Pendapat
umum memperkirakan Islam mulai memasuki Nusantara pada sekitar Abad ke-10-11M,
dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah serta Gujarat, India. Anggapan ini
berdasarkan pada beberapa penemuan arkeologi berupa pemakaman atau perkampungan
bercorak muslim yang umumnya tertanggal pada kurun waktu tersebut. Sebenarnya,
ajaran serta budaya Islam sudah diperkenalkan kepada penduduk di Nusantara jauh
sebelum itu, yakni pada sekitar Abad ke-7 Masehi. Jika dirunut berdasarkan
tarikh Islam, masa yang dimaksud berlangsung pada periode kekhalifahan Umayyah
yang berpusat di Damaskus, Syria.
Menurut
catatan lama, pada kurun waktu tahun 600-an M, pedagang – pedagang Muslim dari
Timur-Tengah sudah banyak melakukan kunjungan, sebagian kemudian menetap di
pelabuhan-pelabuhan penting perairan selatan; semacam di Semenanjung Malaka,
Sumatera ataupun Pesisir Utara Jawa. Para sejarahwan umumnya sepakat, sejak
periode itu pula telah terbentuk hubungan ekonomi yang erat diantara para
pedagang internasional; dalam hal ini pedagang dari Tiongkok, pedagang Muslim
dari Persia, Timur-Tengah maupun India, serta pedagang-pedagang dari Nusantara;
semacam dari Sriwijaya, Kalingga serta Bugis. Lewat interaksi perdagangan
semacam itu, prinsip-prinsip Islam mulai diperkenalkan kepada masyarakat di
Nusantara.
Tetapi
fakta sejarah menunjukkan, Islam pada masa-masa tersebut tidak begitu berhasil
merebut hati masyarakat di Nusantara. Simak saja tulisan Marcopolo bertarikh
1292M saat penjelajah Italia itu singgah di Perlak, Aceh dalam perjalanannya
pulang dari Tiongkok ke Eropa. Marcopolo menceritakan bahwa sebagian besar
masyarakat bumiputra di Sumatra menganut kepercayaan animisme atau dinamisme.
Islam hanya dianut sebagian kecil masyarakat pendatang dari Arabia, Persia dan
Tiongkok saja. Laporan yang senada dengan memoir Marcopolo dapat juga dilihat
dari dokumen Ekspedisi Armada Cheng Ho yang datang ke Jawa pertama kalinya pada
tahun 1405M. Kondisi budaya serta kepercayaan tersebut masih tidak banyak
berubah saat Cheng Ho mengunjungi kembali Nusantara pada ekspedisi yang
terakhir (pelayaran ke-7), yaitu pada tahun 1430M. Ma Huan yang menjadi juru
tulis Laksamana Cheng Ho pada pelayaran tersebut, menggambarkan dalam
catatannya mengenai pengaruh agama Hindu, Budha serta kepercayaan animisme dan
dinamisme yang cukup dominan pada struktur sosial masyarakat Indonesia. Ini
artinya dari sekitar tahun 600-an hingga 1400-an tarikh Masehi, Islam memang
bukan merupakan kepercayaan utama bagi masyarakat di kepulauan Indonesia dan
sekitarnya.
Tetapi
tendensi ini mengalami perubahan dramatis pada periode 1500-an. Seorang
ahli farmasi Portugis, Tome Pires, menuliskan pengalamannya dalam menyusuri
jalur perdagangan rempah-rempah di perairan Indonesia masa silam. Dari catatan
Pires yang kemudian dibukukan dalam ‘Suma Oriental’,
diketahui bahwa pada kuartal pertama 1500-an, Islam sudah secara luas dianut
masyarakat Sumatra dan Jawa, terutama pada daerah-daerah pantai. Tulisan Pires
diperkuat oleh keterangan para pelaut Eropa dan Tiongkok yang pernah singgah di
Jawa dan Sumatera pada periode yang sama. Masih menurut catatan para penjelajah
Eropa, kepercayaan lama di Nusantara, yakni Hindu-Budha masih dapat ditemui,
umumnya terdapat di daerah pedalaman dengan jumlah penganut yang tidak terlalu
banyak. Dokumen-dokumen para pelaut asing juga memberitakan bahwa Islam pada
periode 1500-an sudah dianut pula oleh masyarakat di Indonesia Timur semacam di
Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Sebagai catatan, nama Maluku sendiri merupakan
adaptasi dari terminologi Arab, ‘Al-Mulk’ yang
berarti kerajaan, menunjuk kepada banyaknya kerajaan bercorak Islam yang timbul
dimasa itu di Perairan Maluku, misalnya saja Kesultanan Ternate, Tidore,
Jailolo, Hitu, maupun Bacan.
