Sunday, August 15, 2010

Lelagon Nunut Ngiyup




‘nunut ngiyup, kula nunut ngiyup,
udan lali ra nggawa payung,
‘teng tritis kula nggih purun ,
teng ngemper kula nggih purun,
sakderenge matur nuwun’
……………………..........................

‘turut berteduh, saya turut berteduh, hujan lupa tak membawa payung, di pinggir rumah atau di teras saya pun mau/tidak masalah, sebelumnya atur terima kasih’ 

Lagu ‘Nunut Ngiyup’ yang dipopulerkan Didi Kempot, konon merupakan cerminan bagaimana tingginya jiwa kebersamaan masyarakat di Indonesia masa silam. Kesan itu terucap dari para sepuh di desa-desa saat mendengar lagu yang popular di awal dekade 2000-an tersebut dilantunkan.

Jaman dahulu, para pedagang, pencari kayu atau penggembala sering harus bepergian jauh dari desanya untuk mencari nafkah. Karena tidak dikenal hotel atau motel, jika waktu sudah terlalu larut, atau terjadi hujan lebat, mereka akan mencari desa terdekat untuk menghabiskan waktu malam. Seringkali mereka akan tidur menginap di masjid atau surau desa, tetapi tidak sedikit pula yang memilih berteduh di rumah penduduk, terutama pamong desa terkait. Menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia, setidaknya itu yang masih bisa ditemui di Pulau Jawa, rumah pamong atau tetua desa pada masa lalu memiliki bilik kecil di teras depan berisi lincak dan tikar, sebagai tempat berteduh para pejalan kaki sampai pagi datang. Praktik ini bisa berlangsung dikarenakan rasa kejujuran dan kebersamaan yang masih sangat tinggi saat itu, suatu hal yang sudah sangat sulit untuk bisa ditemui pada masa Indonesia modern.


Tak mengherankan, banyak dari para generasi sepuh yang matanya menerawang jauh ketika Nunut Ngiyup berkumandang. Mungkin saja, lirik Nunut Ngiyup telah menggugah ingatan mereka untuk sejenak kembali bermanja akan masa-masa penuh ketulusan dari suatu keindahan hidup di Indonesia tempo dulu.