Gugurnya Adipati Karna oleh
Arjuna pada pertempuran hari ke-17 Perang Kurukhsetra membawa kesedihan baik
bagi keluarga Kurawa maupun Pandawa. Bagi Pandawa, Karna adalah saudara tua
yang dihormati. Sedang Kurawa berduka karena hilang lagi satu prajurit utama
dari kubu Hastinapura. Keaadaan ini memaksa Duryudhana meminta kesediaan Prabu
Salya, untuk menjadi senapati/panglima prajurit - prajurit Kurawa. Duryudhana mengerti
benar, bahwa Salya tidak setuju akan terjadinya Perang Baratayudha. Duryudhana
pun paham, meskipun Salya merupakan mertuanya, cinta Salya kepada Pandawa jauh
lebih besar daripada kepada Keluarga Kurawa. Hal ini tak lepas dari kecintaan
Prabu Salya kepada Dewi Madrim, adik perempuannya yang menjadi ibu dari Nakula
– Sahadewa, bungsu di keluarga Pandawa.
Lewat diskusi panjang,
Duryudhana akhirnya berhasil membujuk Salya menjadi pemimpin barisan Kurawa di
medan laga. Dengan berat hati pula sebenarnya, Salya menerima tawaran
Duryudhana. Sampai hari itu, Salya masih diliputi kesedihan atas gugurnya
kerabat-kerabat dekatnya di Kurukhsetra. Disamping kematian sang menantu yakni
Adipati Karna, Salya juga kehilangan dua putra terkasih; Rukmarata dan
Burisrawa yang telah gugur beberapa hari sebelumnya. Diceritakan bahwa Salya
berputra 5 orang: Dewi Erawati (istri Prabu Baladewa di Mathura), Dewi Surtikanti
(istri Adipati Karna di Awangga/Anga), Dewi Banowati (istri Prabu Duryudhana di
Hastinapura), Rukmarata serta Burisrawa.
Maka bersorak-sorai pasukan
Hastina saat pagi hari ke-18 peperangan, dimana Salya maju ke Palagan
Kurukhsetra disertai panglima-panglima dari Mandaraka. Pasukan Pandawa pun
menyambut dengan semangat tinggi, dipimpin Bhima dan Arjuna. Dalam waktu
singkat, Salya berhasil membuat kocar – kacir barisan pasukan Pandawa. Salya
seakan dikelilingi puluhan prajurit raksasa kerdil. Terbunuh satu raksasa,
muncul dua raksasa baru, kemudian menjadi empat, enam-belas, dan begitu
seterusnya. Inilah sebenarnya Sakti Chandabhirawa, ilmu tinggi warisan dari
Sang Bagaspati.
Bhima dan Arjuna pun merasa kewalahan dengan hadirnya raksasa–raksasa Chandabhirawa, sehingga mengambil langkah mundur. Tanggap Sri Kresna, penasehat Pandawa menghadapi keadaan demikian. Dipanggillah Nakula dan Sadewa untuk mengahadang laju sang uwak. Diperintahkan oleh Kresna agar mereka berpakaian serba putih tanpa membawa senjata. Nakula – Sadewa pun menurut dan berhasil mendekati Prabu Salya tanpa mendapat hadangan dari raksasa Chandabhirawa. Salya sempat terkejut dengan kehadiran kemenakannya dengan cara seperti itu. Kemudian terjadilah adegan mengharukan. Serta merta Salya merangkul kemenakannya dengan erat.
Bhima dan Arjuna pun merasa kewalahan dengan hadirnya raksasa–raksasa Chandabhirawa, sehingga mengambil langkah mundur. Tanggap Sri Kresna, penasehat Pandawa menghadapi keadaan demikian. Dipanggillah Nakula dan Sadewa untuk mengahadang laju sang uwak. Diperintahkan oleh Kresna agar mereka berpakaian serba putih tanpa membawa senjata. Nakula – Sadewa pun menurut dan berhasil mendekati Prabu Salya tanpa mendapat hadangan dari raksasa Chandabhirawa. Salya sempat terkejut dengan kehadiran kemenakannya dengan cara seperti itu. Kemudian terjadilah adegan mengharukan. Serta merta Salya merangkul kemenakannya dengan erat.
”Nakula – Sadewa, aku
menyayangimu seperti anakku sendiri…..ingatanku selalu kembali kepada adikku Si
Madrim jika bertemu denganmu" ucap Salya.
Melihat Nakula dan Sadewa berpakaian putih – putih, Salya sedikit terkesiap.
Melihat Nakula dan Sadewa berpakaian putih – putih, Salya sedikit terkesiap.
"Mengapa kalian berpakaian putih-putih seperti ini di medan perang?” tanya Prabu Salya
menyelidik.
”Kanda Prabu Kresna yang telah
memerintahkan kami” sahut Nakula dan Sadewa lirih.
Terdiam Salya mendengar jawaban
Nakula-Sadewa. Matanya menerawang jauh.
”Hmm…rupanya Batara Wisnu
(*) telah mengingatkan akan janjiku” gumam Salya.
