Thursday, December 30, 2010

Salya Gugur II: Salya Parwa (Bharatayudha)


Gugurnya Adipati Karna oleh Arjuna pada pertempuran hari ke-17 Perang Kurukhsetra membawa kesedihan baik bagi keluarga Kurawa maupun Pandawa. Bagi Pandawa, Karna adalah saudara tua yang dihormati. Sedang Kurawa berduka karena hilang lagi satu prajurit utama dari kubu Hastinapura. Keaadaan ini memaksa Duryudhana meminta kesediaan Prabu Salya, untuk menjadi senapati/panglima prajurit - prajurit Kurawa. Duryudhana mengerti benar, bahwa Salya tidak setuju akan terjadinya Perang Baratayudha. Duryudhana pun paham, meskipun Salya merupakan mertuanya, cinta Salya kepada Pandawa jauh lebih besar daripada kepada Keluarga Kurawa. Hal ini tak lepas dari kecintaan Prabu Salya kepada Dewi Madrim, adik perempuannya yang menjadi ibu dari Nakula – Sahadewa, bungsu di keluarga Pandawa.

Lewat diskusi panjang, Duryudhana akhirnya berhasil membujuk Salya menjadi pemimpin barisan Kurawa di medan laga. Dengan berat hati pula sebenarnya, Salya menerima tawaran Duryudhana. Sampai hari itu, Salya masih diliputi kesedihan atas gugurnya kerabat-kerabat dekatnya di Kurukhsetra. Disamping kematian sang menantu yakni Adipati Karna, Salya juga kehilangan  dua putra terkasih; Rukmarata dan Burisrawa yang telah gugur beberapa hari sebelumnya. Diceritakan bahwa Salya berputra 5 orang: Dewi Erawati (istri Prabu Baladewa di Mathura), Dewi Surtikanti (istri Adipati Karna di Awangga/Anga), Dewi Banowati (istri Prabu Duryudhana di Hastinapura), Rukmarata serta Burisrawa.

Maka bersorak-sorai pasukan Hastina saat pagi hari ke-18 peperangan, dimana Salya maju ke Palagan Kurukhsetra disertai panglima-panglima dari Mandaraka. Pasukan Pandawa pun menyambut dengan semangat tinggi, dipimpin Bhima dan Arjuna. Dalam waktu singkat, Salya berhasil membuat kocar – kacir barisan pasukan Pandawa. Salya seakan dikelilingi puluhan prajurit raksasa kerdil. Terbunuh satu raksasa, muncul dua raksasa baru, kemudian menjadi empat, enam-belas, dan begitu seterusnya. Inilah sebenarnya Sakti Chandabhirawa, ilmu tinggi warisan dari Sang Bagaspati.

Bhima dan Arjuna pun merasa kewalahan dengan hadirnya raksasa–raksasa Chandabhirawa, sehingga mengambil langkah mundur. Tanggap Sri Kresna, penasehat Pandawa menghadapi keadaan demikian. Dipanggillah Nakula dan Sadewa untuk mengahadang laju sang uwak. Diperintahkan oleh Kresna agar mereka berpakaian serba putih tanpa membawa senjata. Nakula – Sadewa pun menurut dan berhasil mendekati Prabu Salya tanpa mendapat hadangan dari raksasa Chandabhirawa. Salya sempat terkejut dengan kehadiran kemenakannya dengan cara seperti itu. Kemudian terjadilah adegan mengharukan. Serta merta Salya merangkul kemenakannya dengan erat.

”Nakula – Sadewa, aku menyayangimu seperti anakku sendiri…..ingatanku selalu kembali kepada adikku Si Madrim jika bertemu denganmu" ucap Salya.

Melihat Nakula  dan Sadewa berpakaian putih – putih, Salya sedikit terkesiap.

"Mengapa kalian berpakaian putih-putih seperti ini di medan perang?” tanya Prabu Salya menyelidik.

”Kanda Prabu Kresna yang telah memerintahkan kami” sahut Nakula dan Sadewa lirih.

Terdiam Salya mendengar jawaban Nakula-Sadewa. Matanya menerawang jauh.

”Hmm…rupanya Batara Wisnu (*) telah mengingatkan akan janjiku” gumam Salya.

”Anakku Nakula maupun Sadewa, aku beritahu bahwa dengan engkau berdua berpakaian putih – putih seperti ini, Kakakmu Sri Kresna memberi pesan pada diriku” ujar Sang Salya.

