Terletak di kawasan jantung kota Surabaya, yakni
seberang Gedung Grahadi, tepatnya di Taman Apsari, Kota Surabaya, terpahat
sebuah prasasti bertuliskan:
“Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa
sikap kita ialah: lebih baik hancur daripada
dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum PihakInggris,
kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu”
Tulisan tersebut merupakan cuplikan dari pidato
sosok penting di Jawa Timur saat itu, Gubernur Suryo, pada tanggal 9 November
1945. Pidato ini sangat penting, meski tidak setenar pidato-pidato dari Bung
Tomo dalam peperangan besar November 1945 di Surabaya. Namun dari pidato inilah
pernyataan resmi seorang pejabat sipil tertinggi di Jawa Timur meluncur sebagai
jawaban atas ancaman dari Pihak Sekutu pimpinan Inggris.
Hari itu, 9 November 1945 boleh jadi hari yang
melelahkan bagi petinggi sipil macam seorang Gubernur Suryo. Siang hari,
tanggal 9 November, rakyat Surabaya sudah dibuat geram dengan pamflet-pamflet
dari Jendral Eric Mansergh berisi ultimatum terhadap penyerahan Surabaya kepada
balatentara Inggris.
Para petinggi di Surabaya masih menunggu jawaban
dari pimpinan Republik di Jakarta mengenai ultimatum Inggris. Rupanya pimpinan
delegasi Indonesia, Mr Ahmad Soebardjo mengalami jalan buntu untuk menegosiasi
kemarahan Inggris. Sekitar pukul 22.00 Jakarta memberi pernyataan:
”semua keputusan
diserahkan kepada rakyat Surabaya”
Pimpinan sipil dan militer di Surabaya sempat
terhenyak saat menerima jawaban yang dianggap sangat mengambang. Tetapi waktu
terus berjalan, tak ada waktu lagi untuk membahas keputusan dari Jakarta.
‘Maju tatu, mundur ajur, mandheg ambleg’…
maju terluka, mundur hancur, berhenti, terperosok.
Jawaban petinggi sipil dan militer di Surabaya
pun jelas: maju dan melawan. Tidak ada kata mundur atau takut dengan ancaman
Inggris. Bertempur dengan militer asing sudah menjadi kegiatan rutin bagi
milisi rakyat di Surabaya sejak Proklamasi 17 Agustus diumumkan. Saat itu
TKR/BKR Surabaya sudah diperkuat laskar dari berbagai suku dan golongan; Bali,
Maluku, Tapanuli, Bugis, Madura, Tionghoa, Hizbullah, Barisan Polisi, PETA,
maupun Tentara Pelajar. Lagipula, Kesatuan Militer Indonesia di Surabaya sudah
pernah merasakan bentrok dengan Brigade-49 yang menjadi inti kekuatan Inggris
saat Jenderal Mallaby tewas di Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945. Walaupun
sebenarnya para petinggi di Surabaya tahu benar, kali ini Inggris tidak lagi berisi
satu brigade pasukan saja. Mereka sudah mendapat tenaga tambahan dari Tentara
Divisi V India pimpinan Jendral Eric C Mansergh yang punya pengalaman tempur di
berbagai medan Perang Dunia II. Semua pun tahu, Mansergh juga bukan prajurit
kemarin sore yang hanya bisa membual seenaknya. Tetapi gertak dan reputasi
Mansergh yang pernah pula berjibaku di Medan Afrika menghadapi Deutsches Afrika-Korps pimpinan Jenderal
Erwin Rommel dari Jerman tidak cukup untuk membuat ciut nyali rakyat di
Surabaya.
Setelah melalui berbagai rapat singkat dengan
pimpinan kesatuan-kesatuan di Surabaya, tercapailah berbagai kesepakatan.
Sekitar pukul 23.00 Gubernur Suryo, dengan ditemani Dul Arnowo berhasil
mencapai Gedung NIROM (Nederlandsch-Indische
Radio-Omroepmaatschappij, cikal bakal RRI di Surabaya) di Jalan Embong
Malang (sekarang jadi Hotel JW Marriot) dan mengumumkan pidato yang kutipannya
terabadikan di Taman Apsari tersebut.
Inggris benar-benar membuktikan ancamannya.
Pukul 06.00 tanggal 10 November 1945, meriam-meriam tentara Inggris melontarkan
mesiu panas nan jahat ke arah kota. Kurang lebih satu jam saja, Surabaya bagian
utara sudah hampir rata dengan tanah. Pasar Turi, Pasar Besar, Kramat Gantung
sampai Bubutan terbakar hebat. Sekitar pukul 07.00, Pasukan Inggris mulai
merayap masuk kota. Minim sekali terdengar balasan dari pejuang-pejuang Republiken.
