Tanggal 21 Juli 1947 Jakarta berada dalam genting. Kasak –
kusuk rencana Van Mook, Pimpinan NICA untuk membatalkan Perjanjian Linggajati
1946 lewat aksi militer sudah didengar banyak pihak, termasuk kalangan wartawan
RRI. Malam itu Muhammad Jusuf Ronodipuro berangkat menuju kantor RRI Pusat
Jakarta untuk memeriksa kegiatan siaran rutin. Benak Pak Ronodipuro sudah
menduga akan terjadi apa – apa di Jakarta. Terlihat olehnya beberapa wartawan
asing mangkal mencari perkembangan
berita di RRI; Stanly Swinton (AP), Arnold Bracman (UP) dan Frik Werner (AFP). Ketegangan
makin terasa saat penyiar acara “Tanah Air Memanggil”, Piet De Quelje menutup
siarannya dengan ucapan:
“Mudah- mudahan sampai berjumpa lagi. Sekali merdeka, tetap
merdeka”.
Tidak lama berselang, NICA menyerbu Jakarta. Instansi –
instansi penting diserbu, tidak ketinggalan fasilitas radio milik RRI. Tepat
pukul 22. 30 WIB, Pasukan NICA merangsek masuk Kantor RRI, menawan seluruh penyiar,
teknisi dan pegawai lainnya. Dibawah tekanan, Pak Ronodipuro sebagai Pimpinan
RRI dipaksa untuk untuk menurunkan Sang Dwiwarna sebagai tanda penyerahan RRI kepada
NICA/Belanda. Tetapi semua itu tidak digubris oleh Pak Ronodipuro maupun rekan.
Opsir – opsir NICA menjadi berang, hingga mengancam Pak Ronodipuro dengan
moncong senjata api. Pak Ronodipuro membalas dengan tidak kalah garang pula, sembari
membentak para Perwira NICA.Lantang bentakan Pak Yusuf Ronodipuro menjadi kenangan sepanjang
jaman:
“Kalau memang bendera harus turun, maka dia akan turun
bersama bangkai saya!”
Pak Ronodipuro dan seluruh kru yang bertugas malam itu pun
akhirnya ditangkap Belanda. RRI Jakarta ditutup paksa dan dikuasai NICA,
berganti nama dengan Radio Resmi Indonesia (RRI). Siaran radio RRI- NICA sudah
barang tentu akhirnya banyak berpihak kepada pihak agresor. Untungnya sebelum serbuan
NICA malam itu, Pihak RRI sudah menyiapkan strategi sehingga Kantor RRI di luar
Jakarta macam RRI Yogyakarta, RRI Bukittinggi, RRI Padang dan RRI Riau dapat melanjutkan
tugas RRI Pusat.
Kegigihan Pak Ronodipuro dan rekan dalam mempertahankan RRI menyebar
dikalangan ramai. Cerita itu juga didengar oleh Ibu Saridjah Niung Soedibyo,
atau dikenal juga sebagai Ibu Soed, seniman dari Tanah Parahiangan. Sebagai seorang
pekerja seni dan pegawai radio di masa pergerakan, kisah Pak Ronodipuro
menyentuh pikir cipta beliau. Ibu Soed memang bukan tokoh kemarin sore dalam
perjuangan kemerdekaan. Beliau menyaksikan Sumpah Pemuda 1928, Krisis Malaise,
hingga bising dentum mesiu di Perang Asia Timur Raya. Ibu Soed juga mengalami sendiri
saat-saat kritis masa pergerakan ketika para tokoh nasional ditangkapi,
dipenjarakan dan dibuang ke luar Jawa oleh Pemerintah Kolonial. Pengalaman
hidup di masa pergerakan, diperkuat kisah patriotisme Pak Ronodipuro dkk
diabadikan oleh Ibu Soed, dalam irama penuh semangat “Berkibarlah Benderaku”. Lirik
Berkibarlah Benderaku menjadi tekad menyala Ibu Soed dan generasi di masa
beliau untuk tegaknya Sang Dwiwarna. Sang Saka memang lebih dari sekadar simbol
warna kenegaraan. Pusaka Merah Putih adalah gambaran keutuhan tekad dari
seluruh anak bangsa untuk perjuangan tanpa batas menuju kejayaan abadi Negara
Kesatuan 1945.
“Berkibarlah benderaku,
lambang Suci gagah perwira,
di seluruh Pantai
Indonesia,
kau tetap pujaan bangsa”
(*foto dari Tribun Jateng 17 Agustus 2013)