“ Ini berarti telah sampai waktu bagiku untuk menepati janji kepada Resi Bagaspati, ayah mertuaku. Warna baju dan selendang putih yang kalian berdua kenakan, adalah warna kesukaan Ramanda Bagaspati........”  ucap Prabu Salya dengan parau.

“ Ya, memang sudah waktunya aku kembalikan Chandabhirawa kepada yang lebih berhak” tambah Prabu Salya.

“ Nakula dan Sadewa, panggillah si Yudhistira untuk menghadapiku. Aku merasa hanya dia yang bisa aku titipi Chandabhirawa.......”. Sejenak Sang Salya terdiam.
“……..dan sepeninggalku nanti, aku titipkan Kerajaan Mandaraka kepada kalian berdua. Pimpinlah Negeri Mandaraka dengan baik. Tegakkan keadilan, dan ayomi kehidupan rakyat di Mandaraka”, berkata demikian, jatuhlah cucuran tangis Salya maupun Nakula – Sadewa.

Singkat cerita majulah Yudhistira ke peperangan, suatu hal yang jarang terjadi. Meskipun di masa mudanya Yudhistira seorang ksatria tangguh yang tak kalah jago dari adik-adiknya seperti Bhima dan Arjuna, tetapi minatnya tumbuh lebih besar kepada ilmu kenegaraan dan kebijaksanaan.

Melihat Yudhistira ada di medan perang, raksasa – raksasa Chandabhirawa menghilang satu demi satu sambil berteriak:  
”aku ikut, Bapak..aku kembali kepadamu, Bapak!”….

Konon, melihat sang Yudhistira, raksasa – raksasa bajang Chandabhirawa seakan melihat Resi Bagaspati melambaikan tangan, mengajak raksasa-raksasa kerdil itu mengikuti raga Yudhistira.

Salya pun tersenyum, lalu berkata;
”Yudhistira, ucap trimakasih engkau bersedia datang memenuhi permintaanku...
Ketahuilah, Ngger.... aji Chandrabhirawa telah aku relakan untuk engkau warisi. Dengan begitu tertebus pula dosaku kepada Ramanda Bagaspati. Beliau dan diriku adalah saudara di kehidupan yang lalu….
aku merupakan titisan Sumantri, sedang Ramanda Bagaspati adalah penjelmaan Sukrasana, saudaraku. Telah lama aku menantikan pertemuan kembali dengannya”

“Rupanya di peperangan ini, sukma Sukrasana datang untuk menjemputku. Gembira hatiku karenanya. Dengan kematianku pula, engkau dan saudaramu akan dapat memenangkan perang ini lebih mudah. Angkara murka Kurawa, memang harus segera terbasmi. Karena itu lemparkan tombakmu Yudhistira, aku sudah siap” tegas Sang Salya mantap tanpa ragu - ragu.

Menitik air mata Sang Yudhistira mendengar penjelasan itu. Sejurus kemudian sulung Pandawa itu mengambil tombak pusaka, dan dengan satu lemparan, gugurlah sang Salya di Kurukhsetra.


Catatan:
- Cerita Narasoma dan Salya Gugur di tulisan ini banyak dipengaruhi Versi Jawa yang tidak diketemukan di versi aslinya, Mahabharata versi Wyasa. Pujangga-pujangga di Nusantara telah banyak menggubah cerita-cerita yang ada, agar lebih menarik dan sesuai dengan masyarakat lokal. Jika dibawakan oleh seorang dalang yang berpengalaman, Kisah Salya Gugur akan sanggup membuat penonton bungkam serta berkaca – kaca, terutama di bagian akhir cerita

- Sumantri dan Sukrasana adalah putra Begawan Swandagni di Epos 'Arjunasasrabahu'. Sumantri di masa hidupnya melakukan kesalahan yang tidak ia sengaja, menyebabkan Sukrasana, saudaranya, terbunuh. Karena rasa cinta yang besar kepada saudaranya itu, kematian Sukrasana sangat disesali Sumantri sepanjang hidupnya. Diilhami kepercayaan pada masa itu, diceritakan  bahwa penjelmaan sebagai Narasoma (Salya) merupakan masa penebusan dosa bagi Sumantri. Sebagai referensi dapat dibaca pada Kisah "Sumantri dan Sukrasana".

