Monday, July 10, 2023

Hitam Putih Kapitan Jonker

 

 
 
 

         
 
Di Marunda, di sekitar terminal peti kemas dekat pantai, terdapat makam jagoan tempo dulu. Tapi ini bukan Si Pitung atau Si Jampang jagoan Betawi yang konon punya darah Marunda. Ini makam Kapitan Jonker, perwira VOC yang berkarir sekitar 1659 - 1680 - an. Meski terdengar Eropa, pemilik nama Jonker bukanlah orang Eropa. Bahkan dia ini beragama Islam. Jonker seorang berdarah Nusantara, nama aslinya Ahmad Kawasa, bangsawan dari Manipa, Maluku. 
 
Saat muda, saat masih bernama Pangeran Ahmad, Jonker terlibat dalam Perang Hoamoal, atau dikenal dalam sejarah dunia sebagai The Great Ambon War 1651 - 1656. Jonker dalam perang itu menjadi salah satu anggota pasukan Maluku untuk melawan keberadaan VOC. Dalam peperangan itu, Pasukan Maluku mengalami kekalahan, sehingga Jonker beserta keluarganya menjadi tawanan. Sebagai tawanan, Jonker dkk kemudian dikirim ke Batavia menjadi budak VOC. Tetapi entah bagaimana ceritanya, Jonker malah mendapat kesempatan untuk menjadi serdadu VOC setiba di Batavia. Kemungkinan, opsir - opsir VOC telah mengendus bakat hebat ketentaraanya. 
 
Insting para petinggi VOC kelihatanya menemui kebenaran. Jonker menjadi prajurit pilih tanding setelah berseragam VOC. Dengan skuad Maluku yang dipimpinnya, Jonker tampil gemilang di setiap penugasan misi militer VOC. Karena itu, dia dapat gelar Jonker, artinya raja muda. 'Joncker Jouwa van Manipa', artinya lebih kurang dalam bahasa kita 'raja muda dari pulau Manipa'. Satu gelar ini menjadi pengakuan dan sanjungan atas prestasi mengkilap Kapitan Jonker. 
 
Selama berkarir militer bersama VOC, Jonker terlibat banyak misi penting. Beberapa misalnya Ekspedisi VOC di Srilangka serta India 1657 - 1658, Perang Minangkabau 1666, Perang Makasar melawan Sultan Hasanuddin 1666 - 1667, maupun Perang Trunojoyo di 1680 - an. Hampir semua misi itu dapat diselesaikan Jonker dengan gemilang. Aliansi Jonker dengan pejabat VOC: Cornelis Speelman (kelak Speelman sempat menjabat Gubernur Jenderal di Batavia), serta Arung Palakka seorang Pangeran Bugis, menjadi salah satu inti kekuatan VOC dalam gerak bisnis dan politik perusahaan. Secara khusus, Trio Speelman - Jonker - Palakka, menjadi resep manjur VOC dalam memberangus kekuatan - kekuatan lokal penentang dan musuh kekuatan asing di Perairan Nusantara. Karena kontribusi karirnya terhadap VOC, Jonker sempat mendapat hadiah berupa wilayah kekuasaan khusus dari pimpinan VOC. Daerahnya ada di Marunda, namanya Pejongkeran, salah satu areal di Jakarta Utara sekarang.
 
Tapi itulah, di dunia fana tidak ada yang abadi. Saat Speelman lengser dari jabatan Gubernur Batavia, kemudian Palakka sudah mapan dengan posisinya di Bone, maka tinggallah Jonker sendirian di Batavia. Lawan - lawan politik Speelman, utamanya Isaac de Martin mulai banyak mengusik ulang rekor karir Speelman yang terkenal korup itu. Jonker jadi kena getahnya. Posisi Jonker sering mendapat tekanan dari para mantan lawan politik Speelman. Menurut rumor, Jonker sempat berusaha menggalang komunikasi dengan penguasa lokal, macam di Banten dan Mataram untuk mempertahankan diri. Tetapi nampaknya tidak terlalu memperoleh hasil.
 
