Totok Kerot merupakan sebuah
nama patung dwarapala (penjaga gapura) peninggalan dari masa Kerajaan Panjalu
atau Kediri. Menurut cerita rakyat, arca Totok Kerot berasal dari seorang
putri, penguasa Jawa Timur bagian selatan. Legenda menuturkan adanya seorang
penguasa putri sakti dan cantik rupawan berada di daerah Lodaya, terletak di
Kabupaten Blitar di masa sekarang. Sebut saja namanya Putri Lodaya. Sang Putri berkeinginan
untuk menjadi 'garwa padmi' atau permaisuri utama dari Prabu Sri Aji Jayabaya,
seorang raja termasyur di Kediri. Namun tampaknya keinginan itu tidak
kesampaian, karena Sang Jayabaya menolaknya. Penolakan itu membuat Putri Lodaya
berang. Dikirimlah pasukan Lodaya untuk memerangi Kediri. Rupanya Sang Putri
terlalu gegabah, karena angkatan perang Kediri yang kuat dan tersohor jelas
bukan tandingan tentara Lodaya. Putri Lodaya mengalami kekalahan.
Saat dihadapkan sebagai tawanan didepan
raja, Putri Lodaya mengumpat serta memaki Prabu Jayabaya. Murka Jayabaya
terlontar sebagai kutukan sehingga Putri Lodaya berubah wujud menjadi patung
raksasa. Selanjutnya patung Putri Lodaya dikenal sebagai Patung Totok Kerot.
Cerita mistis berkembang meliputi keberadaan Totok Kerot, sebagaimana lazim
dialamatkan kepada banyak peninggalan arkeologi di Indonesia. Cinta tak
terbalas Totok Kerot sendiri, yakni Sang Aji Jayabaya juga tak luput dari
mitos-mitos yang sebenarnya cukup sulit dibuktikan kebenarannya.
Fakta adalah benar bahwa saat
Jayabaya berkuasa di Kediri, kerajaan besar bercorak agraris telah tumbuh
menjadi pesaing dari kerajaan corak maritim Sriwijaya di Sumatra. Kemakmuran
Kediri banyak diceritakan pelaut-pelaut dari Tiongkok, yang mencatat ramainya
jalur dagang dari muara Sungai Brantas di Jung Galuh (Surabaya), hingga jauh di
pedalaman yakni di Daha, kotaraja Kerajaan Kediri. Masa Jayabaya terutama
diwarnai kemajuan bidang kesusastraan dengan munculnya berbagai novel serta
puisi versi klasik. Tak ketinggalan kemajuan teknologi pertanian, militer serta
kelautan. Tetapi masyarakat modern seakan enggan mengenang kejayaan Panjalu
atau Kediri dari sisi faktual yang ada. Kebanyakan, Kediri di masa Jayabaya
lebih dikenang lewat berbagai mitos yang berkembang mewarnai kepopulerannya.
Sebut saja Dwarapala Totok Kerot, yang memang unik karena dwarapala ini
berwujud raseksi (perempuan), tidak berwujud raksasa (laki-laki) sebagaimana
umumnya dwarapala dimasa kuno. Jayabaya juga lebih banyak dikenal lewat ‘Jangka
Jayabaya’, yang banyak diyakini mengandung ramalan tentang nasib bangsa
Indonesia. Uniknya pula, tidak ada bukti bahwa Jayabaya memang pernah menulis
ataupun mengucap ramalan-ramalan itu. Benar adanya pada masa Jayabaya bertahta
di Daha, banyak ditulis kakawin-kakawin yang kemudian tak lekang oleh jaman,
macam Bharatayudha (dinukil dari Mahabharata India), Hariwangsa,
Gatotkacasraya, ataupun Kresnayana. Tetapi tidak ditemukan prasasti atau berita
menulis bahwa Jangka Jayabaya ditulis pada masa Kediri. Jika memang
kitab semacam itu pernah ditulis oleh Sang Prabu Jayabaya, pastilah ada
pemberitaan jelas dari jaman tersebut. Tulisan yang berisi Jangka Jayabaya
sebagaimana diketahui, baru muncul ratusan tahun setelah Kediri tenggelam dari
politik Nusantara.
Nasib yang sama dialami Totok
Kerot, dimana tak dapat diceritakan mengapa dipilih dwarapala berwujud raseksi,
tidak sebagaimana lazimnya dwarapala lain yang berwujud raksasa laki - laki.
Tidak pula tentang bangunan besar apa yang dijaga oleh Totok Kerot pada masa
itu sehingga harus diwujudkan oleh penjaga wujud yang tak lazim, yakni raksasa
perempuan. Lagi-lagi, kisah serta riwayat yang sampai ke masa modern,
sebagaimana cerita-cerita tentang Jayabaya dan Kerajaan Panjalu/Kediri lainnya,
lebih bersifat dongeng semata.
Sisa dari kejayaan Kediri di
masa Jayabaya masihlah dapat disaksikan, terutama di tempat bekas semadi Sang
Prabu, berlokasi di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Tempat Sang
Jayabaya menghabiskan hari tuanya tersebut sesekali masih dikunjungi para
wisatawan. Sementara itu Dwarapala Totok Kerot menetap di tempat yang jauh
lebih sepi, beberapa kilometer dari Desa Menang yakni di Desa Bulupasar, Pagu,
Kediri. Totok Kerot di masa modern tinggal damai di pinggiran areal persawahan,
beristirahat dari tugasnya menjaga bangunan penting pada masa kejayaan Kerajaan
Kediri, pada waktu lampau.