Saturday, October 11, 2014

Jalan Lumumba



Surabaya boleh jadi hanya satu dari sedikit saja dari kota – kota di tanah air yang memiliki nama jalan dari nama tokoh internasional. Di Bandung dapat ditemui Jalan Pasteur, Eijkman maupun Currie, di Medan dengan Jalan Nehru, sementara di Surabaya terdapat Jalan Lumumba. Selain di Surabaya, nama Lumumba juga pernah menjadi nama jalan di Jakarta. Di Kota Pahlawan, Jalan Lumumba terletak di daerah Ngagel, satu areal dengan instalasi PDAM Surabaya di tepian Sungai Surabaya dan Sungai Jagir. Nama Lumumba memang unik, terutama terkait dengan serba-serbi si pemilik nama yang bersangkutan.

Jalan Lumumba mengabadikan nama Patrice Emery Lumumba, seorang pejuang kemerdekaan dari Kongo, Afrika Tangah. Sebagaimana lazim para tokoh penggerak Asia-Afrika pada dekade 1960an, Lumumba adalah seorang anti-kolonialisme. Dedikasi Lumumba sempat melambungkan karir politiknya untuk menjabat sebagai Perdana Menteri di Republik Kongo – Leopoldville* pada tahun 1960. Waktu itu, Kongo baru saja menyatakan kemerdekaan dari Kerajaan Belgia. Tetapi impian Lumumba membangun Afrika yang modern kandas terlalu dini. Konflik internal antar pejabat elit, manuver pihak militer pimpinan Kolonel Joseph Mobutu, serta intervensi pihak asing meruntuhkan pemerintahan muda di Kongo yang baru berusia 12 minggu. Lumumba ditangkap sebagai tahanan politik, diseret di depan umum dengan tali tampar layaknya pesakitan kelas kecoak, untuk kemudian dieksekusi mati pada malam hari tanggal 17 Januari 1961. Jasad Lumumba dicabik-cabik oleh regu tembak pimpinan opsir Belgia Kapten Julien Gat, serta dihancurkan dengan cairan pekat asam sulfat sampai nyaris tak bersisa.

Kematian tragis menjadikan riwayat post-mortem seorang Lumumba penuh warna. Di Dunia Ketiga, Lumumba dipuja sebagai pahlawan, simbol perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme. Tentu saja menjadi hal sebaliknya jika sudut pandang diambil dari Dunia Barat. Bagi Barat, Lumumba tak lebih dianggap sebagai seorang pemimpi berat dan tak kenal adat dalam bersikap. Barat memang benar-benar dibuat sewot saat gagasan Lumumba untuk menggalang Pan – Afrika mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk dari Soviet Rusia. Akibatnya, seperti banyak tokoh pergerakan Asia-Afrika semasa itu, Lumumba yang memiliki pandangan Non-Blok sering dituding sebagai simpatisan paham komunis.

Hitam-putih nama Lumumba terjadi pula di negeri asalnya yakni di Kongo, atau pada satu masa bernama Zaire. Sempat dianggap sebagai musuh negara, Lumumba mendapatkan rehabilitasi nama baik serta gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1966 dari penerus, sekaligus mantan seteru politiknya, Joseph Mobutu. Di belakang hari Joseph Mobutu dikenal sebagai sebagai Mobutu Sese Seko, seorang pemimpin Afrika yang warna hidupnya sangat beragam. Kepopuleran turut menggoda Pemerintah Kerajaan Belgia untuk ikut mewarnai cerita anumerta Patrice Lumumba. Pada tahun 2002, Pemerintah Belgia secara terbuka menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Kongo atas keterlibatan mereka dalam kematian Lumumba di luar batas wajar kemanusiaan.

Di Surabaya, keunikan nama Lumumba masih tergambar. Meskipun terdengar sangat asing, nama Lumumba masih dipergunakan untuk penanda satu sudut kecil di kota, serta menjadi pelengkap isian kartu penduduk dari sebagian warga. Tidak begitu jelas, apa yang menjadi sebab kelestarian nama itu di Surabaya. Mungkin saja, semuanya karena terdorong adanya keinginan untuk memelihara sikap gigih Lumumba dalam memerangi ketidakadilan maupun kemelaratan. Sebab memang kebetulan, ketidakadilan dan kemelaratan masih sering nimbrung dalam keseharian penduduk Surabaya dan sekitarnya. Atau mungkin juga, detak kencang kehidupan di Surabaya telah membuat banyak orang tak lagi sempat peduli mengenai urusan kecil, seperti halnya nama jalan ataupun gang. Sementara itu secara bersamaan, lalu-lalang berbagai kendaraan mulai becak sampai kereta api setiap harinya, telah menyapu hilang memori dari sebuah nama, yang dulunya berkaitan erat dengan pergolakan suatu bangsa untuk berdaulat, serta bermartabat.