Yang pasti perseteruan Jonker dan para Petinggi VOC menjadikan suasana di Batavia memanas. Bermacam kerusuhan timbul karenanya. Dalam satu kekacauan pada 23 Agustus 1688, pecah baku tembak mematikan. Jonker tertembak dalam kerusuhan itu, kemudian badannya ditebas pedang opsir VOC bernama Letnan Holcher. Jasad Jonker 'dikeler', untuk kemudian dipamerkan di tengah Kota Batavia selama 3 hari, sebelum kemudian dimakamkan di Marunda, bekas wilayah kekuasaannya. 
 
Kisah Jonker, atau Pangeran Ahmad, atau ada juga yang menyebutnya Pangeran Jafar Maluku ini memang hitam - putih. Buat kita kebanyakan di Indonesia, agak sulit menghakimi posisi Jonker. Jonker dapat disebut sebagai penghianat dalam riwayat Indonesia,  karena selama karir, Jonker sering berada di kubu 'lawan' untuk menekan para pahlawan tradisional jagoan kita. Tetapi Jonker dapat disebut juga pahlawan, terutama oleh keluarga dan kaumnya. Keputusan Jonker untuk bergabung dengan VOC membebaskan kemungkinan kehidupan kelam sebagai budak tawanan perang bagi orang - orang Maluku saat itu. Lagipula, kalau didasarkan pada nilai nasionalisme, Jonker tentunya masih belum mengenal konsep tersebut di masanya. Ini karena konsep nasionalisme Indonesia baru timbul pada awal - awal tahun 1900 -an, ratusan tahun setelah Jonker terbunuh. Hingga hari ini,nama Kapitan Jonker masih sangat dihormati oleh sebagian komunitas Maluku di Jakarta. 
 
Kontroversi tentang Kapitan Jonker memang masih menarik dibicarakan. Hingga hari ini, penghianat ataukah pahlawan buat Jonker, sangat bergantung subjektifitas sudut pandang pengamatan semata. Tetapi, barangkali saja, Jonker, sebagai seorang manusia biasa, hanyalah berusaha untuk pragmatis dalam merespon perubahan hidupnya. Bertahan dari tekanan, untuk kemudian mendapatkan kehidupan yang layak bagi diri, keluarga maupun sukunya, adalah pemikiran lumrah bagi setiap manusia. Jonker sebagaimana kebanyakan manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mungkin hanya dapat  menjalani garis suratan, tetapan baku dari Allah Ta'ala, Tuhan Sang Serba Maha.
Wallahu alam. 
 
Foto Ilustrasi: Makam Kapitan Jonker, Marunda, Cilincing, Jakarta (Foto: Gam)

Tuesday, December 20, 2022

Dari Final Piala Dunia 2022

 

 


Final Piala Dunia 2022 akhir pekan kemarin (18/12/2022) barangkali bisa dikatakan final sepakbola terbaik yang pernah ada. Bagaimana Perancis dan Argentina saling berkejaran bikin gol, benar – benar bikin copot jantung para pendukung kedua tim finalis. Kebetulan, di final keduanya tampil prima. Bahkan boleh dikata, itu penampilan terbaik kedua tim di sepanjang turnamen. Kalau misalnya diperkenankan, baik Argentina maupun Perancis sebenarnya pantas berbagi gelar, dengan misalnya Argentina memegang gelar selama 2 tahun pertama, karena mereka bikin gol lebih dulu di partai puncak, kemudian Perancis menyimpan gelar 2 tahun berikutnya.

Tapi toh, yang Namanya final harus memunculkan satu nama pemenang, dan kali ini yang menang Argentina. Keberhasilan Lionel Messi dan rekan tidak hanya menuntaskan impian Messi, sang bintang untuk jadi juara di level senior, tetapi juga mengulang sukses Daniel Passarella dkk di 1978, serta Diego Maradona dan rekan di 1986.

Kesuksesan Argentina merebut gelar di 2022 sebenarnya, bukanlah sesuatu yang tiba – tiba. Argentina melakukan banyak pembenahan di timnas senior, utamanya sejak usai Copa America 2019. Sekitar 2 – 3 tahun setelahnya, Argentina muncul lagi menjadi tim yang sangat solid. Tahun 2021 mereka merebut Copa America, kemudian Finalissima 2022 dan teranyar Turnamen Dunia 2022 ini.