- (*) Sri Kresna dalam Wiracarita Mahabharata merupakan representasi dari Sang Hyang Wisnu yang turun ke dunia untuk memadamkan kejahatan dari Para Kurawa.

Monday, December 20, 2010

Salya Gugur I: Narasoma


Cerita Narasoma dipetik dari Epik Mahabharata yang banyak dipengaruhi versi Pewayangan Nusantara. Versi asli Mahabharata menceritakan adanya nama Salya, seorang raja dari daerah Madras, India. Saat akan pecah Perang Bharatayudha, Salya berkeinginan memberikan dukungan kepada Pandawa, akan tetapi di tengah jalan tertipu bujuk rayu Duryudana. Hingga akhirnya dalam Perang Bharatyudha di Kurukhsetra, Salya tergabung dengan kubu Kurawa dari Hastinapura.

Versi Nusantara menceritakan kehidupan Sri Salya secara lebih panjang lebar. Salya saat masih muda bernama Narasoma, Pangeran Mahkota dari kerajaan Mandaraka. Saat beranjak dewasa, Narasoma didesak oleh ayahnya, Prabu Mandrapati (ada juga yang menyebut Prabu Mandradipa) agar segera mencari pasangan hidup, sehingga tahta Mandaraka dapat segera dilakukan suksesi. Prabu Mandrapati bermaksud untuk lengser keprabon, madheg pinandhita (suatu cerita yang diambil kebiasaan dari raja – raja Indonesia di masa Hindu).

Narasoma masygul, enggan untuk memenuhi keinginan Sang Ramanda. Ia merasa belum cukup umur dan masih bercita-cita mencari ilmu dari berbagai guru yang ada di pertapaan – pertapaan terpencil. Narasoma pun minggat dari istana saat tekanan untuk menikah dari keluarga semakin kuat.

Di dalam perjalanan, Narasoma bertemu pendeta sakti berwujud raksasa bernama Bagaspati. Pertemuan ini suatu kebetulan, karena Bagaspati telah berjalan berhari-hari dengan maksud untuk bertemu dengan Narasoma. Bagaspati diminta oleh anak perempuan tunggalnya untuk dipertemukan dengan Narasoma. Konon, Narasoma telah membuatnya jatuh cinta lewat mimpi-mimpi yang dialami setelah bertapa untuk mendapatkan jodoh. Mendengar cerita ini, Narasoma menolak. Dia merasa enggan untuk harus menikahi seorang raseksi (raksasa perempuan), meski itu anak seorang brahmana sakti. Singkat kata terjadi perkelahian antara Narasoma dan Bagaspati, Narasoma mengalami kekalahan. Dengan berat hati Narasoma menuruti Bagaspati untuk dibawa ke pertapaannya di Argobelah. Sesampai di Argobelah, Narasoma kaget bukan kepalang. Anak Bagaspati ternyata seorang putri yang jelita, bernama Pujawati. Pujawati adalah anak perempuan Resi Bagaspati pemberian dari para dewa. Maka berlangsunglah pernikahan antara Narasoma dan Pujawati disaksikan oleh penduduk Argobelah.

Selang beberapa hari setelah pernikahan, Narasoma sering terlihat termenung sendiri. Sebagai pendeta yang sidik wacana, Bagaspati menangkap isi hati Narasoma. Maka dipanggillah sang menantu.

”Narasoma, aku berterimakasih engkau telah memenuhi keinginan si Pujawati, meski aku pun tahu engkau malu menganggap diriku sebagai ayah mertuamu’..demikian ucap sang Pendeta.

”Ah, tidak Bapak, aku tidak berpikir sedemikian” jawab Narasoma.

”Jangan berbohong, Narasoma, aku tahu benar isi hatimu” timpal Bagaspati. Narasoma tak bisa membantah, dia memang merasa risih dengan adanya Bagaspati yang berwujud raksasa sebagai mertuanya.

”Panggil si Pujawati kesini”, sambung sang Pendeta.

Datanglah Pujawati ke ruang itu.

”Narasoma, untuk melapangkan kepulanganmu ke Mandaraka, aku akan moksa. Sudah cukup dharmaku di madyapada ini. Aku ingin kembali ke puncak dewa-dewa. Sebagai wasiat, aku titip anakku si Pujawati” demikian pesan Resi Bagaspati.