Saturday, July 5, 2014

Walisanga dan Perkembangan Islam di Indonesia



Pendapat umum memperkirakan Islam mulai memasuki Nusantara pada sekitar Abad ke-10-11M, dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah serta Gujarat, India. Anggapan ini berdasarkan pada beberapa penemuan arkeologi berupa pemakaman atau perkampungan bercorak muslim yang umumnya tertanggal pada kurun waktu tersebut. Sebenarnya, ajaran serta budaya Islam sudah diperkenalkan kepada penduduk di Nusantara jauh sebelum itu, yakni pada sekitar Abad ke-7 Masehi. Jika dirunut berdasarkan tarikh Islam, masa yang dimaksud berlangsung pada periode kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria.

Menurut catatan lama, pada kurun waktu tahun 600-an M, pedagang – pedagang Muslim dari Timur-Tengah sudah banyak melakukan kunjungan, sebagian kemudian menetap di pelabuhan-pelabuhan penting perairan selatan; semacam di Semenanjung Malaka, Sumatera ataupun Pesisir Utara Jawa. Para sejarahwan umumnya sepakat, sejak periode itu pula telah terbentuk hubungan ekonomi yang erat diantara para pedagang internasional; dalam hal ini pedagang dari Tiongkok, pedagang Muslim dari Persia, Timur-Tengah maupun India, serta pedagang-pedagang dari Nusantara; semacam dari Sriwijaya, Kalingga serta Bugis. Lewat interaksi perdagangan semacam itu, prinsip-prinsip Islam mulai diperkenalkan kepada masyarakat di Nusantara.

Tetapi fakta sejarah menunjukkan, Islam pada masa-masa tersebut tidak begitu berhasil merebut hati masyarakat di Nusantara. Simak saja tulisan Marcopolo bertarikh 1292M saat penjelajah Italia itu singgah di Perlak, Aceh dalam perjalanannya pulang dari Tiongkok ke Eropa. Marcopolo menceritakan bahwa sebagian besar masyarakat bumiputra di Sumatra menganut kepercayaan animisme atau dinamisme. Islam hanya dianut sebagian kecil masyarakat pendatang dari Arabia, Persia dan Tiongkok saja. Laporan yang senada dengan memoir Marcopolo dapat juga dilihat dari dokumen Ekspedisi Armada Cheng Ho yang datang ke Jawa pertama kalinya pada tahun 1405M. Kondisi budaya serta kepercayaan tersebut masih tidak banyak berubah saat Cheng Ho mengunjungi kembali Nusantara pada ekspedisi yang terakhir (pelayaran ke-7), yaitu pada tahun 1430M. Ma Huan yang menjadi juru tulis Laksamana Cheng Ho pada pelayaran tersebut, menggambarkan dalam catatannya mengenai pengaruh agama Hindu, Budha serta kepercayaan animisme dan dinamisme yang cukup dominan pada struktur sosial masyarakat Indonesia. Ini artinya dari sekitar tahun 600-an hingga 1400-an tarikh Masehi, Islam memang bukan merupakan kepercayaan utama bagi masyarakat di kepulauan Indonesia dan sekitarnya.

Tetapi tendensi  ini mengalami perubahan dramatis pada periode 1500-an. Seorang ahli farmasi Portugis, Tome Pires, menuliskan pengalamannya dalam menyusuri jalur perdagangan rempah-rempah di perairan Indonesia masa silam. Dari catatan Pires yang kemudian dibukukan dalam ‘Suma Oriental’, diketahui bahwa pada kuartal pertama 1500-an, Islam sudah secara luas dianut masyarakat Sumatra dan Jawa, terutama pada daerah-daerah pantai. Tulisan Pires diperkuat oleh keterangan para pelaut Eropa dan Tiongkok yang pernah singgah di Jawa dan Sumatera pada periode yang sama. Masih menurut catatan para penjelajah Eropa, kepercayaan lama di Nusantara, yakni Hindu-Budha masih dapat ditemui, umumnya terdapat di daerah pedalaman dengan jumlah penganut yang tidak terlalu banyak. Dokumen-dokumen para pelaut asing juga memberitakan bahwa Islam pada periode 1500-an sudah dianut pula oleh masyarakat di Indonesia Timur semacam di Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Sebagai catatan, nama Maluku sendiri merupakan adaptasi dari terminologi Arab, ‘Al-Mulk’ yang berarti kerajaan, menunjuk kepada banyaknya kerajaan bercorak Islam yang timbul dimasa itu di Perairan Maluku, misalnya saja Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, Hitu, maupun Bacan.

