Keinginan
Mas Sudira, atau kemudian dikenal sebagai Pangeran Mangkunegara IV sewaktu
menciptakan Puspawarna sebenarnya tidak terlalu muluk. Beliau hanya bermaksud
mengenang saat indah di taman sari tempat untuk biasa bersantai dengan sang
kekasih hati. Konon Mas Sudira dilanda rasa rindu mendalam setelah kematian
istri beliau. Tidak jelas, apakah yang dimaksud adalah Mas Ayu Semi, ataupun
Mas Ayu Dunuk, dua wanita pendamping hidup yang sangat dicintanya. Kerinduan
Mas Sudira terwujud dalam Ketawang Puspawarna,
terbit sekitar 1850-an, menggambarkan keindahan taman yang penuh bunga harum
berwarna-warni. Selanjutnya, Puspawarna yang penuh kegembiraan itu biasa
diperdengarkan untuk menyambut rawuh Sinuwun Dalem saat menghadiri pisowanan di Sitihinggil.
Rupanya
rasa cinta Mas Sudira begitu tulus, hingga membawa Puspawarna terbang membubung
ke atas langit. Sekitar tahun 1970-an, ilmuwan-ilmuwan angkasa Amerika Serikat
berinisiatif mengirimkan berbagai jenis musik dari budaya orang-orang bumi kepada
makhluk angkasa luar. Tersebutlah Dr Robert Brown, seorang pengajar sekolah
musik di Wesleyan University, Connecticut yang mengusulkan kepada Dr Carl
Sagan, pimpinan proyek di NASA agar Puspawarna masuk seleksi. Menurut Dr Brown,
saat pertama kali mendengar Puspawarna, Dr Sagan benar-benar terpana. Beliau
menyatakan kekaguman atas rampak halus dari irama Puspawarna. Dr Sagan kemudian
setuju dengan usulan Dr Brown, hingga direkamlah Puspawarna hasil aransir ulang
Pujangga Pura Pakualaman Ngabehi Wasitadipura dalam The Voyager’s Golden Record. Puspawarna hasil coretan Mas Sudira
bersama dengan karya pemusik ternama lain dari seluruh penjuru dunia semacam
Wolfgang Mozart, Johann Bach, Louis Armstrong ataupun Chuck Berry melesat menuju
angkasa raya melalui misi wahana Voyager
1977. Tujuan dari pengiriman misi adalah menyapa dengan ramah kepada para
makhluk Extra Terrestrial lewat hasil
karya budaya dan peradaban manusia di bumi.
Sekalipun tidak lagi populer, Ketawang
Puspawarna masih bisa dinikmati dalam kesempatan tertentu. Selain di
kraton-kraton penerus Kesultanan Mataram, Puspawarna masih sering bergaung di
pertunjukan wayang purwa gagrak Jawa
Tengahan. Memang tak banyak yang lagi mengerti ataupun mengenali gending
legendaris ini, meskipun itu di tanah kelahirannya sendiri. Jaman telah
berubah, hingga keelokan harmonis Puspawarna lebih nampak seperti musik bagi para
orang tua jompo tiada arti. Puspawarna sebenarnya merupakan salah satu simbol
akan keluhuran budaya bangsa yang ditanggalkan begitu saja oleh para pewarisnya.
Padahal, pancaran keindahan daripadanya tidak hanya menjadi perlambang kisah
kasih sejati, tetapi juga menjadi pelipur bagi banyak jiwa di seluruh penjuru
jagad, baik yang berada di bumi, maupun mungkin pula yang bertebaran di luar
angkasa nan luas tak berbatas.