“ Aku akan wariskan pula ajian Chandabhirawa, yang bisa engkau pakai sebagai senjata andalanmu. Namun engkau harus berhati – hati, Narasoma, jangan sampai engkau bentrok dengan orang dengan sifat seperti aku. Ajian itu tidak akan mempan menghadapinya. Aku seorang berdarah putih (*seorang penyabar), berhati-hatilah dengan orang seperti itu. Jika engkau tidak bisa mengelak untuk bertempur dengannya, artinya itu saat dharma-mu telah usai...” tambah Sang Bagaspati.

Mendengar pesan dari Sang Resi, Narasoma maupun Pujawati berlinang air mata. Terutama bagi Pujawati, kata – kata Sang Resi bagai kalimat perpisahan yang memilukan. Sang Bagaspati tersenyum melihat putri cantik kesayangannya itu.
“Pujawati, janganlah engkau menangis. Temani hidup Narasoma dengan setia. Suatu hari kelak, Narasoma akan jadi raja besar dan ternama……sebagai penanda atas restu dan doaku untukmu, ubahlah namamu menjadi Setyawati saat menjadi permaisuri nanti” pesan dari Resi Bagaspati.

Tak lama kemudian, Sang Resi mengambil sikap sempurna, dan hilang dari pandangan Narasoma maupun Pujawati. Sang Resi telah mangkat.

Singkat cerita, Narasoma kembali ke Mandaraka, menjadi raja bergelar Sri Maharaja Salya. Konon, sifat darah putih yang dimaksud Bagaspati ada pada diri Yudhistira, seorang pangeran keturunan Bharata/Kuru yang sabar dan bijaksana. Dalam perang Bharatayudha, Salya gugur oleh Yudhistira.

[bersambung] : Salya Gugur II: Salya Parwa (Bharatayudha)


Sunday, November 21, 2010

Two Young Fighters

In one annual wrestling competition held during pagan Arabian time, emerged two young fighters attracting attention of the crowd. Both were at the similar age, similar appearance of strong and determined, shaped by the wild desert life. From a distance, both looked a lot alike. The first boy was taller with broad shoulder and sharp eyes. The second was a bit shorter, and though having small scar on his left cheek, was apparently charming.
Along the course of the tournament, both dominated the stage, till they had to meet in one decisive match. As everyone expected, the match was tight, until in one occasion, the taller boy was knocked down and badly injured. A cracking sound when the taller boy struck the ground indicated a broken bone in one of his legs. The shorter boy looked at his opponent in horror, since he never meant to hurt that much. Immediately he rushed to help and carried the taller boy back to his tent, without noticing much to the triumph ceremony he would get. Actually, the boys had known for each other since their childhood, and the event that day brought their relationship even closer. As the time went by, the taller boy healed and came back to fight, gaining lots of victories before turning his interest to merchant, while the shorter boy had more interest in the art of desert warfare.
At that time, no one thought that those boys would grow as prominent figures in history. In the later days, the taller boy would be remembered as a prolific administrator in a young emerging civilization. In his time, the nation he led sparked dazzling light much brighter than those of the two great empires existed in the ancient worlds, the Persian and the Eastern-Roman Byzantine. The shorter boy was well-known as one of the finest military generals the eastern world has ever possessed. Islamic tradition praises both figures highly as the title of ‘may God be pleased with him’, always follows every time their names are mentioned.
The taller boy was Umar Ibn Al Khattab, and the shorter boy was Khalid Ibn Al-Walid.

Friday, November 19, 2010

Sriwijaya, Past and Forgotten Glory

“swasti sri sakrawarsatita 605 ekadasi su-klapaksa wulan waisaka dapunta hyang najik di,samwa mangalap siddhayatra di saptami suklapaksa. Wulan jyetha dapunta hyang marlepas dari minanga,……sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa”
[Joyful in the year of 605 the day of eleven of the bright month of Waisaka, Dapunta Hyang boarded on the boat to travel on the day of seven of the bright month of Jyestha, Dapunta Hyang departed from Minanga (Tamwar(n))…Sriwijaya performed a perfect victorious journey..]

