Kelompok
musik di panggung mulai sibuk memainkan instrumen pembuka lagu kesayangan
mereka. Selaras dengan itu, vokalis melantunan dendang renyah;
Cafrinho kiteng santadu,
Lanta pio bate-bate,
Cafrinho kere andakaju,
Tira terban naji sako (*)
…………………………….
Di
antara kerumunan penonton terdapat seorang rekan dari Portugal, mendengarkan sambil
manggut-manggut. Sesekali senyum lebarnya mengembang mendengar musik dengan
irama gembira itu. Rekan dari Indonesia pun bertanya;
“Ini
musik dari negeri anda kah?”
Si
Portugis hanya tersenyum sambil menggeleng; “ Bukan, amigos. Sudah pasti bukan. Bahasanya pun tidak kumengerti seluruhnya.
Beberapa kata bahkan hanya dapat kutebak artinya. Ini Portugis Creole”, ujarnya sambil bertepuk tangan,
menyusul selesainya orkes musik menutup permainan serta lagu-lagunya.
Nampaknya
benar kalau musik ini memang asli dari Indonesia. Seperti kata rekan Portugis
tadi, bahwa musik yang dia maksud berwarna creole,
atau mixed descent, atau blasteran
kalau menurut orang Indonesia. Ya, itu adalah cuplikan dari salah satu pertunjukan
Keroncong Tugu, sebuah nama yang hampir identik dengan nama keroncong sendiri.
Keberadaan
Tugu erat kaitannya dengan keramaian pada Masa Eksplorasi, saat Pelaut-Pelaut
Eropa bertualang di Asia untuk berebut rejeki. Kekalahan Portugis di Malaka
1642 oleh Belanda menyebabkan banyak orang Portugis dari Eropa maupun dari
Koloni Portugis tertangkap menjadi tawanan perang.. Mereka dibawa ke Batavia
atau Jakarta untuk dipekerjakan sebagai pekerja paksa ataupun budak. Pekerja
serta budak-budak dari Kekaisaran Lusitania (nama lama Portugal) selanjutnya
tinggal di daerah Tugu, bagian utara Jakarta. Nama Tugu sendiri menurut si empunya
cerita adalah kependekan dari kata Por-Tugu-Ese,
yang berarti orang–orang dari Portugis. Karena dialek setempat maka daerah itu
kemudian disebut sebagai Tugu. Para tawanan dan budak dari Portugal serta
koloninya rupanya jatuh hati dengan kehidupan di Tugu. Sehingga ketika hadiah
kebebasan diterima dari para majikan berkebangsaan Belanda di Batavia pada
1661, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke tanah asalnya. Penduduk dari Portugal
di Tugu pada akhirnya sering disebut juga Mardijker,
kata dalam Bahasa Belanda yang dikorupsi dari Bahasa Sansekerta Mahardhika, yakni berarti ‘bebas dan
sejahtera’.
Disaat
senggang, terutama di waktu selepas petang, para penduduk di Tugu sering merasa
kesepian karena tidak adanya hiburan. Dengan kemampuan serta ingatan dari
budaya Portugis, Orang Tugu membuat replika cavaquinho
(prounga, macina, jitera) dari kayu pohon kenanga yang banyak tumbuh di
sekitar kampung tempat tinggal. Bunyi cavaquinho
dari bahan kayu - kayu di Jakarta memang unik, sulit untuk didapati dari bahan
kayu lain, apalagi kayu dari Eropa. Ini karena jika alat musik tersebut dipetik,
terdengar bunyi….crong….crong …crong….yang teramat nyaring. Masyarakat lokal kemudian menyebutnya keroncong.
Sepertinya
tepat pepatah dari Perancis yang mengatakan l'histoire se repete, sebagai
gambaran untuk analogi perkembangan keroncong dibanding dengan rekan sejawatnya
di benua lain. Serupa tetapi tak sama dengan
riwayat Jazz di Louisiana, ataupun Blues di Delta Sungai Mississippi yang
berkembang dari komunitas African-American,
keroncong menyebar dari masyarakat Creole
Tugu ke banyak tempat di Perairan Nusantara. Keroncong dari Tugu kemudian
berasimilasi dengan budaya setempat melebur dan membentuk bermacam ragam varian
musik. Keroncong dapat bernuansa Eropa karena sentuhan seniman dari Belanda pada
Jaman Kolonial. Keroncong mampu pula berwarna Parahyangan karena pengaruh dari
Sunda. Sekali tempo terdengar rampak beriring tepukan gendang rebana karena
pengaruh Betawi, Minang ataupun Melayu. Sering juga berwujud seperti tetembangan karena pengaruh slendro – pelog dari Jawa. Selain di
Indonesia, keroncong juga berkembang di Semenanjung Malaya dalam rupa Keroncong
Johor. Saking manisnya dalam berbaur
dengan Irama Melayu, sampai-sampai timbul anggapan dari sebagian pihak bahwa keroncong
adalah salah satu musik etnik dari Semenanjung Malaya.
Tetapi
memang yang namanya kesenian adalah hak bagi semua makhluk hidup di dunia,
tidak terbatas oleh daerah, ras, suku, warna kulit maupun agama. Para pewaris
Keroncong Tugu pun menyadari hal itu sehingga mereka tidaklah terlalu
meributkan warna-warna yang timbul dari musik tinggalan pendahulunya. Justru para
seniman di Tugu mengambil turunan-turunan yang muncul sebagai bahan-bahan untuk
tetap eksis, sebagai resistensi terhadap alir deras globalisme di dunia kesenian
modern. Makanya tidak terlalu aneh jika kumandang suara maupun irama para
pewaris Keroncong Tugu di masa kini tidak lagi didominasi lagu-lagu tua
berbahasa Portugis Patois (creole) ataupun Bahasa Belanda yang
semakin sedikit peminatnya. Keroncong Tugu saat ini lebih bernuansa umum dan
merakyat, dengan nada dinamis berlirik jenaka, bentuk ekspresi dari kehidupan
sederhana dan penuh optimisme para penduduk Tugu, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya.
Aduh..aduh.. kok jadi begini eh rasanye,
kalau lagi pengin itu, ini mulut sampei ngiler-ngiler,
eh..hampir aye pikun, kepikiran terus ame rasanye,
yang aye tunggu-tunggu, kemane kok kagak baik-balik….
...Yang.. tolongin deh, Yang…bikinin aye sambel se-cobek,
Tapi, kalau bisa, jangan bikin… yang pedes – pedes…(**)
Catatan:
Bagian tercetak miring diambil dari
lirik lagu karya seniman - seniman Keroncong di Tugu, Jakarta.
(*) dikutip dari Lagu: Cafrinho.
Dalam Bahasa Indonesia lirik itu
dapat diartikan lebih kurang:
Cafrinho
sedang duduk bermain.
Angkat
kaki sambil berdansa.
Cafrinho
mau permisi pulang.
Angkat
topi beri selamat.
(**) dikutip dari Lagu: Sambel
Cobek.