Sementara bagi Perancis, capaian ‘runner- up’ di turnamen kali ini tidak perlu membuat mereka berkecil hati. Tampilan heroik Kylian Mbappe di final sangat mengesankan, juga penampilan pemain – pemain muda hasil binaan sepakbola nasional mereka menyiratkan akan potensi besar tim ini di masa mendatang.

Sementara itu buat kita di Indonesia, tentunya banyak pelajaran diambil dari pertandingan – pertandingan dari putaran final kali ini. Penampilan apik tim – tim yang sebelumnya dianggap pelengkap macam Jepang, Maroko ataupun Korea Selatan, termasuk performa super tim finalis di partai puncak, menjadi bukti bahwa suatu prestasi tidak dapat diraih secara instan. Butuh kerja serius dan konsisten dari semua pihak terkait, baik di dalam, maupun yang berada di luar lapangan.

Selamat sekali lagi buat Argentina, Juara Dunia Piala Dunia 2022.

Vamos.  

 

Wednesday, August 19, 2020

17 Agustus di Pegangsaan Timur, 75 Tahun Lalu

 

(Foto: 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56. Sumber: Arsip Nasional)

 

Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, rumah Bung Karno dan keluarga, hari itu, Jumat, 17 Agustus 1945, atau 9 Ramadhan 1364 H, suasananya agak berbeda. Ada mikrofon sebagai pengeras suara sedang dipersiapkan Mr Wilopo. Sementara di teras dan halaman rumah, banyak tokoh penting hadir, beserta puluhan pemuda - pemudi. Wakil Walikota Jakarta Suwiryo. dr Muwardi, ketua Barisan Pelopor juga tampak disana. Tidak ketinggalan Mr Abdul Gaffar Pringgodigdo, Tabrani, dan SK Trimurti. Sementara, tiang bendera dari bambu yang dipersiapkan pemuda Suhud Sastro Kusumo dari Barisan Pelopor, sudah dipasang di depan teras rumah.

Pukul 9.50 pagi para hadirin mulai gelisah. Tampak dari kejauhan seorang opsir Jepang berada di luar pagar, menimbulkan rasa khawatir buat yang hadir. Seketika Sukardjo Wiryopranoto, mantan anggota Volksraad, Dewan Rakyat di Jaman Hindia Belanda, datang menyongsong. Diajaknya Si Opsir Jepang untuk omong – omong. Tidak diketahui apa isi pembicaraannya, barangkali sekadar akal - akalan Pak Sukardjo untuk memecah perhatian Si Opsir. Melihat perkembangan sedemikian, Sudiro meminta dr Muwardi untuk mendesak Bung Karno, agar Proklamasi segera dibacakan. Tetapi Bung Karno menolak, karena Bung Hatta belum datang.

“ Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Muwardi tidak mau tunggu, silahkan baca Proklamasi sendiri ”

Semua hadirin pun hanya bisa diam, tidak ada yang berani bersuara. Bung Karno kalau sudah punya keputusan, sulit untuk berubah.

Tetapi semua pun paham, termasuk Bung Karno, kebiasan tepat waktu Bung Hatta. Bung Hatta tidak pernah 'ngaret' apalagi meleset bikin janji. Di hari bersejarah itu, lagi – lagi Bung Hatta kembali menunjukkan konsistensi kedisiplinannya. Tepat pukul 09.55, Bung Hatta tiba di Pegangsaan Timur 56. Memakai setelan jas putih–putih, Bung Hatta segera menemui Bung Karno, untuk kemudian segera mempersiapkan diri. Selaras dengan warna baju Bung Hatta, Bung Karno memakai pakaian jas dan celana serba putih. Dua serangkai pemimpin pergerakan kemerdekaan itu pun muncul di teras rumah. Hadirin menunggu dengan khidmat dan sigap, mematuhi aba-aba Latief Hendraningrat, Perwira PETA.

Tepat pukul 10.00. Bung Karno menuju podium, dengan mantap berpidato:

“ Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.
Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkanlah Proklamasi kami:

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta , 17 Agustus 1945.
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno - Hatta.

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu”

Usai pembacaan naskah proklamasi, upacara bendera singkat dilakukan. Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo menjadi pengerek Bendera Dwi Warna. Sang Merah Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, kemudian berkibar diiringi Lagu Indonesia Raya. Sang Saka berkelebat gagah, membuat terkesima siapapun. Hadirin menangis haru, bersalaman, berpelukan, ada pula yang kemudian berteriak lantang: merdeka...! merdeka...!...bersahut-sahutan.

