Kisah
‘Sumantri dan Sukrasana’ terdapat pada epos cerita ‘Arjunasasrabahu’, yang cerita utamanya
mengenai seorang raja yang terkenal sakti dan bijak bernama Arjunasasrabahu atau Arjuna Wijaya. Menurut
versi pewayangan Nusantara, Arjunasasrabahu merupakan titisan Dewa Wisnu
sebelum masa Ramayana dan Mahabharata. Nama Arjunasasrabahu dalam mitologi
Hindu di India, merupakan raja sakti pemuja Dewa Dattatreya, bukan penjelmaan
Sang Hyang Wisnu. Pujangga Indonesia banyak melakukan modifikasi cerita ini, termasuk
munculnya sosok Sumantri dan Sukrasana.
Versi
pewayangan bertutur tentang adanya kakak-beradik Sumantri dan Sukrasana, putra
seorang pendeta sakti, Resi Suwandagni (versi Jawa menyebutnya pula Resi
Wisanggeni) dari pertapaan Arga Sekar. Secara silsilah, Resi Suwandagni
merupakan saudara muda dari Resi Jamadagni, ayah dari Sang Rama Parasu (disebut pula
Parasurama atau Rama Bargawa), seorang pendeta sakti pula yang di versi
Hindustan merupakan titisan Hyang Wisnu. Di versi Indonesia, Sang Rama Parasu adalah pendekar
keprajuritan, dimana akhir hayatnya terjadi saat beradu sakti melawan Sri Rama
Wijaya, tokoh utama dalam kisah Ramayana.
Sumantri
dan Sukrasana diceritakan memiliki fisik dan kepribadian yang bertolak
belakang. Sumantri berperawakan gagah, tampan, simpatik dan penuh wibawa.
Banyak gadis yang terpesona olehnya. Sementara sang adinda, Sukrasana,
digambarkan berperawakan kerdil, perut tambun, agak hitam warna kulitnya, serta
berambut keriting tak beraturan. Tidak seperti Sumantri, Sukrasana hanya
memiliki rekan sepermainan yang terbatas. Baik Sumantri maupun Sukrasana,
memiliki kesaktian yang tinggi, meski jalan untuk mencapainya ditempuh secara
berbeda. Sumantri mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari ayahnya melalui olah kanuragan
yang teratur, prosedural, sebagaimana yang ditempuh para ksatria pada umumnya.
Sementara, Sukrasana mempelajari ilmu dari sang ayah Resi Suwandagni, dengan
banyak berucap syukur atas karunia yang Tuhan telah terlimpah kepadanya,
bersikap rendah hati dan nrima, bersatu dengan alam lewat semadi serta
menjaga kelestariannya. Lewat lelaku yang sedemikian, Sukrasana banyak mendapat anugrah dari para dewa. Sehingga boleh dikatakan kesaktian Sukrasana berada satu
tingkat diatas Sumantri. Meski demikian, Sumantri dan Sukrasana hidup rukun saling
mengasihi sebagai sesama saudara dari darah Sang Suwandagni.
Saat
mulai beranjak dewasa, Sumantri tumbuh menjadi ksatria yang pilih tanding, dan
selalu ingin menjadi yang terbaik diantara rekan-rekannya. Sumantri kemudian
berkeinginan untuk merubah nasib dengan menjadi ponggawa di Kotaraja. Niat itu
disampaikan kepada sang ayah, Sang Suwandagni. Dengan berat hati, Resi
Suwandagni melepasnya. Sementara Sukrasana yang berkinginan ikut merantau
bersama, dapat dikelabui saat tidur. Sedih tentunya Sukrasana mendapati bahwa
sang kakak, Sumantri, rupanya tidak berkenan mengajak dirinya merantau.
Sumantri memang dalam hati sedikit banyak masih merasa malu memiliki saudara
yang termasuk tergolong buruk rupa.
Singkat
cerita, Sumantri berhasil menjadi petinggi di Kerajaan Maespati, tempat dimana
Raja Arjunasasrabahu bertahta. Kerja keras dan rajin dari Sumantri membawanya menempati
jabatan Perdana Menteri, bergelar Patih Suwanda. Belum lagi didukung rupanya
yang menawan, Sumantri menjadi idola di negeri Maespati. Semua tugas dari Prabu
Arjunasasrabahu dapat ditunaikannya dengan baik. Hingga suatu ketika, Sumantri
diutus untuk melamar Dewi Citrawati dari Kerajaan Magada. Tugas berat ini pun
berhasil diselesaikan. Lewat bantuan Sumantri pula, Negeri Magada dapat selamat
dari ancaman prajurit Kerajaan Widarba yang berkeinginan menghancurkan negeri tersebut.
