‘nunut ngiyup, kula nunut ngiyup,
udan lali ra nggawa payung,
‘teng tritis kula nggih purun ,
teng ngemper kula nggih purun,
sakderenge matur nuwun’
……………………..........................
‘turut berteduh,
saya turut berteduh, hujan lupa tak membawa payung, di pinggir rumah atau di
teras saya pun mau/tidak masalah, sebelumnya atur terima kasih’
Lagu ‘Nunut Ngiyup’ yang dipopulerkan Didi Kempot, konon
merupakan cerminan bagaimana tingginya jiwa kebersamaan masyarakat di Indonesia
masa silam. Kesan itu terucap dari para sepuh di desa-desa saat mendengar lagu
yang popular di awal dekade 2000-an tersebut dilantunkan.
Tak mengherankan, banyak dari para generasi sepuh yang
matanya menerawang jauh ketika Nunut
Ngiyup berkumandang. Mungkin saja, lirik Nunut Ngiyup telah menggugah ingatan mereka untuk sejenak kembali bermanja
akan masa-masa penuh ketulusan dari suatu keindahan hidup di Indonesia tempo
dulu.