Para pejuang menahan diri untuk membiarkan
Inggris masuk jauh kedalam kota, sembari menunggu instruksi dari Jakarta. Pukul
09.00 pagi terkirim perintah dari Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin untuk
melawan. Serta merta gelombang manusia maju serentak menghadang tentara
Inggris. Ribuan pejuang, rakyat dan simpatisan dari berbagai suku dan golongan
menyerang barikade lawan. Tentara Inggris belum pernah melihat gelombang
manusia mengamuk kesetanan seperti ini.
"the Indonesian people in Surabaya did not
care about the victims. If one fell, another one came forward. Bren firing
continued to arrive in greater numbers, pushing on and on …..”
(Letkol AJF Doulton, Perwira di Brigade-49, The Fighting Cock)
“The Resistance of the Indonesian people in
Surabaya became violent”
(The Times, London, 13 November 1945)
Taruhan semakin mahal saat sekitar pukul 10 .00
pagi, rombongan skuadron terbang dari The
3rd Tactical-Royal Air Force (RAF) dari pangkalan Tentara Britania di Burma
mulai mencapai Surabaya. Pilot-pilot RAF dalam skuadron tersebut merupakan
gabungan pilot-pilot yang turut serta dalam menggempur Berlin di akhir Perang
Dunia II. Kali ini misinya adalah Surabaya.
“Surabaya tentunya tak akan sesulit Berlin’, mungkin
begitu gumam hati kecil para pilot tempur RAF. Wajar saja, karena di Surabaya
memang tidak didapati pangkalan artileri pertahanan udara selengkap milik
Herman Goehring di Berlin atau Muenchen.
Bom-bom RAF mulai dilepas untuk menghajar kota.
Pesawat-pesawat RAF tidak sadar bahwa saat itu sekumpulan pemuda mantan anggota
Heiho veteran dari Halmahera dan Morotai telah tergabung dengan barisan
TKR/BKR. Peluru anti pesawat tinggalan KNIL dan Jepang
berhamburan ke udara dari tangan-tangan mantan anggota barisan bantu militer
Jepang tersebut. Hasilnya fatal bagi Inggris, 2 pesawat terkena tembakan, untuk
kemudian jatuh dan terbakar. Satu pesawat rupanya mengangkut seorang perwira
artileri bernama Jendral Rob Guy Loder Simmonds yang ikut terbang untuk
melakukan survey areal. Jenderal Simmonds bernasib naas dan nyawanya tak
tertolong. Inggris malu bukan kepalang, dalam waktu kurang dari 2 minggu mereka
sudah kehilangan dua perwira tinggi; Mallaby dan Simmonds. Tentara Inggris
menjadi semakin brutal karenanya. Mereka menembaki apapun yang ada; orang tua,
wanita, anak-anak bahkan hewan piaraan menjadi sasaran amuk. Gedung –
gedung maupun pasar-pasar ditembaki. Gudang BPM (sekarang PERTAMINA) di Jagir
Wonokromo terbakar dan meledak. Surabaya tenggelam dalam lautan api.
Korban berjatuhan dan kebanyakan dari kalangan
warga sipil. Rumah sakit penuh sesak oleh korban tak terurus karena kurangnya
tenaga medis. Tetapi rakyat pendukung Republik tetap dengan gigih melawan.
“Hundreds upon hundreds were killed. The streets
ran with blood, women and children lay dead in the gutters. Kampongs were in
flames, and the women and children fled in panic to the safety of the rice
fields. But the Indonesians did not surrender”
(Ktut Tantri, Revolt in Paradise, London 1960)
“Fighting was particularly severe in the centre of
the city where streets had to be occupied one by one, doorway by doorway.
Bodies of men, horses and cats and dogs, lay in the gutter, broken glass,
furniture, tangled telephone lines, cluttered the roads, and the noise of
battle echoed among the empty office buildings”
(David Wehl, The Birth of Indonesia, 1948)
“When I saw with my own eyes the aftermath of the
first onslaught, I was frozen with horror and hardly dared look an Indonesian
in the face, for I was filled with shame that such act of aggressions could
have been committed by the “superior and civilized” white race, that I belonged
to…”
“Every garage in the city was packed with dead and
wounded all mixed together. I saw women lying on the floor with their faces
blown away, I saw children without heads, torsos without limbs. What I saw will
haunt me forever, and it is a perpetual disgrace to those responsible that they
have so violated the principles of Christianity.”
