Surabaya
boleh jadi hanya satu dari sedikit saja dari kota – kota di tanah air yang
memiliki nama jalan dari nama tokoh internasional. Di Bandung dapat ditemui
Jalan Pasteur, Eijkman maupun Currie, di Medan dengan Jalan Nehru, sementara di
Surabaya terdapat Jalan Lumumba. Selain di Surabaya, nama Lumumba juga pernah
menjadi nama jalan di Jakarta. Di Kota Pahlawan, Jalan Lumumba terletak di
daerah Ngagel, satu areal dengan instalasi PDAM Surabaya di tepian Sungai
Surabaya dan Sungai Jagir. Nama Lumumba memang unik, terutama terkait dengan
serba-serbi si pemilik nama yang bersangkutan.
Jalan
Lumumba mengabadikan nama Patrice Emery Lumumba, seorang pejuang kemerdekaan
dari Kongo, Afrika Tangah. Sebagaimana lazim para tokoh penggerak Asia-Afrika
pada dekade 1960an, Lumumba adalah seorang anti-kolonialisme. Dedikasi Lumumba
sempat melambungkan karir politiknya untuk menjabat sebagai Perdana Menteri di
Republik Kongo – Leopoldville* pada tahun 1960. Waktu itu, Kongo baru saja
menyatakan kemerdekaan dari Kerajaan Belgia. Tetapi impian Lumumba membangun
Afrika yang modern kandas terlalu dini. Konflik internal antar pejabat elit,
manuver pihak militer pimpinan Kolonel Joseph Mobutu, serta intervensi pihak
asing meruntuhkan pemerintahan muda di Kongo yang baru berusia 12 minggu.
Lumumba ditangkap sebagai tahanan politik, diseret di depan umum dengan tali
tampar layaknya pesakitan kelas kecoak, untuk kemudian dieksekusi mati pada
malam hari tanggal 17 Januari 1961. Jasad Lumumba dicabik-cabik oleh regu
tembak pimpinan opsir Belgia Kapten Julien Gat, serta dihancurkan dengan cairan
pekat asam sulfat sampai nyaris tak bersisa.
Kematian
tragis menjadikan riwayat post-mortem
seorang Lumumba penuh warna. Di Dunia Ketiga, Lumumba dipuja sebagai pahlawan,
simbol perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme. Tentu saja menjadi hal
sebaliknya jika sudut pandang diambil dari Dunia Barat. Bagi Barat, Lumumba tak
lebih dianggap sebagai seorang pemimpi berat dan tak kenal adat dalam bersikap.
Barat memang benar-benar dibuat sewot saat
gagasan Lumumba untuk menggalang Pan – Afrika mendapat sambutan positif dari
berbagai pihak, termasuk dari Soviet Rusia. Akibatnya, seperti banyak tokoh
pergerakan Asia-Afrika semasa itu, Lumumba yang memiliki pandangan Non-Blok
sering dituding sebagai simpatisan paham komunis.
Hitam-putih
nama Lumumba terjadi pula di negeri asalnya yakni di Kongo, atau pada satu masa
bernama Zaire. Sempat dianggap sebagai musuh negara, Lumumba mendapatkan
rehabilitasi nama baik serta gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1966 dari
penerus, sekaligus mantan seteru politiknya, Joseph Mobutu. Di belakang hari
Joseph Mobutu dikenal sebagai sebagai Mobutu Sese Seko, seorang pemimpin Afrika
yang warna hidupnya sangat beragam. Kepopuleran turut menggoda Pemerintah
Kerajaan Belgia untuk ikut mewarnai cerita anumerta Patrice
Lumumba. Pada tahun 2002, Pemerintah Belgia secara terbuka menyampaikan
permintaan maaf kepada rakyat Kongo atas keterlibatan mereka dalam kematian
Lumumba di luar batas wajar kemanusiaan.
Di
Surabaya, keunikan nama Lumumba masih tergambar. Meskipun terdengar sangat
asing, nama Lumumba masih dipergunakan untuk penanda satu sudut kecil di kota,
serta menjadi pelengkap isian kartu penduduk dari sebagian warga. Tidak begitu
jelas, apa yang menjadi sebab kelestarian nama itu di Surabaya. Mungkin saja,
semuanya karena terdorong adanya keinginan untuk memelihara sikap gigih Lumumba
dalam memerangi ketidakadilan maupun kemelaratan. Sebab memang kebetulan,
ketidakadilan dan kemelaratan masih sering nimbrung dalam
keseharian penduduk Surabaya dan sekitarnya. Atau mungkin juga, detak kencang
kehidupan di Surabaya telah membuat banyak orang tak lagi sempat peduli
mengenai urusan kecil, seperti halnya nama jalan ataupun gang. Sementara itu
secara bersamaan, lalu-lalang berbagai kendaraan mulai becak sampai kereta api
setiap harinya, telah menyapu hilang memori dari sebuah nama, yang dulunya
berkaitan erat dengan pergolakan suatu bangsa untuk berdaulat, serta
bermartabat.