*excerption of the Kedukan Bukit inscription 605 Caka / 683 AD, translated by Prof Slamet Muljana (1960)

Kedukan Bukit inscription was often cited by our history teachers during high school classes to describe a cheery festival in Sriwijaya time. That was the time when a powerful maritime empire based in Sumatra roared a very thunderous sound in the South East Asia circumference. Sriwijaya,simply means ‘splendid victory’, a name reflecting plentiful achievements the empire has accomplished for about 600 years of existence from 7th- 13th AD. During her finest hours, Sriwijaya stretched her wings from Sumatra and Java to the Malaysian Peninsula, some parts of the Philippines, Thailand and Cambodia. Some evidences even show that the atmosphere of the empire might reach even further, at distant range across the high seas to Sri Lanka and west coast of Africa.
There are no certain records the time Sriwijaya started to organize as civilization, though experts commonly predict that the existence has established as early as 600 AD. The chronicle of the T’ang dynasty recorded that Sriwijaya envoy had arrived at T’ang capital of Chang-an, modern day of Xian, in 670s. Sriwijaya reached the apogee when Syailendra family ascended to the elite of the empire, unifying Sriwijaya at Sumatra and Mataram in Java under one administration in 800s. Prosperity and richness were manifested into gigantic Buddhist temple known in the later day as Candi Borobudur, established at the time of Shri Samaratungga. The temple of Borobudur with its massive structure probably becomes the most grandiose building has ever been built by Indonesians. Under Syailendra ruling line, Sriwijaya established strong alliance with southern Indian kingdoms such as Chola and Pala. That explaines the reason why the name of Syailendra princes, like Dharanindra (believed to be the titular name of Rakai Panunggalan) and Balaputradewa, were so much well-known in India that the names (of the Syailendras) had appeared in several Indian inscriptions. A strong relationship was also developed with Chinese rulers as it had been evidenced from cultural and religious remnants found and documented in Chinese journals. Sriwijaya began to fade in the mid of 13th century as a result of repeated raid of alien forces and inability to maintain agricultural development rate to feed such a large territory. By the last quarter of 14th century, Sriwijaya was completely dissolved and transformed into smaller kingdoms or [Islamic] sultanates.
At this moment, Sriwijaya seems to be too far to reach by our memories. It is true Sriwijaya name has been immortalized as the name of streets or companies, but it does not frequently go beyond that. Spirits and dedications as the most essential parts from the olden days prove to have long gone from our hearts. The endless chaotic of national life may become strong evidence to the lost of those features. Glorious life our ancestors have achieved seems to be difficult to revive by our modern generation due to our failure to inherit those legacies. The closest, and maybe the easiest we can do these days, probably is just to remember the name, the story and the glory surround it.
Remembering Sriwijaya or any other ancient kingdoms maybe will not give much direct influence for the current national life. However the efforts to appreciate, and more importantly succeed achievements obtained by our ancestors are certainly very worthwhile to carry out, especially in preserving our current decaying national pride. If the expectation to be too much, maybe we just have to keep in mind that once in our grandparents’ backyard, there was a glowing social order encompassing a vast area and time, such as the one has been performed brilliantly by Sriwijaya, in her time.

Sunday, September 5, 2010

Kikis Tunggarana

Kisah 'Kikis Tunggarana' merupakan salah satu babakan dari kisah Mahabharata versi Indonesia, bercerita tentang konflik di Tunggarana, suatu daerah subur diantara Pringgadhani dan Trajutrisna. Secara hukum, sebenarnya wilayah Tunggarana berada di Trajutrisna, wilayah yang dipimpin Prabu Bomanarakasura, putra Prabu Krishna di Dwarawati. Tetapi alasan historis dan traumatis masa lalu, membuat penguasa Tunggarana berkeinginan untuk bergabung ke Pringgadhani, wilayah berdaulat di bawah kuasa Prabu Gatotkaca.

