Saturday, December 14, 2024

Sang Sinagara

 

 

 Ada cerita menarik dari Jaman Majapahit dulu. Selepas perang saudara di Majapahit yang kita kenal sebagai Perang Paregreg, Majapahit dilanda krisis berkepanjangan. Kepemimpinan pusat yang makin melemah, ekonomi tertekan, rakyat sulit cari makan maupun suasana politik tidak stabil menjadi penyakit di seluruh negeri. Majapahit terpecah – pecah menjadi banyak wilayah kecil, masing - masing dengan penguasa lokalnya sendiri – sendiri. Diantara para penguasa itu terjadi persaingan tidak sehat, tidak jarang juga saling bunuh. Sang Nata Wilwatikta waktu itu, Bhre Kerta Wijaya, tidak dapat berbuat banyak untuk memperbaiki keadaan. Tekanan ekonomi, tekanan dari lawan politik dan serta ancaman keamanan kerajaan membuat Sang Prabu sibuk, tak sempat lagi berpikir tentang banyak hal.

Di tengah ketidakpastian seperti itu, timbul kerusuhan besar di Kotaraja. Lawan politik raja dan pendukungnya menguasai Kotaraja, bahkan kemudian berhasil merobek pertahanan utama istana. Sang Raja, Kertawijaya akhirnya, terbunuh oleh suatu keroyokan lawan politik dan pendukungnya di istananya sendiri.
Naiklah kemudian penguasa baru, namanya Wijayakumara, yang kemudian mengambil nama tahta Shri Rajasawardhana, serupa dengan nama seorang pembesar ternama di Masa Gajah Mada - Hayam Wuruk dulu.
Optimisme dari para pendukung Wijayakumara saat naik tahta sangat tebal. Wijayakumara dianggap pribadi yang mumpuni. Sebelum jadi raja, Wijayakumara pernah menjabat menjadi raja lokal di Pamotan maupun di Keling. Karenanya, Wijayakumara juga dikenal sebagai Bhre Pamotan, artinya penguasa di Pamotan, atau Bhre Keling, penguasa di Keling.
Setelah mulai menjabat, rupanya Wijayakumara baru paham, bahwa Majapahit sudah terlalu bobrok. Masalah yang dihadapi terlalu kompleks. Impian membuat Majapahit kembali berjaya terlalu tinggi. Karena untuk hidup sehari – hari saja, Majapahit sudah ’ngos – ngosan’.
Karena tekanan pekerjaan, setelah sekitar 2 tahun menjabat, Sang Raja mulai berubah kepribadian. Sering dipergoki oleh para pengawal dan hulubalang, Sang Raja ’ngomel – ngomel’ sendiri. Tiba – tiba saja Sang Raja marah tanpa sebab, kemudian menangis hebat, lalu tertawa - tawa. Seorang pengawal istana, tanpa tahu asal - muasalnya, tiba – tiba dilukai oleh raja. Rupanya jiwa dan ingatan Wijayakumara terganggu.
Mendapati kenyataan ini para pendukung serta loyalis istana jadi panik. Simbol kebanggaannya sekarang terkena gangguan jiwa. ODGJ lah kalau jaman sekarang. Berita begini harus ditutup rapat. Jangan sampai rakyat ramai mengetahui kalau rajanya sudah tidak waras. Bisa malu bukan kepalang. Apalagi kalau terendus lawan politik, bisa jadi berita buruk buat raja dan pengikutnya.
Bermacam cara sudah dicoba untuk mengobati sang raja, tapi tidak kunjung ada hasil. Sehingga muncul gagasan membawa Wijayakumara plesir di laut. Ini karena dulunya, sebelum memakai mahkota, Wijayakumara gemar pergi ke laut untuk ’enggar sarira’, berpetualang dan berekreasi, sebagaimana kebiasaan orang – orang Majapahit di jaman itu.
Plesir mewah di laut kemudian dipersiapkan, dan dilaksanakan. Semua tampak baik pada awalnya. Tapi di tengah – tengah pesiar, Sang Raja kumat, mengamuk sekenanya hingga hilang kendali. Tiba – tiba saja, Wijayakumara melompat ke laut, dan kemudian menemui ajal. Jenazahnya didharmakan di sebuah candi di daerah Sepang, Majapahit. Wijayakumara pun mendapat gelar baru, tapi sekarang statusnya anumerta, ’Bhre Pamotan Sang Sinagara’, artinya Penguasa Pamotan yang Mangkat di Segara (Laut). Tidak jelas di laut mana Wijayakumara kehilangan nyawanya. Ada yang bilang di Kolam Segaran, Trowulan, ada juga yang bilang di laut lepas. Tidak ada bukti mengenai lokasi kecelakaan. Tapi yang pasti, Wijayakumara tewas tenggelam saat berwisata maritim.
Selepas Wijayakumara mangkat, Majapahit pun lowong selama kira – kira 3 tahun tanpa penguasa. Tidak seorang pun yang berani menjadi raja. Tidak terbayang, bagaimana keadaan suatu negeri tanpa penguasa sama sekali, entahlah.
Sampai akhirnya nanti muncul seorang pembesar dari keluarga mendiang Bhre Kertawijaya, nama julukannya Bhre Wengker, atau penguasa Wengker. Wengker kalau sekarang sekitar Ponorogo. Bhre Wengker kemudian menjadi raja di Majapahit, dengan nama abhiseka: Hyang Purwawisesa.
Sekelumit cerita dari masa lalu ini dapat diartikan macam - macam. Tapi yang sudah terang bahwa kekuasaan dapat menggiurkan, sekaligus mematikan. Dikarenakan adanya tawaran berupa kewibawaan, kesenangan maupun gemerlap hidup, kekuasaan dapat mengundang ketertarikan. Tetapi di balik itu, tidak sedikit pula sisi-sisi tidak terlihat yang warnanya gelap sama sekali. Tepat kata Presiden Amerika Harry Truman yang mengibaratkan kekuasaan itu seperti harimau buas. Saat bertemu dengannya, pilihannya hanya dua: dapat mengendalikan atau mengelola sebaik mungkin, atau kemudian pilihan lainnya, jika gagal menyikapi, maka yang bersangkutan akan jadi korbannnya.
Wallahu alam.