Jika seseorang dari dunia timur ditanya mengenai sosok yang paling diingat
sebagai penjelajah atau pelaut ulung, jawabannya hampir pasti bukan Drake,
Magelhanz, Cabral, Da Gama, D’Elcano, Cook ataupun Columbus. Jawaban akan memunculkan
nama Zheng He, atau disebut pula sebagai Cheng Ho, pelaut tersohor dari Kekaisaran
Naga di Tiongkok.
Zheng He terlahir dengan nama Ma He, putra seorang pemuka masyarakat
Muslim di daerah Kunyang, Yunnan pada sekitar tahun 1371. Secara politik,
masyarakat Yunnan saat itu merupakan pendukung Dinasti Yuan, penguasa Tiongkok dari
tanah Mongolia. Pada periode 1381, situasi politik daratan
Cina mengalami perubahan dengan naiknya Keluarga Zhu sebagai pemegang kekuasaan
di pusat Negara. Keluarga Zhu, kemudian lebih dikenal dengan nama Dinasti Ming,
secara intensif melakukan pembersihan terhadap loyalis Yuan diseluruh Cina. Tak
terkecuali, keluarga Ma He yang tinggal di Yunnan. Saat itu, Ma He yang berusia
10 tahun-an, menyaksikan bagaimana kampung halamannya dihancurkan oleh Tentara
Ming. Hampir seluruh kerabatnya tewas dalam peristiwa tersebut. Beruntung Ma
He, karena dirinya tidak turut serta menjadi korban. Meskipun dirinya harus rela
menjadi sebagai tawanan, untuk kemudian mengabdi di Istana salah satu Pangeran
Ming di Beiping (sekarang menjadi Beijing, Ibukota RRC). Ma He menjadi sida-sida di Istana Pangeran Zhu Di, salah
satu pangeran paling berbakat dalam sejarah Keluarga Ming.
Pribadi yang ada dalam diri Ma He, yang setelah dewasa bernama Zheng
He, menarik perhatian Pangeran Zhu Di untuk menjadikan dirinya sebagai penasehat
utama. Diriwayatkan, Zhu Di ‘hanya’ terpaut sebelas tahun lebih tua dari Zheng
He, sehingga banyak ide-ide ‘nyentrik’ Zhu Di dapat diterjemahkan oleh Zheng
He. Sebagai sida-sida (Ing. eunuch)
di Istana Zhu Di, Zheng He tidak melulu mengurusi Istana Belakang, sebagaimana rekan-rekannya.
Atas rekomendasi Pangeran Zhu Di, Zheng He dapat pula mengikuti pendidikan tatanegara
serta kemiliteran.
Saat terjadi kerusuhan politik pada tahun 1399-1402, Zheng He banyak
berjasa kepada Pangeran Zhu Di lewat aksi-aksinya di medan perang. Konflik
internal antar bangsawan Ming akhirnya dapat
distabilkan oleh Pangeran Zhu Di, sehingga melambungkan posisinya menjadi penguasa
utama daratan Tiongkok, bergelar Kaisar Yung Lo (disebut pula Yong Le, yang
arti harfiahnya ‘Kebahagiaan Abadi’). Kaisar Yung Lo selanjutnya memilih Nanking
(atau sekarang bernama Nanjing) sebagai ibukota kerajaan, meneruskan tradisi leluhur
keluarga Ming dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada masa Kaisar Yung Lo, dimulailah usaha untuk membuat proyek mercusuar,
berupa misi kelautan.Tujuan utamanya sebenarnya adalah untuk melakukan patroli terhadap
Laut Cina Selatan dari para pemberontak kerajaan. Sebagai tambahan, misi kelautan
ini juga bertujuan untuk menyiarkan kebesaran Kekaisaran Ming kepada dunia luar.
Sebagai kepala proyek, dipilihlah Zheng He sekaligus sebagai desainer serta pelaksananya.Tugas
berat tersebut dimulai Zheng He pada tahun 1403 di dok kapal di Nanjing. Zheng
He secara teliti pula, merekrut perwira pilihan dari Tentara Ming, serta para intelektual
muda semacam tabib, ahli pertanian, ahli ekonomi, maupun juru tulis untuk mengiringi
misinya. Musim Panas di tahun 1405, armada Zheng He bertolak dari Soochow,
dekat Shanghai, untuk memulai perjalanannya.