Awalnya, Gatotkaca enggan untuk meluluskan keinginan rakyat Tunggarana, tetapi atas desakan penduduk Tunggarana, Gatotkaca memberanikan diri untuk melakukan aksi diplomatik dalam menyelesaikan masalah perbatasan tersebut. Gatotkaca sejatinya tahu persis, bahwa usahanya akan mendapat kesulitan besar karena berkonflik dengan Trajutrisna berarti berhadapan juga dengan dinasti Yadawa, yang notabene merupakan keluarga berpengaruh di kisah Mahabharata. Di dalam keluarga Yadawa bercokol tokoh-tokoh kesohor seperti Shri Krishna, Shri Baladewa, Satyaki ataupun nenek Gatotkaca sendiri, Dewi Kunti. Belum lagi 'seret'nya dukungan dari keluarga Pandawa, karena ayah beliau sendiri, Sang Bimasena juga tidak begitu menyetujui niatan Gatotkaca. Tetapi, tekad untuk memperjuangakan hak azasi kawula di Tunggarana telah membulat di dada Gatotkaca. Lewat perjuangan diplomatik, serta sedikit show of force di perbatasan, Gatotkaca memenangkan Tunggarana. Kemenangan dari hasil brilian kombinasi perjuangan fisik dan diplomatik, serta tentunya juga adanya dukungan dari Shri Krishna yang dapat di manfaatkan dengan baik olehnya di akhir-akhir cerita. Dalam pentas pewayangan tentunya tidak sesederhana tulisan ini, Gatotkaca bahkan sempat terluka parah saat duel tanding dengan Bomanarakasura yang terkenal sakti saat militer Trajutisna dan Pringgadhani terlibat bentrok.

'Kikis Tunggarana' sejatinya hanya kisah perlambang dari sifat tertindas dari hak azasi manusia. Tunggarana dalam kehidupan nyata bisa berarti Kashmir, Kurdi, Ambalat, Kinibalu, korban Lapindo, TKI yang teraniaya di negeri orang, atau kehormatan nasional yang dihinakan. Sikap yang tepat untuk menyikapinya adalah melalui perjuangan diplomatik jauh dari kekerasan, meski sesekali diperlukan suatu gertakan yang nyata untuk menunjukkan eksistensi perjuangan. Perjuangan secara fisik saja akan berarti kecil jika tidak didukung strategi yang rapi. Strategi serta sikap terlalu rendah hati saja tentunya akan sulit mendapat hasil karena fihak oposisi hanya akan menganggap sepi permasalahan yang ada. 'If you are too benevolence, you will be easily harassed' demikian jargon dalam dunia modern. Meski tentunya untuk implementasi konsep tersebut tidaklah mudah, setidaknya contoh yang diberikan Gatotkaca dari kisah tradisional dapat selalu menjadi inspirasi dalam membongkar ancaman, tantangan di bidang hak azasi ataupun kedaulatan bangsa.

Sunday, August 15, 2010

Lelagon Nunut Ngiyup




‘nunut ngiyup, kula nunut ngiyup,
udan lali ra nggawa payung,
‘teng tritis kula nggih purun ,
teng ngemper kula nggih purun,
sakderenge matur nuwun’
……………………..........................

‘turut berteduh, saya turut berteduh, hujan lupa tak membawa payung, di pinggir rumah atau di teras saya pun mau/tidak masalah, sebelumnya atur terima kasih’ 

Lagu ‘Nunut Ngiyup’ yang dipopulerkan Didi Kempot, konon merupakan cerminan bagaimana tingginya jiwa kebersamaan masyarakat di Indonesia masa silam. Kesan itu terucap dari para sepuh di desa-desa saat mendengar lagu yang popular di awal dekade 2000-an tersebut dilantunkan.

Jaman dahulu, para pedagang, pencari kayu atau penggembala sering harus bepergian jauh dari desanya untuk mencari nafkah. Karena tidak dikenal hotel atau motel, jika waktu sudah terlalu larut, atau terjadi hujan lebat, mereka akan mencari desa terdekat untuk menghabiskan waktu malam. Seringkali mereka akan tidur menginap di masjid atau surau desa, tetapi tidak sedikit pula yang memilih berteduh di rumah penduduk, terutama pamong desa terkait. Menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia, setidaknya itu yang masih bisa ditemui di Pulau Jawa, rumah pamong atau tetua desa pada masa lalu memiliki bilik kecil di teras depan berisi lincak dan tikar, sebagai tempat berteduh para pejalan kaki sampai pagi datang. Praktik ini bisa berlangsung dikarenakan rasa kejujuran dan kebersamaan yang masih sangat tinggi saat itu, suatu hal yang sudah sangat sulit untuk bisa ditemui pada masa Indonesia modern.


Tak mengherankan, banyak dari para generasi sepuh yang matanya menerawang jauh ketika Nunut Ngiyup berkumandang. Mungkin saja, lirik Nunut Ngiyup telah menggugah ingatan mereka untuk sejenak kembali bermanja akan masa-masa penuh ketulusan dari suatu keindahan hidup di Indonesia tempo dulu.