(Foto: 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56. Sumber: Arsip Nasional)
Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, rumah Bung Karno dan keluarga, hari itu, Jumat, 17 Agustus 1945, atau 9 Ramadhan 1364 H, suasananya agak berbeda. Ada mikrofon sebagai pengeras suara sedang dipersiapkan Mr Wilopo. Sementara di teras dan halaman rumah, banyak tokoh penting hadir, beserta puluhan pemuda - pemudi. Wakil Walikota Jakarta Suwiryo. dr Muwardi, ketua Barisan Pelopor juga tampak disana. Tidak ketinggalan Mr Abdul Gaffar Pringgodigdo, Tabrani, dan SK Trimurti. Sementara, tiang bendera dari bambu yang dipersiapkan pemuda Suhud Sastro Kusumo dari Barisan Pelopor, sudah dipasang di depan teras rumah.
Pukul 9.50 pagi para hadirin mulai gelisah. Tampak dari kejauhan seorang opsir Jepang berada di luar pagar, menimbulkan rasa khawatir buat yang hadir. Seketika Sukardjo Wiryopranoto, mantan anggota Volksraad, Dewan Rakyat di Jaman Hindia Belanda, datang menyongsong. Diajaknya Si Opsir Jepang untuk omong – omong. Tidak diketahui apa isi pembicaraannya, barangkali sekadar akal - akalan Pak Sukardjo untuk memecah perhatian Si Opsir. Melihat perkembangan sedemikian, Sudiro meminta dr Muwardi untuk mendesak Bung Karno, agar Proklamasi segera dibacakan. Tetapi Bung Karno menolak, karena Bung Hatta belum datang.
“ Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Muwardi tidak mau tunggu, silahkan baca Proklamasi sendiri ”
Semua hadirin pun hanya bisa diam, tidak ada yang berani bersuara. Bung Karno kalau sudah punya keputusan, sulit untuk berubah.
Tetapi semua pun paham, termasuk Bung Karno, kebiasan tepat waktu Bung Hatta. Bung Hatta tidak pernah 'ngaret' apalagi meleset bikin janji. Di hari bersejarah itu, lagi – lagi Bung Hatta kembali menunjukkan konsistensi kedisiplinannya. Tepat pukul 09.55, Bung Hatta tiba di Pegangsaan Timur 56. Memakai setelan jas putih–putih, Bung Hatta segera menemui Bung Karno, untuk kemudian segera mempersiapkan diri. Selaras dengan warna baju Bung Hatta, Bung Karno memakai pakaian jas dan celana serba putih. Dua serangkai pemimpin pergerakan kemerdekaan itu pun muncul di teras rumah. Hadirin menunggu dengan khidmat dan sigap, mematuhi aba-aba Latief Hendraningrat, Perwira PETA.
Tepat pukul 10.00. Bung Karno menuju podium, dengan mantap berpidato:
“ Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini,
untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk
kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya
ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.
Juga
di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional
tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita
menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita
menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan
nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang
berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan
kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan
pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan
itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk
menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkanlah Proklamasi kami:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia .
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain,
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Jakarta , 17 Agustus 1945.
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno - Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu”
Usai pembacaan naskah proklamasi, upacara bendera singkat dilakukan. Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo menjadi pengerek Bendera Dwi Warna. Sang Merah Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, kemudian berkibar diiringi Lagu Indonesia Raya. Sang Saka berkelebat gagah, membuat terkesima siapapun. Hadirin menangis haru, bersalaman, berpelukan, ada pula yang kemudian berteriak lantang: merdeka...! merdeka...!...bersahut-sahutan.
Resmi sudah
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Usai pula penderitaan ratusan tahun
bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah. Terbuka kesempatan untuk
menjadi peradaban maju, lepas dari kemerosotan fisik, serta terutama
jebloknya mental dari Masa Kolonial. Semuanya memang masih belum selesai
begitu saja. Proklamasi 1945 adalah awal untuk menjawab berbagai
tantangan, hambatan, rintangan dan ancaman bagi cita – cita suatu negeri
merdeka. Pekerjaan maharaksasa masih harus dilaksanakan, mewujudkan
semua keinginan itu. Sebuah tugas amat berat, tetapi tidak akan
terbersit kata mundur, apapun alasannya, bagaimanapun kondisinya.
Sekali layar terkembang, pantang surut mundur ke belakang. Dengan
semangat dan tekad membulat, bekerja rapi dalam rasa persatuan, semua
pasti bisa ditunaikan.
Insya Allah, Indonesia merdeka selama – lamanya.
75 Tahun Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2020