Keberhasilan
itu sempat membuat Sumantri lupa diri. Sanjungan dari para panglimanya membuat
Sumantri memberanikan diri untuk tidak pulang ke Kotaraja Maespati. Sembari
membawa Dewi Citrawati kekasih junjungannya, Sumantri mendirikan kemah di
perbatasan Maespati. Sumantri mengirim surat menantang Prabu Sasrabahu untuk
beruji kesaktian. Sumantri mulai meragukan kalau sesembahannya itu memang
memiiki kelebihan diatas dirinya.
Murka
Sang Sasrabahu mengetahui tingkah polah Sumantri yang mulai melewati batas.
Tantangan Sumantri ditanggapi oleh Prabu Sasrabahu, sehingga terjadi perkelahian hebat. Nyata kalau Sang Sasrabahu memang seorang
raja yang mumpuni. Sebagai titisan Wisnu, Sasrabahu memiliki kekuatan dan
kedigdayaan yang berlipat-lipat, jauh diatas ilmu yang dimiliki Sumantri.
Sumantri pun terpaksa mengakui kekalahannya.
Beruntung
Sumantri, karena Prabu Sasrabahu tidak menghukum kesalahannya. Hanya saja
sebagai ganti hukuman, Sumantri diperintahkan memindahkan Taman Sriwedari dari
Magada ke Maespati, memenuhi permintaan Dewi Citrawati yang sering rindu akan
kampung halamannya. Sumantri pun berada dalam keadaan bingung.
'Bagaimana
pula caranya memindahkan Taman Sriwedari yang sedemikian indah dan kesohor itu? ...
Bukankah pula Taman Sriwedari merupakan hadiah para Dewata yang dikhususkan untuk negeri Magada?'
Puluhan pertanyaan semacam itu muncul di benak Sumantri, menambah kalut suasana batinnya.Dalam kebingungan, Sumantri teringat Sukrasana, saudara yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya. Sembari mengehingkan cipta, Sumantri memanggil adiknya secara gaib. Hadirlah Sukrasana di tempat Sumantri tinggal. Setelah melepas rindu, Sumantri mengutarakan maksudnya. Sukrasana pun tersenyum.
Bukankah pula Taman Sriwedari merupakan hadiah para Dewata yang dikhususkan untuk negeri Magada?'
Puluhan pertanyaan semacam itu muncul di benak Sumantri, menambah kalut suasana batinnya.Dalam kebingungan, Sumantri teringat Sukrasana, saudara yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya. Sembari mengehingkan cipta, Sumantri memanggil adiknya secara gaib. Hadirlah Sukrasana di tempat Sumantri tinggal. Setelah melepas rindu, Sumantri mengutarakan maksudnya. Sukrasana pun tersenyum.
‘Bukan
sesuatu yang sulit, Kakang Mantri’ ujar Sukrasana.’ Bantulah aku dalam berdoa
kepada Sang Tunggal untuk mengijinkan maksud Kakang. Bagaimanapun banyak ilmu yang aku miliki, tanpa bantuan dari Yang
Kuasa, tidak akan sanggup aku melakukannya’ tutur Sukrasana melanjutkan.
Maka
hening kedua bersaudara itu dalam doa. Lewat puja mantra Sukrasana, Taman
Sriwedari dapat berpindah secara singkat, dari Magada menuju lingkungan Kraton
Maespati. Gembira seluruh isi Istana Maespati, terutama Dewi Citrawati
menyaksikan taman tempat biasa dia bermain, sekarang telah berada di depan
penglihatannya. Sumantri pun mendapat pujian dari berbagai fihak atas usahanya
itu. Sementara Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati sedang asyik
melihat-lihat isi taman, terdengar teriak dan jerit para pembantu keraton. Dikatakan
ada setan kecil telah menyusup di Taman Sriwedari. Sumantri paham dengan kejadian
yang berlangsung, itu pasti ulah Sukrasana. Segera ditemuinya Sukrasana.
‘Sukrasana,
aku mohon agar engkau menyingkir dahulu saat ini…..Sang Prabu dan Permaisuri
sedang menikmati keindahan isi Taman Sriwedari’ pinta Sumantri.
‘Kakang,
aku hanya ingin melihat-lihat saja. Aku tidak akan ganggu mereka’ jawab
Sukrasana.
’Lagipula, masih belum puas hatiku untuk melihat hasil olah batin kita tehadap Taman Sriwedari ini’ujar Sukrasana menerangkan.
’Lagipula, masih belum puas hatiku untuk melihat hasil olah batin kita tehadap Taman Sriwedari ini’ujar Sukrasana menerangkan.
‘Sukrasana…nanti
kau boleh teruskan maksudmu itu…tetapi, jangan sekarang wahai adikku..meraka
takut melihat dirimu’ timpal Sumantri.