Resmi sudah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Usai pula penderitaan ratusan tahun bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah. Terbuka kesempatan untuk menjadi peradaban maju, lepas dari kemerosotan fisik, serta terutama jebloknya mental dari Masa Kolonial. Semuanya memang masih belum selesai begitu saja. Proklamasi 1945 adalah awal untuk menjawab berbagai tantangan, hambatan, rintangan dan ancaman bagi cita – cita suatu negeri merdeka. Pekerjaan maharaksasa masih harus dilaksanakan, mewujudkan semua keinginan itu. Sebuah tugas amat berat, tetapi tidak akan terbersit kata mundur, apapun alasannya, bagaimanapun kondisinya.
Sekali layar terkembang, pantang surut mundur ke belakang. Dengan semangat dan tekad membulat, bekerja rapi dalam rasa persatuan, semua pasti bisa ditunaikan.
Insya Allah, Indonesia merdeka selama – lamanya.

75 Tahun Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2020

Sunday, March 26, 2017

Patriotisme Berkibarlah Benderaku




Tanggal 21 Juli 1947 Jakarta berada dalam genting. Kasak – kusuk rencana Van Mook, Pimpinan NICA untuk membatalkan Perjanjian Linggajati 1946 lewat aksi militer sudah didengar banyak pihak, termasuk kalangan wartawan RRI. Malam itu Muhammad Jusuf Ronodipuro berangkat menuju kantor RRI Pusat Jakarta untuk memeriksa kegiatan siaran rutin. Benak Pak Ronodipuro sudah menduga akan terjadi apa – apa di Jakarta. Terlihat olehnya beberapa wartawan asing mangkal mencari  perkembangan berita di RRI; Stanly Swinton (AP), Arnold Bracman (UP) dan Frik Werner (AFP). Ketegangan makin terasa saat penyiar acara “Tanah Air Memanggil”, Piet De Quelje menutup siarannya dengan ucapan:
“Mudah- mudahan sampai berjumpa lagi. Sekali merdeka, tetap merdeka”.

Tidak lama berselang, NICA menyerbu Jakarta. Instansi – instansi penting diserbu, tidak ketinggalan fasilitas radio milik RRI. Tepat pukul 22. 30 WIB, Pasukan NICA merangsek masuk Kantor RRI, menawan seluruh penyiar, teknisi dan pegawai lainnya. Dibawah tekanan, Pak Ronodipuro sebagai Pimpinan RRI dipaksa untuk untuk menurunkan Sang Dwiwarna sebagai tanda penyerahan RRI kepada NICA/Belanda. Tetapi semua itu tidak digubris oleh Pak Ronodipuro maupun rekan. Opsir – opsir NICA menjadi berang, hingga mengancam Pak Ronodipuro dengan moncong senjata api. Pak Ronodipuro membalas dengan tidak kalah garang pula, sembari membentak para Perwira NICA.Lantang bentakan Pak Yusuf Ronodipuro menjadi kenangan sepanjang jaman:

“Kalau memang bendera harus turun, maka dia akan turun bersama bangkai saya!”

Pak Ronodipuro dan seluruh kru yang bertugas malam itu pun akhirnya ditangkap Belanda. RRI Jakarta ditutup paksa dan dikuasai NICA, berganti nama dengan Radio Resmi Indonesia (RRI). Siaran radio RRI- NICA sudah barang tentu akhirnya banyak berpihak kepada pihak agresor. Untungnya sebelum serbuan NICA malam itu, Pihak RRI sudah menyiapkan strategi sehingga Kantor RRI di luar Jakarta macam RRI Yogyakarta, RRI Bukittinggi, RRI Padang dan RRI Riau dapat melanjutkan tugas RRI Pusat.