Armada ini kemudian terkenal dalam sejarah kelautan sebagai ‘The
Treasury Fleet’, dengan Zheng He bertindak sebagai laksamana. Berkekuatan 317
kapal dengan sekitar 28000 kru, Zheng He menuju Indochina, Semenanjung Melayu, Kepulauan
Indonesia, Srilanka, India, Lautan Arab untuk kemudian sampai jauh di Pantai Timur
Afrika.
Ekspedisi pertama Zheng He di tahun 1405, menjadi bahan diskusi penting
dari sejarah Bangsa Indonesia, karena disinilah Zheng He menemui Majapahit yang
berada pada babak akhir Perang Paregreg. Lewat tulisan-tulisan Ma Huan, seorang
penulis dokumenter Muslim di Ekspedisi Zheng He, sejarahwan dapat merekonstruksi
situasi sosial, ekonomi dan politik di Majapahit. Zheng He secara pribadi juga menyatakan
kekagumannya terhadap kesuburan serta kekayaan tanah Nusantara saat itu. Kunjungannya
ke daerah Pegunungan Ijen misalnya, mengungkap bahwa tambang belerang telah menjadi
komoditi utama masyarakat Nusantara
sejak jaman lampau.
Ekspedisi Zheng He dalam mengarungi lautan luas terjadi hingga 7
(tujuh) kali. Dengan jumlah dan ukuran yang raksasa, misi tersebut kemudian membekas
didalam memori masyarakat lokal yang melihatnya. Kapal utama Zheng He,
diriwayatkan memiliki panjang sekitar 120 meter, lebar 50 meter dengan sembilan
tiang pancang utama. Ukuran kasarnya sekitar 4-5 kali lebih besar dari kapal
Columbus saat mendarat di Kepulauan Karibia di Amerika Tengah. Boleh jadi,
armada Kekaisaran Ming saat itu merupakan yang terbesar di dunia. Tetapi, bukan
ukuran serta jumlah pasukan yang kemudian banyak dibicarakan oleh khalayak ramai
di masa-masa selanjutnya.
Ekspedisi Laksamana Zheng He sangat mengutamakan perdamaian di setiap
tempat yang dikunjungi. Seakan menjadi pengejawantahan prinsip budaya timur yang
cinta damai, misi Zheng He jauh dari aksi arogansi, intimidasi, perampokan atau
pembantaian sebagaimana yang dilakukan oleh penjelajah macam Cortes dan Pizzaro.
Sebagaimana tujuan utama pelayaran dari Kekaisaran Ming, kunjungan-kunjungan
yang dilakukan banyak ditekankan pada pengikatan persahabatan melalui jalur budaya
dan perdagangan. Zheng He secara aktif mempromosikan imigrasi keluarga-keluarga
Tionghoa dari tanah asalnya ke daerah-daerah di ‘Laut Selatan’. Dalam
ekspedisinya, Zheng He tak lupa memperkenalkan prinsip dasar filosofi Tionghoa, teknik-teknik pertanian serta irigasi, maupun ajaran Islam Hanafiah di daerah-daerah
yang dikunjunginya.
Hingga saat ini, jasa – jasa Zheng He tetap dikenang secara mendalam,
terutama oleh masyarakat di sekitar perairan Nusantara. Di Semarang misalnya,
Zheng He dianggap sebagai penjelmaan dewa, yang patungnya disucikan setiap Perayaan
Tahun Baru Imlek dilaksanakan. Di Bukit China-Malaka, Malaysia, nama Zheng He
dihormati dan dipuja dengan cara yang hampir sama. Nama Zheng He diabadikan
pula sebagai salah satu nama Masjid Jami (digunakan sebagai tempat jamaah shalat
wajib dan Jumah) di Surabaya, yang setiap waktunya dikunjungi oleh jamaah dari berbagai
suku bangsa. Laksamana Zheng He sebenarnya telah memberi contoh, bagaimana
seharusnya sebagai bangsa timur bersikap dalam pergaulan sehari-hari.
Usaha-usaha Zheng He, jauh lebih nyaman untuk dikenang, daripada usaha banyak
penjelajah lain yang dikenal dalam sejarah dilakukan dengan kekerasan, meskipun
dengan embel-embel misi suci ketuhanan. Lewat prinsip harmoni, persahabatan dan
perdamaian, suatu usaha membangun kebersamaan akan dapat terwujud, lebih dapat diterima,
dan mudah untuk dikenang di ingatan masyarakat luas dalam waktu yang lama.