‘Kakang
Mantri, selain ingin melihat keindahan Taman Sriwedari, aku juga ingin melihat
wajah Sang Prabu majikan Kakang, dan Dewi Citrawati yang katanya mirip putri
dari kahyangan itu’ jawab Sukrasana lagi.
Sukrasana bersikeras tidak mau menyingkir dari Taman Sriwedari sebagaimana permintaan Sumantri.
Sukrasana bersikeras tidak mau menyingkir dari Taman Sriwedari sebagaimana permintaan Sumantri.
Debat
yang berkepanjangan rupanya membuat Sumantri gusar. Diambilnya anak panah
beserta busurnya. Maksud Sumantri sebenarnya hanya agar adiknya menjadi takut
untuk kemudian menjauh. Rupanya pegangan Sumantri lepas, dan tanpa sadar pula
anak panah yang terambil merupakan anak panah Brahmastra, pusaka pemberian
Dewata kepada Resi Suwandagni yang dititipkan kepada Sumantri. Anak panah sakti
melesat dari busur Sumantri, menghujam dada Sukrasana, Sukrasana pun pralaya.
Kematian
Sukrasana ditangisi oleh Sumantri. Bagaimanapun Sukrasana adalah saudara yang
amat dikasihinya. Tapi, sesal kemudian tidak banyak berguna. Sepanjang hidup,
Sumantri dibayangi rasa berdosa yang berkepanjangan. Hingga suatu ketika
terjadi perang besar antara Maespati dan Alengkadiraja. Sumantri yang dibayangi
kesedihan akan hilangnya saudara ditangannya sendiri, tewas ditangan Rahwana,
raja Alengkadiraja.
Kisah
Sumantri dan Sukrasana mengandung banyak perlambang dan pelajaran yang
berharga. Sikap yang ditampilkan dari sisi Sumantri merupakan penggambaran dari
kebanyakan dari kita. Sebagaimana Sumantri dalam cerita ini, banyak dari kita
memiliki ketrampilan dari suatu latihan yang teratur. Entah lewat sekolah,
kursus ataupun pendidikan formal lainnya. Tanpa sadar, bahwa yang kita dapatkan
sejatinya adalah titipan Tuhan. Tak sedikit pula dari kita, memiliki ambisi
yang meluap-luap. Setelah semua kita dapatkan, kita sering pula lupa diri,
bangga dengan yang kita raih untuk kemudian menjadi tinggi hati, mirip Sumantri
yang kemudian berani menantang Arjunasasrabahu setelah kesuksesan menghampiri
dirinya. Saat kita mendapat kesulitan, kita tanpa malu merengek bantuan kepada
banyak fihak, termasuk kepada yang dulu pernah kita tinggalkan dan lupakan. Atau
bahkan kepada yang tadinya kita tidak sukai sama sekali. Setelah kesulitan terselesaikan,
kembalilah kita lupa diri, tidak mengakui sumbangsih dari pihak lain. Bahkan
pula, pihak yang telah berjasa kepada keberhasilan, kita campakkan lagi tanpa
canggung.
Dalam
kehidupan nyata, kita lebih suka melihat sosok-sosok seperti Sumantri yang
memang lebih nyaman dipandang oleh mata duniawi. Bangsa kulit putih punya peribahasa, yang sebenarnya berupa
olok-olok saja, tetapi banyak betulnya juga; ‘good looking tends to win’. Manusia
yang mampu menampilkan kelebihan, entah fisik, intelekual atau material secara
lahir, memang lebih mudah menarik simpati dari kalangan ramai.
Sifat Sukrasana di lain fihak, biasanya dimiliki orang-orang yang tidak begitu beruntung dari sisi kehidupan. Sukrasana biasanya ada pada diri orang yang hidup melarat, hidup penuh kesusahan dan kegagalan, tersingkir dari hingar bingarnya dunia. Keberadaan Sukrasana di kehidupan nyata, sering dianggap sebagai angin lalu saja. Bahkan kehadirannya kerap kali dianggap sebagai perusuh mata dan pengganggu keindahan. Banyak yang tak sadar bahwa golongan ini bisa jadi memiliki tempat yang sangat baik dimata Tuhan, dikarenakan sikap ‘qanaah’ dan syukur yang selalu mereka kembangkan. Dari ajaran suci kita mengetahui lewat doa, jerih payah dan ketabahan mereka dalam hidup, Tuhan menunda murka serta hukuman yang sebenarnya hendak ditumpahkan-Nya melihat kedurjanaan, kesombongan, ambisi yang berlebihan dari jiwa-jiwa kotor di hati kebanyakan manusia. Perilaku ikhlas dari pemilik jiwa Sukrasana, sesungguhnya telah banyak memberi andil terhadap apa yang kita raih dalam kehidupan. Sayangnya, tak banyak dari kita menyadari akan hal itu, apatah lagi untuk sempat berterimakasih, ataupun memberikan perhatian balik yang layak terhadap mereka.