Sunday, July 26, 2015

Diantara Lembah Kelud dan Wilis



Ada pemandangan mengemuka saat memasuki daerah diantara Gunung Wilis dan Gunung Kelud. Hamparan areal pertanian membuat resap mata memandang. Tebu, kopi, belimbing, cengkeh, jagung, cabe, kakao, nanas, kacang panjang, kapuk randu serta tidak ketinggalan padi bersambung dari satu tempat ke tempat lain. Giat para petani membuat kehidupan mengalir, layaknya laju tanpa henti dari Brantas sebagai penyedia utama keberlangsungan daerah subur ini. Sungguh tepat jika salah satu gelar lumbung pangan negara melekat pada wilayah Lembah Kelud-Wilis sejak jaman dahulu kala.

Tetapi, terasa agak ganjil juga, menemui kenyataan bahwa keadaan ekonomi masyarakat daerah ini tidak terlalu menggembirakan. Daya beli masyarakat tergolong rendah, berpadu dengan kenyataan bahwa kebanyakan penduduk hanya berstatus petani buruh dengan standar hidup marjinal. Sarana kehidupan layak tidak tersebar merata, konon karena kurang perhatian dari banyak pihak. Ekonomi lokal bergantung kepada kiprah pabrik rokok yang memang memiliki pengaruh lumayan kuat. Hingar bingar pembangunan belum menyentuh kehidupan rakyat secara massal. Sangat bisa dimaklumi, jika atmosfer demografi setempat didominasi lalu-lintas urbanisasi serta ekspor dari para tenaga kerja produktif yang tersedia.

Kehidupan yang konsumtif dan materialistik bukan pula rekanan tepat buat evolusi lambat di dataran Wilis-Kelud. Berpuluh tahun lamanya keadaan relatif tidak banyak berubah. Jalan-jalan di pedukuhan-pedukuhan masih banyak yang tidak beraspal, hanya berupa tapakan pasir dan batu halus hadiah cuma-cuma dari Kyai Kelud. Nuansa tradisionil di karang padesan sebagai selimut utama seakan menjadi replika dari suasana saat Sang Prabunata masih memegang titah di Panjalu, Tumapel ataupun Wilwatikta.

Tetapi mungkin saja, semua merupakan bagian dari ketetapan Sang Akarya Jagad, untuk memberi ruang bagi sesiapa yang ingin menyingkir dari kebisingan dan kemunafikan di pusat-pusat keramaian. Lembah Kelud-Wilis memang lebih cocok untuk berolah rasa batin, mulat sarira hangrasawani; mawas diri akan pengembaraan di alam fana, disertai memanjat syukur dan kagum atas kebesaran Gusti Allah Sang Maha Wenang dan Maha Tunggal.