Kisah 'Kikis Tunggarana'
merupakan salah satu babakan dari kisah Mahabharata versi Indonesia, bercerita
tentang konflik di Tunggarana, suatu daerah subur diantara Pringgadhani dan
Trajutrisna. Secara hukum, sebenarnya wilayah Tunggarana berada di Trajutrisna,
wilayah yang dipimpin Prabu Bomanarakasura, putra Prabu Krishna di Dwarawati.
Tetapi alasan historis dan traumatis masa lalu, membuat penguasa Tunggarana
berkeinginan untuk bergabung ke Pringgadhani, wilayah berdaulat di bawah kuasa
Prabu Gatotkaca.
Awalnya, Gatotkaca enggan
untuk meluluskan keinginan rakyat Tunggarana, tetapi atas desakan penduduk
Tunggarana, Gatotkaca memberanikan diri untuk melakukan aksi diplomatik dalam
menyelesaikan masalah perbatasan tersebut. Gatotkaca sejatinya tahu persis,
bahwa usahanya akan mendapat kesulitan besar karena berkonflik dengan
Trajutrisna berarti berhadapan juga dengan dinasti Yadawa, yang notabene
merupakan keluarga berpengaruh di kisah Mahabharata. Di dalam keluarga Yadawa
bercokol tokoh-tokoh kesohor seperti Shri Krishna, Shri Baladewa, Satyaki
ataupun nenek Gatotkaca sendiri, Dewi Kunti. Belum lagi 'seret'nya dukungan
dari keluarga Pandawa, karena ayah beliau sendiri, Sang Bimasena juga tidak
begitu menyetujui niatan Gatotkaca. Tetapi, tekad untuk memperjuangakan hak
azasi kawula di Tunggarana telah membulat di dada Gatotkaca. Lewat perjuangan
diplomatik, serta sedikit show of force
di perbatasan, Gatotkaca memenangkan Tunggarana. Kemenangan dari hasil brilian
kombinasi perjuangan fisik dan diplomatik, serta tentunya juga adanya dukungan
dari Shri Krishna yang dapat di manfaatkan dengan baik olehnya di akhir-akhir
cerita. Dalam pentas pewayangan tentunya tidak sesederhana tulisan ini,
Gatotkaca bahkan sempat terluka parah saat duel tanding dengan Bomanarakasura
yang terkenal sakti saat militer Trajutisna dan Pringgadhani terlibat bentrok.
'Kikis Tunggarana'
sejatinya hanya kisah perlambang dari sifat tertindas dari hak azasi manusia.
Tunggarana dalam kehidupan nyata bisa berarti Kashmir, Kurdi, Ambalat, Kinibalu,
korban Lapindo, TKI yang teraniaya di negeri orang, atau kehormatan nasional
yang dihinakan. Sikap yang tepat untuk menyikapinya adalah melalui perjuangan
diplomatik jauh dari kekerasan, meski sesekali diperlukan suatu gertakan yang
nyata untuk menunjukkan eksistensi perjuangan. Perjuangan secara fisik saja
akan berarti kecil jika tidak didukung strategi yang rapi. Strategi serta sikap
terlalu rendah hati saja tentunya akan sulit mendapat hasil karena fihak
oposisi hanya akan menganggap sepi permasalahan yang ada. 'If you are too benevolence, you will be easily harassed'
demikian jargon dalam dunia modern. Meski tentunya untuk implementasi konsep
tersebut tidaklah mudah, setidaknya contoh yang diberikan Gatotkaca dari kisah
tradisional dapat selalu menjadi inspirasi dalam membongkar ancaman, tantangan
di bidang hak azasi ataupun kedaulatan bangsa.