Sunday, September 5, 2010

Kikis Tunggarana

Kisah 'Kikis Tunggarana' merupakan salah satu babakan dari kisah Mahabharata versi Indonesia, bercerita tentang konflik di Tunggarana, suatu daerah subur diantara Pringgadhani dan Trajutrisna. Secara hukum, sebenarnya wilayah Tunggarana berada di Trajutrisna, wilayah yang dipimpin Prabu Bomanarakasura, putra Prabu Krishna di Dwarawati. Tetapi alasan historis dan traumatis masa lalu, membuat penguasa Tunggarana berkeinginan untuk bergabung ke Pringgadhani, wilayah berdaulat di bawah kuasa Prabu Gatotkaca.

Awalnya, Gatotkaca enggan untuk meluluskan keinginan rakyat Tunggarana, tetapi atas desakan penduduk Tunggarana, Gatotkaca memberanikan diri untuk melakukan aksi diplomatik dalam menyelesaikan masalah perbatasan tersebut. Gatotkaca sejatinya tahu persis, bahwa usahanya akan mendapat kesulitan besar karena berkonflik dengan Trajutrisna berarti berhadapan juga dengan dinasti Yadawa, yang notabene merupakan keluarga berpengaruh di kisah Mahabharata. Di dalam keluarga Yadawa bercokol tokoh-tokoh kesohor seperti Shri Krishna, Shri Baladewa, Satyaki ataupun nenek Gatotkaca sendiri, Dewi Kunti. Belum lagi 'seret'nya dukungan dari keluarga Pandawa, karena ayah beliau sendiri, Sang Bimasena juga tidak begitu menyetujui niatan Gatotkaca. Tetapi, tekad untuk memperjuangakan hak azasi kawula di Tunggarana telah membulat di dada Gatotkaca. Lewat perjuangan diplomatik, serta sedikit show of force di perbatasan, Gatotkaca memenangkan Tunggarana. Kemenangan dari hasil brilian kombinasi perjuangan fisik dan diplomatik, serta tentunya juga adanya dukungan dari Shri Krishna yang dapat di manfaatkan dengan baik olehnya di akhir-akhir cerita. Dalam pentas pewayangan tentunya tidak sesederhana tulisan ini, Gatotkaca bahkan sempat terluka parah saat duel tanding dengan Bomanarakasura yang terkenal sakti saat militer Trajutisna dan Pringgadhani terlibat bentrok.

'Kikis Tunggarana' sejatinya hanya kisah perlambang dari sifat tertindas dari hak azasi manusia. Tunggarana dalam kehidupan nyata bisa berarti Kashmir, Kurdi, Ambalat, Kinibalu, korban Lapindo, TKI yang teraniaya di negeri orang, atau kehormatan nasional yang dihinakan. Sikap yang tepat untuk menyikapinya adalah melalui perjuangan diplomatik jauh dari kekerasan, meski sesekali diperlukan suatu gertakan yang nyata untuk menunjukkan eksistensi perjuangan. Perjuangan secara fisik saja akan berarti kecil jika tidak didukung strategi yang rapi. Strategi serta sikap terlalu rendah hati saja tentunya akan sulit mendapat hasil karena fihak oposisi hanya akan menganggap sepi permasalahan yang ada. 'If you are too benevolence, you will be easily harassed' demikian jargon dalam dunia modern. Meski tentunya untuk implementasi konsep tersebut tidaklah mudah, setidaknya contoh yang diberikan Gatotkaca dari kisah tradisional dapat selalu menjadi inspirasi dalam membongkar ancaman, tantangan di bidang hak azasi ataupun kedaulatan bangsa.