Perubahan sangat cepat dalam sosio-kultural masyarakat di Nusantara pada masa tersebut banyak menarik perhatian para cendekiawan. Dari catatan sebelumya dapat diketahui Islam sangatlah sulit untuk diterima oleh penduduk bumiputra Nusantara. Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa hampir sekitar 800 tahun Islam tidak dapat menarik perhatian rakyat banyak. Tetapi kemudian, dari bentang waktu  yang kurang lebih hanya sekitar 70 tahun saja, Islam mampu menyebar secara merata, terutama di pulau-pulau besar di Indonesia yang notabene merupakan pusat-pusat kebudayaan Asia Tenggara.

Semua adalah berkat usaha para penyebar Islam yang datang ke Indonesia pada awal abad ke-15M. Dari catatan sejarah, di Indonesia bermunculan para pemuka muslim yang memiliki garis keturunan dari Champa maupun Asia Tengah. Generasi yang dimaksud kemudian dikenal sebagai Generasi Walisanga atau Wali Sembilan. Dari para pemuka agama Walisanga, aktifitas Islam di Indonesia mengalami perkembangan pesat.

Ada beberapa faktor yang menjadikan penyebaran Islam oleh Walisanga dapat secara efektif merasuk ke sanubari masyarakat. Menurut catatan penelitian dari Agus Sunyoto, seorang sejarahwan dari Universitas Brawijaya Malang, faktor yang penting dari fenomena tersebut adalah kemampuan dari para pemuka agama pada masa itu dalam memahami kultural kepercayaan masyarakat setempat. Bahwa jauh sebelum kepercayaan Hindu dan Budha menjadi kepercayaan utama, di Kepulauan Indonesia telah berkembang ajaran kepercayaan kepada kekuatan Yang Maha Besar yakni Sang Maha Tunggal. Ajaran kuno menyebutnya Kekuatan Agung itu sebagai Sang Hyang Taya. Taya dalam bahasa Kawi berarti abstrak, menggambarkan adanya Kekuatan Suci yang sama sekali tidak dapat dijangkau atau digambarkan oleh pancaindra manusia. Kepercayaan ini akan tetapi, berwujud kepada penghormatan kepada benda-benda mati alamiah (bukan arca/patung) seperti batu, pohon atau air terjun yang dianggap memiliki kekuatan gaib, anugrah dari Sang Hyang Taya. Ajaran kuno inilah yang dianggap oleh orang-orang Eropa sebagai ajaran dinamisme. Padahal sesungguhnya, dinamisme yang dianut di Nusantara adalah bermuara kepada pemujaan kepada kekuatan Sang Esa/Tunggal/Taya. Kepercayaan kepada Sang Tunggal tentunya selaras dengan prinsip keislaman yang monotheis. Prinsip monotheisme dari kepercayaan lama akhirnya dapat diadaptasi oleh generasi Walisanga untuk memperkenalkan ajaran Islam yang juga berprinsip sebagai ajaran monotheisme.

Pendekatan melalui ajaran kuno nusantara yang dilakukan generasi Walisanga mampu mempercepat pemahaman penduduk pribumi dalam mengenal ajaran agama Islam. Generasi Walisanga mempertahankan istilah-istilah, serta praktik-praktik keagamaan yang telah dikenal masyarakat lewat kepercayaan lama. Akan tetapi ruh dari istilah dan praktiknya kemudian berganti serta berisi ajaran keislaman. Misalnya saja untuk tempat beribadah, ajaran kuno menyebutnya ‘sanggar (pamujan)’, untuk kemudian diganti dengan istilah ‘langgar’ (mushalla). Struktur ‘langgar’ dan ‘sanggar’ amatlah mirip, dengan bentuk bangunan berbentuk persegi empat dari kayu. Hanya saja untuk ‘langgar’, bagian tembok berupa ruang kosong untuk mengagungkan Sang Hyang Taya/Tunggal sebagaimana pada ‘sanggar’ diakomodasi dalam bentuk mihrab di ujung bangunan, sebagai tempat imam  menghadap kearah kiblat di Makkatul Mukarromah.