Perubahan
sangat cepat dalam sosio-kultural masyarakat di Nusantara pada masa tersebut
banyak menarik perhatian para cendekiawan. Dari catatan sebelumya dapat
diketahui Islam sangatlah sulit untuk diterima oleh penduduk bumiputra
Nusantara. Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa hampir sekitar 800 tahun
Islam tidak dapat menarik perhatian rakyat banyak. Tetapi kemudian, dari
bentang waktu yang kurang lebih hanya sekitar 70 tahun saja, Islam mampu
menyebar secara merata, terutama di pulau-pulau besar di Indonesia yang
notabene merupakan pusat-pusat kebudayaan Asia Tenggara.
Semua
adalah berkat usaha para penyebar Islam yang datang ke Indonesia pada awal abad
ke-15M. Dari catatan sejarah, di Indonesia bermunculan para pemuka muslim yang
memiliki garis keturunan dari Champa maupun Asia Tengah. Generasi yang dimaksud
kemudian dikenal sebagai Generasi Walisanga atau Wali Sembilan. Dari para
pemuka agama Walisanga, aktifitas Islam di Indonesia mengalami perkembangan
pesat.
Ada
beberapa faktor yang menjadikan penyebaran Islam oleh Walisanga dapat secara
efektif merasuk ke sanubari masyarakat. Menurut catatan penelitian dari Agus
Sunyoto, seorang sejarahwan dari Universitas Brawijaya Malang, faktor yang
penting dari fenomena tersebut adalah kemampuan dari para pemuka agama pada
masa itu dalam memahami kultural kepercayaan masyarakat setempat. Bahwa jauh
sebelum kepercayaan Hindu dan Budha menjadi kepercayaan utama, di Kepulauan
Indonesia telah berkembang ajaran kepercayaan kepada kekuatan Yang Maha Besar
yakni Sang Maha Tunggal. Ajaran kuno menyebutnya Kekuatan Agung itu sebagai Sang
Hyang Taya. Taya dalam bahasa Kawi berarti abstrak, menggambarkan adanya
Kekuatan Suci yang sama sekali tidak dapat dijangkau atau digambarkan oleh
pancaindra manusia. Kepercayaan ini akan tetapi, berwujud kepada penghormatan
kepada benda-benda mati alamiah (bukan arca/patung) seperti batu, pohon atau
air terjun yang dianggap memiliki kekuatan gaib, anugrah dari Sang Hyang Taya.
Ajaran kuno inilah yang dianggap oleh orang-orang Eropa sebagai ajaran
dinamisme. Padahal sesungguhnya, dinamisme yang dianut di Nusantara adalah
bermuara kepada pemujaan kepada kekuatan Sang Esa/Tunggal/Taya. Kepercayaan
kepada Sang Tunggal tentunya selaras dengan prinsip keislaman yang monotheis.
Prinsip monotheisme dari kepercayaan lama akhirnya dapat diadaptasi oleh generasi
Walisanga untuk memperkenalkan ajaran Islam yang juga berprinsip sebagai ajaran
monotheisme.
Pendekatan
melalui ajaran kuno nusantara yang dilakukan generasi Walisanga mampu
mempercepat pemahaman penduduk pribumi dalam mengenal ajaran agama Islam. Generasi
Walisanga mempertahankan istilah-istilah, serta praktik-praktik keagamaan yang
telah dikenal masyarakat lewat kepercayaan lama. Akan tetapi ruh dari istilah
dan praktiknya kemudian berganti serta berisi ajaran keislaman. Misalnya saja
untuk tempat beribadah, ajaran kuno menyebutnya ‘sanggar (pamujan)’,
untuk kemudian diganti dengan istilah ‘langgar’
(mushalla). Struktur ‘langgar’ dan ‘sanggar’ amatlah mirip, dengan bentuk
bangunan berbentuk persegi empat dari kayu. Hanya saja untuk ‘langgar’, bagian
tembok berupa ruang kosong untuk mengagungkan Sang Hyang Taya/Tunggal
sebagaimana pada ‘sanggar’ diakomodasi dalam bentuk mihrab di ujung bangunan,
sebagai tempat imam menghadap kearah kiblat di Makkatul Mukarromah.
Contoh
lain misalnya praktik suci ajaran kuno ‘upawasa’, yang
berisi ibadah menahan makan dan minum selama beberapa waktu. Generasi Walisanga
kemudian mengadaptasi ibadah upawasa dengan
istilah puasa, yang dalam Islam dijalankan secara wajib di bulan Ramadhan.
