Thursday, October 31, 2013

Legenda Totok Kerot dan Sri Aji Jayabaya


Totok Kerot merupakan sebuah nama patung dwarapala (penjaga gapura) peninggalan dari masa Kerajaan Panjalu atau Kediri. Menurut cerita rakyat, arca Totok Kerot berasal dari seorang putri, penguasa Jawa Timur bagian selatan. Legenda menuturkan adanya seorang penguasa putri sakti dan cantik rupawan berada di daerah Lodaya, terletak di Kabupaten Blitar di masa sekarang. Sebut saja namanya Putri Lodaya. Sang Putri berkeinginan untuk menjadi 'garwa padmi' atau permaisuri utama dari Prabu Sri Aji Jayabaya, seorang raja termasyur di Kediri. Namun tampaknya keinginan itu tidak kesampaian, karena Sang Jayabaya menolaknya. Penolakan itu membuat Putri Lodaya berang. Dikirimlah pasukan Lodaya untuk memerangi Kediri. Rupanya Sang Putri terlalu gegabah, karena angkatan perang Kediri yang kuat dan tersohor jelas bukan tandingan tentara Lodaya. Putri Lodaya mengalami kekalahan.

Saat dihadapkan sebagai tawanan didepan raja, Putri Lodaya mengumpat serta memaki Prabu Jayabaya. Murka Jayabaya terlontar sebagai kutukan sehingga Putri Lodaya berubah wujud menjadi patung raksasa. Selanjutnya patung Putri Lodaya dikenal sebagai Patung Totok Kerot. Cerita mistis berkembang meliputi keberadaan Totok Kerot, sebagaimana lazim dialamatkan kepada banyak peninggalan arkeologi di Indonesia. Cinta tak terbalas Totok Kerot sendiri, yakni Sang Aji Jayabaya juga tak luput dari mitos-mitos yang sebenarnya cukup sulit dibuktikan kebenarannya. 

Fakta adalah benar bahwa saat Jayabaya berkuasa di Kediri, kerajaan besar bercorak agraris telah tumbuh menjadi pesaing dari kerajaan corak maritim Sriwijaya di Sumatra. Kemakmuran Kediri banyak diceritakan pelaut-pelaut dari Tiongkok, yang mencatat ramainya jalur dagang dari muara Sungai Brantas di Jung Galuh (Surabaya), hingga jauh di pedalaman yakni di Daha, kotaraja Kerajaan Kediri. Masa Jayabaya terutama diwarnai kemajuan bidang kesusastraan dengan munculnya berbagai novel serta puisi versi klasik. Tak ketinggalan kemajuan teknologi pertanian, militer serta kelautan. Tetapi masyarakat modern seakan enggan mengenang kejayaan Panjalu atau Kediri dari sisi faktual yang ada. Kebanyakan, Kediri di masa Jayabaya lebih dikenang lewat berbagai mitos yang berkembang mewarnai kepopulerannya. Sebut saja Dwarapala Totok Kerot, yang memang unik karena dwarapala ini berwujud raseksi (perempuan), tidak berwujud raksasa (laki-laki) sebagaimana umumnya dwarapala dimasa kuno. Jayabaya juga lebih banyak dikenal lewat ‘Jangka Jayabaya’, yang banyak diyakini mengandung ramalan tentang nasib bangsa Indonesia. Uniknya pula, tidak ada bukti bahwa Jayabaya memang pernah menulis ataupun mengucap ramalan-ramalan itu. Benar adanya pada masa Jayabaya bertahta di Daha, banyak ditulis kakawin-kakawin yang kemudian tak lekang oleh jaman, macam Bharatayudha (dinukil dari Mahabharata India), Hariwangsa, Gatotkacasraya, ataupun Kresnayana. Tetapi tidak ditemukan prasasti atau berita menulis bahwa Jangka Jayabaya ditulis pada masa Kediri. Jika memang kitab semacam itu pernah ditulis oleh Sang Prabu Jayabaya, pastilah ada pemberitaan jelas dari jaman tersebut. Tulisan yang berisi Jangka Jayabaya sebagaimana diketahui, baru muncul ratusan tahun setelah Kediri tenggelam dari politik Nusantara. 

Nasib yang sama dialami Totok Kerot, dimana tak dapat diceritakan mengapa dipilih dwarapala berwujud raseksi, tidak sebagaimana lazimnya dwarapala lain yang berwujud raksasa laki - laki. Tidak pula tentang bangunan besar apa yang dijaga oleh Totok Kerot pada masa itu sehingga harus diwujudkan oleh penjaga wujud yang tak lazim, yakni raksasa perempuan. Lagi-lagi, kisah serta riwayat yang sampai ke masa modern, sebagaimana cerita-cerita tentang Jayabaya dan Kerajaan Panjalu/Kediri lainnya, lebih bersifat dongeng semata.

Sisa dari kejayaan Kediri di masa Jayabaya masihlah dapat disaksikan, terutama di tempat bekas semadi Sang Prabu, berlokasi di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Tempat Sang Jayabaya menghabiskan hari tuanya tersebut sesekali masih dikunjungi para wisatawan. Sementara itu Dwarapala Totok Kerot menetap di tempat yang jauh lebih sepi, beberapa kilometer dari Desa Menang yakni di Desa Bulupasar, Pagu, Kediri. Totok Kerot di masa modern tinggal damai di pinggiran areal persawahan, beristirahat dari tugasnya menjaga bangunan penting pada masa kejayaan Kerajaan Kediri, pada waktu lampau.