”Anakku Nakula maupun Sadewa,
aku beritahu bahwa dengan engkau berdua berpakaian putih – putih seperti ini,
Kakakmu Sri Kresna memberi pesan pada diriku” ujar Sang Salya.
“ Ini berarti telah sampai waktu
bagiku untuk menepati janji kepada Resi Bagaspati, ayah mertuaku. Warna
baju dan selendang putih yang kalian berdua kenakan, adalah warna kesukaan Ramanda Bagaspati........” ucap Prabu Salya dengan parau.
“ Ya, memang sudah waktunya aku
kembalikan Chandabhirawa kepada yang lebih berhak” tambah Prabu Salya.
“ Nakula dan Sadewa, panggillah
si Yudhistira untuk menghadapiku. Aku merasa hanya dia yang bisa aku titipi
Chandabhirawa.......”. Sejenak Sang Salya terdiam.
“……..dan sepeninggalku nanti,
aku titipkan Kerajaan Mandaraka kepada kalian berdua. Pimpinlah Negeri
Mandaraka dengan baik. Tegakkan keadilan, dan ayomi kehidupan rakyat di Mandaraka”, berkata
demikian, jatuhlah cucuran tangis Salya maupun Nakula – Sadewa.
Singkat cerita majulah
Yudhistira ke peperangan, suatu hal yang jarang terjadi. Meskipun di masa
mudanya Yudhistira seorang ksatria tangguh yang tak kalah jago dari
adik-adiknya seperti Bhima dan Arjuna, tetapi minatnya tumbuh lebih besar
kepada ilmu kenegaraan dan kebijaksanaan.
Melihat Yudhistira ada di medan
perang, raksasa – raksasa Chandabhirawa menghilang satu demi satu sambil
berteriak:
”aku ikut, Bapak..aku kembali
kepadamu, Bapak!”….
Konon, melihat sang Yudhistira,
raksasa – raksasa bajang Chandabhirawa seakan melihat Resi Bagaspati
melambaikan tangan, mengajak raksasa-raksasa kerdil itu mengikuti raga
Yudhistira.
Salya pun tersenyum, lalu
berkata;
”Yudhistira, ucap trimakasih
engkau bersedia datang memenuhi permintaanku...
Ketahuilah, Ngger.... aji
Chandrabhirawa telah aku relakan untuk engkau warisi. Dengan begitu tertebus
pula dosaku kepada Ramanda Bagaspati. Beliau dan diriku adalah saudara di
kehidupan yang lalu….
aku merupakan titisan Sumantri, sedang Ramanda Bagaspati adalah penjelmaan Sukrasana, saudaraku. Telah lama aku menantikan pertemuan kembali dengannya”
aku merupakan titisan Sumantri, sedang Ramanda Bagaspati adalah penjelmaan Sukrasana, saudaraku. Telah lama aku menantikan pertemuan kembali dengannya”
“Rupanya di peperangan ini, sukma Sukrasana
datang untuk menjemputku. Gembira hatiku karenanya. Dengan kematianku pula, engkau
dan saudaramu akan dapat memenangkan perang ini lebih mudah. Angkara murka
Kurawa, memang harus segera terbasmi. Karena itu lemparkan tombakmu Yudhistira,
aku sudah siap” tegas Sang Salya mantap tanpa ragu - ragu.
Menitik air mata Sang Yudhistira
mendengar penjelasan itu. Sejurus kemudian sulung Pandawa itu mengambil tombak
pusaka, dan dengan satu lemparan, gugurlah sang Salya di Kurukhsetra.
Catatan:
- Cerita Narasoma dan
Salya Gugur di tulisan ini banyak dipengaruhi Versi Jawa yang tidak diketemukan
di versi aslinya, Mahabharata versi Wyasa. Pujangga-pujangga di Nusantara telah
banyak menggubah cerita-cerita yang ada, agar lebih menarik dan sesuai dengan
masyarakat lokal. Jika dibawakan oleh seorang dalang yang berpengalaman, Kisah
Salya Gugur akan sanggup membuat penonton bungkam serta berkaca – kaca,
terutama di bagian akhir cerita
- Sumantri dan
Sukrasana adalah putra Begawan Swandagni di Epos 'Arjunasasrabahu'. Sumantri di
masa hidupnya melakukan kesalahan yang tidak ia sengaja, menyebabkan Sukrasana,
saudaranya, terbunuh. Karena rasa cinta yang besar kepada saudaranya itu,
kematian Sukrasana sangat disesali Sumantri sepanjang hidupnya. Diilhami kepercayaan pada masa itu, diceritakan bahwa penjelmaan
sebagai Narasoma (Salya) merupakan masa penebusan dosa bagi Sumantri. Sebagai referensi dapat dibaca pada Kisah "Sumantri dan Sukrasana".
- (*) Sri Kresna dalam Wiracarita Mahabharata merupakan representasi dari Sang Hyang Wisnu yang turun ke dunia untuk memadamkan kejahatan dari Para Kurawa.