Contoh lain misalnya praktik suci ajaran kuno ‘upawasa’, yang berisi ibadah menahan makan dan minum selama beberapa waktu. Generasi Walisanga kemudian mengadaptasi ibadah upawasa dengan istilah puasa, yang dalam Islam dijalankan secara wajib di bulan Ramadhan. Puasa yang dikenalkan tentunya melarang adanya puasa ngableng (terus-menerus tanpa berbuka selama beberapa hari), untuk kemudian ditradisikan berpuasa mulai fajar sampai maghrib, sesuai ajaran Islam.  Ibadah Puasa Senin-Kamis sebagai contoh pula, secara cepat diterima masyarakat karena praktik puasa hari ke-2 dan ke-5 dalam satu minggu telah bertahun-tahun hidup dimasa Pra-Islam Indonesia. Walisanga juga tidak bersikeras memakai istilah shaum/shiyam misalnya, meski hal tersebut merupakan istilah ‘resmi’ dalam kitab suci Al-Quran. Begitu pula ibadah menyembah kepada Sang Agung dinamakan sebagai ‘sembahyang’, atau ‘menyembah (kepada) Sang Hyang (Tunggal)’. Sesuai ajaran Islam, sembahyang yang diperkenalkan Walisanga berisi ibadah dengan kaifiat shalat yang lengkap sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah untuk menyembah Allah SWT. Termasuk pula perubahan terhadap hikayat kuno semacam Mahabharata yang disisipi nilai keislaman, tembang-tembang dan syair dengan memakai bahasa kasusastraan tingkat tinggi. Isi tembang, kidung atau pujian pada waktu itu umumnya merupakan uraian dari ayat suci Al-Quran, maupun Hadits Nabi SAW. Masih banyak lagi contoh yang tentunya akan menyita tempat di tulisan yang sangat pendek ini. 

Salah satu fakta penting adalah para pemuka agama yang disebut Walisanga merupakan institusi yang cair serta tidak ekslusif. Istilah Walisanga atau Wali Sembilan sesungguhnya tidak selalu menggambarkan adanya sembilan orang yang kemudian berkumpul membentuk suatu organisasi keagamaan. Hanya kebetulan saja, ulama Walisanga, terutama yang ada di Jawa, kebanyakan masih satu kerabat sehingga timbul kesan bahwa nama Walisanga adalah lembaga formal dengan anggota tertentu. Walisanga adalah lebih tepat disebut suatu persatuan kekeluargaan, dimana didalamnya terdapat tokoh-tokoh dengan ilmu agama serta ilmu kehidupan yang mumpuni. Jumlah pemuka agama itu tentunya lebih dari sembilan orang, dan tersebar di seluruh wilayah nusantara. Di Jawa, sebutan Walisanga diadaptasi dari istilah Nawa Dewata, diambil dari konsep ajaran Hindu tentang adanya sembilan dewa utama, sebagai penguasa arah mata angin. Masyarakat Jawa waktu itu memberi istilah Walisanga untuk memudahkan pemahaman terhadap adanya figur-figur panutan pembawa ajaran yang baru dikenal.

Boleh dikatakan bahwa para Walisanga adalah cendekia muslim yang mampu menerjemahkan ajaran Islam dengan bahasa yang lebih dapat dipahami oleh masyarakat luas. Lewat pendekatan kultural, Islam di Indonesia mengalami kisah perjalanan yang amat berbeda dengan riwayat Islam di pusat kebudayaan kuno lain semacam di India. Pendekatan semacam itu mampu pula membuat jalinan antara para pembawa ajaran baru dengan masyarakat sekitar menjadi lebih akrab. Para susuhunan (sunan) yang hidup semasa Walisanga ditilik dari bukti sejarah adalah tokoh-tokoh yang dekat dengan rakyat, bijaksana serta mampu memberi pencerahan secara damai. Mereka bukanlah perkumpulan yang hidup mengisolasi diri dari masyarakat sekitar, bergaul hanya dengan kelompoknya sendiri, merasa diri paling suci dan shalih, ataupun kelompok yang bertindak dengan kekerasan, meski dengan dalih untuk ajaran suci agama Islam. Para susuhunan yang disebut Walisanga adalah pemuka Islam yang mampu melakukan praktik dari prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin, atau dalam terminologi Jawa kemudian disebut sebagai memayu hayuning bawana yang berarti memelihara kesejahteraan alam secara berimbang. Melalui metode tersebut, Islam akhirnya mampu menyentuh, serta tertanam di lubuk batin sebagian besar masyarakat Indonesia dan sekitarnya, hingga ratusan tahun lamanya.


Pustaka:
1.    Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, PT Mizan, Juli 2012.
2.    Tomé Pires, Armando Cortesão, Francisco Rodrigues, The Suma Oriental Of Tome Pires, Asian Educational Services, New Delhi 2005.
3.    MC Ricklefs, The History of Modern Indonesia Since C.1200, Palgrave Macmillan, Hampshire, UK, 2001.