Saturday, May 30, 2015

Keroncong Tugu




Kelompok musik di panggung mulai sibuk memainkan instrumen pembuka lagu kesayangan mereka. Selaras dengan itu, vokalis melantunan dendang renyah;

Cafrinho kiteng santadu,
Lanta pio bate-bate,
Cafrinho kere andakaju,
Tira terban naji sako (*)
…………………………….

Di antara kerumunan penonton terdapat seorang rekan dari Portugal, mendengarkan sambil manggut-manggut. Sesekali senyum lebarnya mengembang mendengar musik dengan irama gembira itu. Rekan dari Indonesia pun bertanya;
“Ini musik dari negeri anda kah?”

Si Portugis hanya tersenyum sambil menggeleng; “ Bukan, amigos. Sudah pasti bukan. Bahasanya pun tidak kumengerti seluruhnya. Beberapa kata bahkan hanya dapat kutebak artinya. Ini Portugis Creole”, ujarnya sambil bertepuk tangan, menyusul selesainya orkes musik menutup permainan serta lagu-lagunya.

Nampaknya benar kalau musik ini memang asli dari Indonesia. Seperti kata rekan Portugis tadi, bahwa musik yang dia maksud berwarna creole, atau mixed descent, atau blasteran kalau menurut orang Indonesia. Ya, itu adalah cuplikan dari salah satu pertunjukan Keroncong Tugu, sebuah nama yang hampir identik dengan nama keroncong sendiri.

Keberadaan Tugu erat kaitannya dengan keramaian pada Masa Eksplorasi, saat Pelaut-Pelaut Eropa bertualang di Asia untuk berebut rejeki. Kekalahan Portugis di Malaka 1642 oleh Belanda menyebabkan banyak orang Portugis dari Eropa maupun dari Koloni Portugis tertangkap menjadi tawanan perang.. Mereka dibawa ke Batavia atau Jakarta untuk dipekerjakan sebagai pekerja paksa ataupun budak. Pekerja serta budak-budak dari Kekaisaran Lusitania (nama lama Portugal) selanjutnya tinggal di daerah Tugu, bagian utara Jakarta. Nama Tugu sendiri menurut si empunya cerita adalah kependekan dari kata Por-Tugu-Ese, yang berarti orang–orang dari Portugis. Karena dialek setempat maka daerah itu kemudian disebut sebagai Tugu. Para tawanan dan budak dari Portugal serta koloninya rupanya jatuh hati dengan kehidupan di Tugu. Sehingga ketika hadiah kebebasan diterima dari para majikan berkebangsaan Belanda di Batavia pada 1661, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke tanah asalnya. Penduduk dari Portugal di Tugu pada akhirnya sering disebut juga Mardijker, kata dalam Bahasa Belanda yang dikorupsi dari Bahasa Sansekerta Mahardhika, yakni berarti ‘bebas dan sejahtera’.   

Disaat senggang, terutama di waktu selepas petang, para penduduk di Tugu sering merasa kesepian karena tidak adanya hiburan. Dengan kemampuan serta ingatan dari budaya Portugis, Orang Tugu membuat replika cavaquinho (prounga, macina, jitera) dari kayu pohon kenanga yang banyak tumbuh di sekitar kampung tempat tinggal. Bunyi cavaquinho dari bahan kayu - kayu di Jakarta memang unik, sulit untuk didapati dari bahan kayu lain, apalagi kayu dari Eropa. Ini karena jika alat musik tersebut dipetik, terdengar bunyi….crong….crongcrong….yang teramat nyaring. Masyarakat lokal kemudian menyebutnya keroncong.

Sepertinya tepat pepatah dari Perancis yang mengatakan l'histoire se repete, sebagai gambaran untuk analogi perkembangan keroncong dibanding dengan rekan sejawatnya di benua lain. Serupa tetapi tak sama dengan riwayat Jazz di Louisiana, ataupun Blues di Delta Sungai Mississippi yang berkembang dari komunitas African-American, keroncong menyebar dari masyarakat Creole Tugu ke banyak tempat di Perairan Nusantara. Keroncong dari Tugu kemudian berasimilasi dengan budaya setempat melebur dan membentuk bermacam ragam varian musik. Keroncong dapat bernuansa Eropa karena sentuhan seniman dari Belanda pada Jaman Kolonial. Keroncong mampu pula berwarna Parahyangan karena pengaruh dari Sunda. Sekali tempo terdengar rampak beriring tepukan gendang rebana karena pengaruh Betawi, Minang ataupun Melayu. Sering juga berwujud seperti tetembangan karena pengaruh slendro – pelog dari Jawa. Selain di Indonesia, keroncong juga berkembang di Semenanjung Malaya dalam rupa Keroncong Johor. Saking manisnya dalam berbaur dengan Irama Melayu, sampai-sampai timbul anggapan dari sebagian pihak bahwa keroncong adalah salah satu musik etnik dari Semenanjung Malaya.

Tetapi memang yang namanya kesenian adalah hak bagi semua makhluk hidup di dunia, tidak terbatas oleh daerah, ras, suku, warna kulit maupun agama. Para pewaris Keroncong Tugu pun menyadari hal itu sehingga mereka tidaklah terlalu meributkan warna-warna yang timbul dari musik tinggalan pendahulunya. Justru para seniman di Tugu mengambil turunan-turunan yang muncul sebagai bahan-bahan untuk tetap eksis, sebagai resistensi terhadap alir deras globalisme di dunia kesenian modern. Makanya tidak terlalu aneh jika kumandang suara maupun irama para pewaris Keroncong Tugu di masa kini tidak lagi didominasi lagu-lagu tua berbahasa Portugis Patois (creole) ataupun Bahasa Belanda yang semakin sedikit peminatnya. Keroncong Tugu saat ini lebih bernuansa umum dan merakyat, dengan nada dinamis berlirik jenaka, bentuk ekspresi dari kehidupan sederhana dan penuh optimisme para penduduk Tugu, maupun masyarakat  Indonesia pada umumnya.

Aduh..aduh.. kok jadi begini eh rasanye,
kalau lagi pengin itu, ini mulut sampei ngiler-ngiler,
eh..hampir aye pikun, kepikiran terus ame rasanye,
yang aye tunggu-tunggu, kemane kok kagak baik-balik….

...Yang.. tolongin deh, Yang…bikinin aye sambel se-cobek,
Tapi, kalau bisa, jangan bikin… yang pedes – pedes…(**)


Catatan:
Bagian tercetak miring diambil dari lirik lagu karya seniman - seniman Keroncong di Tugu, Jakarta.

(*) dikutip dari Lagu: Cafrinho.
Dalam Bahasa Indonesia lirik itu dapat diartikan lebih kurang:

Cafrinho sedang duduk bermain.
Angkat kaki sambil berdansa.
Cafrinho mau permisi pulang.
Angkat topi beri selamat.

(**) dikutip dari Lagu: Sambel Cobek.