyak berubah. Seakan menjadi cerminan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia
yang masih hidup sengsara bergulat dengan kemiskinan, tak terpengaruh sedikitpun
dengan tak hentinya ramainya perebutan ‘pusaka adil’ di pusat negeri.