Sunday, March 15, 2015

Ketawang Puspawarna

Keinginan Mas Sudira, atau kemudian dikenal sebagai Pangeran Mangkunegara IV sewaktu menciptakan Puspawarna sebenarnya tidak terlalu muluk. Beliau hanya bermaksud mengenang saat indah di taman sari tempat untuk biasa bersantai dengan sang kekasih hati. Konon Mas Sudira dilanda rasa rindu mendalam setelah kematian istri beliau. Tidak jelas, apakah yang dimaksud adalah Mas Ayu Semi, ataupun Mas Ayu Dunuk, dua wanita pendamping hidup yang sangat dicintanya. Kerinduan Mas Sudira terwujud dalam Ketawang Puspawarna, terbit sekitar 1850-an, menggambarkan keindahan taman yang penuh bunga harum berwarna-warni. Selanjutnya, Puspawarna yang penuh kegembiraan itu biasa diperdengarkan untuk menyambut rawuh Sinuwun Dalem saat menghadiri pisowanan di Sitihinggil.

Rupanya rasa cinta Mas Sudira begitu tulus, hingga membawa Puspawarna terbang membubung ke atas langit. Sekitar tahun 1970-an, ilmuwan-ilmuwan angkasa Amerika Serikat berinisiatif mengirimkan berbagai jenis musik dari budaya orang-orang bumi kepada makhluk angkasa luar. Tersebutlah Dr Robert Brown, seorang pengajar sekolah musik di Wesleyan University, Connecticut yang mengusulkan kepada Dr Carl Sagan, pimpinan proyek di NASA agar Puspawarna masuk seleksi. Menurut Dr Brown, saat pertama kali mendengar Puspawarna, Dr Sagan benar-benar terpana. Beliau menyatakan kekaguman atas rampak halus dari irama Puspawarna. Dr Sagan kemudian setuju dengan usulan Dr Brown, hingga direkamlah Puspawarna hasil aransir ulang Pujangga Pura Pakualaman Ngabehi Wasitadipura dalam The Voyager’s Golden Record. Puspawarna hasil coretan Mas Sudira bersama dengan karya pemusik ternama lain dari seluruh penjuru dunia semacam Wolfgang Mozart, Johann Bach, Louis Armstrong ataupun Chuck Berry melesat menuju angkasa raya melalui misi wahana Voyager 1977. Tujuan dari pengiriman misi adalah menyapa dengan ramah kepada para makhluk Extra Terrestrial lewat hasil karya budaya dan peradaban manusia di bumi. 

Sekalipun tidak lagi populer, Ketawang Puspawarna masih bisa dinikmati dalam kesempatan tertentu. Selain di kraton-kraton penerus Kesultanan Mataram, Puspawarna masih sering bergaung di pertunjukan wayang purwa gagrak Jawa Tengahan. Memang tak banyak yang lagi mengerti ataupun mengenali gending legendaris ini, meskipun itu di tanah kelahirannya sendiri. Jaman telah berubah, hingga keelokan harmonis Puspawarna lebih nampak seperti musik bagi para orang tua jompo tiada arti. Puspawarna sebenarnya merupakan salah satu simbol akan keluhuran budaya bangsa yang ditanggalkan begitu saja oleh para pewarisnya. Padahal, pancaran keindahan daripadanya tidak hanya menjadi perlambang kisah kasih sejati, tetapi juga menjadi pelipur bagi banyak jiwa di seluruh penjuru jagad, baik yang berada di bumi, maupun mungkin pula yang bertebaran di luar angkasa nan luas tak berbatas.