Puasa yang dikenalkan tentunya melarang adanya puasa ngableng
(terus-menerus tanpa berbuka selama beberapa hari), untuk kemudian ditradisikan
berpuasa mulai fajar sampai maghrib, sesuai ajaran Islam. Ibadah Puasa
Senin-Kamis sebagai contoh pula, secara cepat diterima masyarakat karena praktik
puasa hari ke-2 dan ke-5 dalam satu minggu telah bertahun-tahun hidup dimasa
Pra-Islam Indonesia. Walisanga juga tidak bersikeras memakai istilah shaum/shiyam
misalnya, meski hal tersebut merupakan istilah ‘resmi’ dalam kitab suci
Al-Quran. Begitu pula ibadah menyembah kepada Sang Agung dinamakan sebagai ‘sembahyang’, atau
‘menyembah (kepada) Sang Hyang (Tunggal)’. Sesuai ajaran Islam, sembahyang yang
diperkenalkan Walisanga berisi ibadah dengan kaifiat shalat yang lengkap sesuai
petunjuk Al-Quran dan Sunnah untuk menyembah Allah SWT. Termasuk pula perubahan
terhadap hikayat kuno semacam Mahabharata yang disisipi nilai keislaman,
tembang-tembang dan syair dengan memakai bahasa kasusastraan tingkat tinggi.
Isi tembang, kidung atau pujian pada waktu itu umumnya merupakan uraian dari
ayat suci Al-Quran, maupun Hadits Nabi SAW. Masih banyak lagi contoh yang
tentunya akan menyita tempat di tulisan yang sangat pendek ini.
Salah
satu fakta penting adalah para pemuka agama yang disebut Walisanga merupakan
institusi yang cair serta tidak ekslusif. Istilah Walisanga atau Wali Sembilan
sesungguhnya tidak selalu menggambarkan adanya sembilan orang yang kemudian
berkumpul membentuk suatu organisasi keagamaan. Hanya kebetulan saja, ulama
Walisanga, terutama yang ada di Jawa, kebanyakan masih satu kerabat sehingga
timbul kesan bahwa nama Walisanga adalah lembaga formal dengan anggota
tertentu. Walisanga adalah lebih tepat disebut suatu persatuan kekeluargaan,
dimana didalamnya terdapat tokoh-tokoh dengan ilmu agama serta ilmu kehidupan
yang mumpuni. Jumlah pemuka agama itu tentunya lebih dari sembilan orang, dan
tersebar di seluruh wilayah nusantara. Di Jawa, sebutan Walisanga diadaptasi
dari istilah Nawa Dewata, diambil dari konsep ajaran Hindu tentang adanya
sembilan dewa utama, sebagai penguasa arah mata angin. Masyarakat Jawa waktu
itu memberi istilah Walisanga untuk memudahkan pemahaman terhadap adanya
figur-figur panutan pembawa ajaran yang baru dikenal.
Boleh
dikatakan bahwa para Walisanga adalah cendekia muslim yang mampu menerjemahkan
ajaran Islam dengan bahasa yang lebih dapat dipahami oleh masyarakat luas.
Lewat pendekatan kultural, Islam di Indonesia mengalami kisah perjalanan yang
amat berbeda dengan riwayat Islam di pusat kebudayaan kuno lain semacam di India.
Pendekatan semacam itu mampu pula membuat jalinan antara para pembawa ajaran
baru dengan masyarakat sekitar menjadi lebih akrab. Para susuhunan (sunan) yang
hidup semasa Walisanga ditilik dari bukti sejarah adalah tokoh-tokoh yang dekat
dengan rakyat, bijaksana serta mampu memberi pencerahan secara damai. Mereka
bukanlah perkumpulan yang hidup mengisolasi diri dari masyarakat sekitar,
bergaul hanya dengan kelompoknya sendiri, merasa diri paling suci dan shalih,
ataupun kelompok yang bertindak dengan kekerasan, meski dengan dalih untuk
ajaran suci agama Islam. Para susuhunan yang disebut Walisanga adalah pemuka
Islam yang mampu melakukan praktik dari prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin, atau
dalam terminologi Jawa kemudian disebut sebagai memayu hayuning
bawana yang berarti memelihara kesejahteraan alam secara berimbang. Melalui
metode tersebut, Islam akhirnya mampu menyentuh, serta tertanam di lubuk batin
sebagian besar masyarakat Indonesia dan sekitarnya, hingga ratusan tahun
lamanya.
Pustaka:
1.
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo,
PT Mizan, Juli 2012.
2.
Tomé Pires, Armando Cortesão, Francisco Rodrigues, The Suma Oriental Of
Tome Pires, Asian Educational Services, New Delhi 2005.
3.
MC Ricklefs, The
History of Modern Indonesia Since C.1200, Palgrave Macmillan, Hampshire,
UK, 2001.