(Ktut Tantri, atau Surabaya Sue, seorang
jurnalis kulit putih kelahiran Skotlandia berpaspor Amerika, tentang keadaan di
Surabaya 1945)
Tentara Inggris masih kesulitan untuk meringkus
habis perlawanan rakyat, meski hampir semua obyek di Surabaya sudah lumpuh
total. Pejuang dan rakyat dari berbagai lapisan masih tetap melanjutkan
perlawanan dengan gigih. Kaum Ibu dan remaja putri bergerak tanpa lelah
membantu, sebagai penyedia logistik dan tenaga medis. Meski Surabaya sudah
hampir semuanya hancur, komando kaum Republiken
masih utuh dengan berdirinya pusat administrasi baru di Mojokerto. Stasiun
radio darurat milik RRI berpindah-pindah tempat, seraya terus menyuarakan
pidato Bung Tomo dengan pekik ’Takbir’ dan ‘Merdeka’ memberikan semangat kepada
para pejuang untuk tetap teguh dalam bertempur.
“The Indonesian resistance went through two phases,
firstly fanatically self-sacrifice, with men armed only with daggers charging
Sherman tanks, and later in a better organized and effective manner, following
closely Japanese military manuals”
(David Wehl, The Birth of Indonesia)
Setelah bertempur selama tiga minggu, pasukan
Republik terpaksa mundur dari Surabaya. Pertempuran berlanjut di luar kota.
Tetapi tentara Inggris tidak melanjutkan pengejaran kepada pimpinan militer dan
sipil Indonesia yang banyak bermarkas di sekitar Mojokerto dan Sidoarjo.
Mungkin Tentara Inggris sudah kelelahan, bercampur rasabosan.Para agresor
kemudian hanya berjaga-jaga di pinggiran kota saja. Perlawanan dari rakyat
masih berlangsung secara sporadis sampai jauh setelah perang berakhir.
“(the city is) still encircled by a large force of
uniformed and well organized and equipped Indonesians”
(Laporan dari 2nd-Battalion of AFNEI, Januari 1946)
Berdasarkan pertemuan para Perwira Inggris pada
tanggal 6 Desember 1945 di Singapura, Lord Louis Mountbatten yang berkedudukan
di India kemudian menyarankan agar Inggris tidak lagi memasuki Surabaya dan
mengambil sikap antara saja dalam urusan restorasi kekuasaan Belanda di
Indonesia.
“situation analogous to Ireland after the last war,
but on a much larger scale situation"
“any attempt to subdue the whole country was firmly
ruled out”
(Lord Louis Mountbatten, The Allied Supreme
Commander of the South East Asia Command (SEAC), Desember 1945)
Pertempuran Surabaya merupakan puncak dari
peristiwa penuh konflik di Surabaya setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Dimulai
dengan bentrokan dengan Tentara Jepang pada akhir Agustus, penyobekan bendera
di Hotel Oranje pada pertengahan September, Pertempuran Jembatan Merah yang
menewaskan Jendral Mallaby di akhir Oktober, dan diakhiri dengan perang sekitar
3 pekan di Surabaya pada bulan Nopember. Setidaknya 20 ribu jiwa gugur dari
Pihak Indonesia, kebanyakan kaum sipil. Sementara Pihak Inggris
kehilangan sekitar 2 ribu tentara dalam perang tersebut.
Seorang Pejabat Administratur Hindia Belanda
setelah Perang Dunia berkomentar:
“The battle as a mass resurgence (levee en masse)
such as occurred during the French Revolution in the 18th century…....
this (Indonesia) was not a population of the Dutch
colonial times anymore. This was a truly free nation”
(Hubertus Johannes van Mook, Acting Governor of the
Netherlands East Indies 1942-1948, dalam ‘Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati Pejuang
Kemanusiaan, 1909-1966’ karya Rosihan Anwar).
Perang Surabaya tercatat sebagai medan paling
sengit yang pernah dihadapi Tentara Inggris selepas Perang Dunia II. Banyak pihak
mengatakan seandainya pertarungan berlanjut dalam waktu yang lebih lama, maka
seluruh Indonesia akan tenggelam dalam genangan darah.
“The fanaticism and fury of Surabaja, however, were
never repeated, and even when open war began between the Dutch and The
Republicans, there was no fighting in the Republican ranks to compare with
Surabaja, either in courage or tenacity”
(David Wehl, The Birth of Indonesia, 1948)