Kegigihan Pak Ronodipuro dan rekan dalam mempertahankan RRI menyebar dikalangan ramai. Cerita itu juga didengar oleh Ibu Saridjah Niung Soedibyo, atau dikenal juga sebagai Ibu Soed, seniman dari Tanah Parahiangan. Sebagai seorang pekerja seni dan pegawai radio di masa pergerakan, kisah Pak Ronodipuro menyentuh pikir cipta beliau. Ibu Soed memang bukan tokoh kemarin sore dalam perjuangan kemerdekaan. Beliau menyaksikan Sumpah Pemuda 1928, Krisis Malaise, hingga bising dentum mesiu di Perang Asia Timur Raya. Ibu Soed juga mengalami sendiri saat-saat kritis masa pergerakan ketika para tokoh nasional ditangkapi, dipenjarakan dan dibuang ke luar Jawa oleh Pemerintah Kolonial. Pengalaman hidup di masa pergerakan, diperkuat kisah patriotisme Pak Ronodipuro dkk diabadikan oleh Ibu Soed, dalam irama penuh semangat “Berkibarlah Benderaku”. Lirik Berkibarlah Benderaku menjadi tekad menyala Ibu Soed dan generasi di masa beliau untuk tegaknya Sang Dwiwarna. Sang Saka memang lebih dari sekadar simbol warna kenegaraan. Pusaka Merah Putih adalah gambaran keutuhan tekad dari seluruh anak bangsa untuk perjuangan tanpa batas menuju kejayaan abadi Negara Kesatuan 1945.   

“Berkibarlah benderaku,
 lambang Suci gagah perwira,
di seluruh Pantai Indonesia,
kau tetap pujaan bangsa”         

(*foto dari Tribun Jateng 17 Agustus 2013)

Wednesday, July 27, 2016

Islamic Civilization Heritage: Mathematics



When Europe was entrapped in the darkness of the Middle Ages, other cultures were instead shining in the light of civilization. The medieval Islam in particular was glowing for its numerous achievements in science and technology. One of the subjects the modern world is much indebted is mathematics as the backbone of technological development. 

The relic of the Muslims contributions can be embedded to the very fundamental of mathematics which is the numbering or numeral system. Prior the Middle Ages, numeral systems were mostly developed from letters or alphabetical symbols. Evidence can be seen in the Chinese, or the Roman systems. The other famous system is the Babylonian sexagesimals -numerals based on ‘sixtieth’ as a central- which has been prevalently used in astrology and astronomy (see Figure 1). Along with cultural progress, those systems prove to be impractical in performing advanced mathematical operations. Imagine how complicated the work is, in the Roman systems, when we want to multiply DXXX (530) with XXXIX (39). Even though there is an existing method to do, the use of Roman system in mathematical manipulations is far from being fun. Using a method taught in nowadays schools, most will find it simple to give 20670 as the solution. 


  Figure 1. The sexagesimal presented in Arabic letters. Note the first four letters (reading from right to left); ‘alif’, ba’, ‘jim’ and ‘dal’ construct the word abjad, a term for a less known numeral system which still applies in some Arabic cultures (taken from: Islamic Science and Engineering, by Donald Hill)

The simplification of the numeral system was initiated by Muslim scholars in the 8-9th century AD during the Abbasid Baghdad period. Having adopted a system from Brahmi culture, Muslim mathematicians, notably Al –Khawarizmi1 and Al – Kindi2, introduced a much simpler system of decimal or numerals based on ten symbols. The Muslims also refined the system with the promotion of ‘zero’ symbol which enables us to distinguish easily between, for instance 5, 50 and 500. The Hindu - Arabic decimal system, later known as the Arabic system however, did not flourish quickly since it was considered strange, even among Muslims at that time because of their more accustomed to the Babylonian sexagesimal. In Europe the system was unrecognized not only due to sentimental prejudice, but also because the Roman system was sufficient to carry out simple calculations in the European daily life. It had taken several years since its introduction by Al – Khawarizmi before Arabic system came into practical applications. In Europe the system was popularized by Leonardo Pisano or Leonardo Fibonacci in the 1200s, after returning home from his learning journey in the Islamic lands. Since 1400s, the Arabic numeral system (see Fig. 2 for evolution description of the system) has become a common choice to represent scientific ideas and theories.



 Figure 2. Illustration of the Hindu – Arabic numeral systems evolution (diagram is adapted from “Pathfinder: The Golden Age of the Arabic Science” by Jim Al – Khalili of the University of Surrey, UK).

Together with the progress of the subject, particularly in arithmetic and algebra due to the swift and simple Arabic numerals, the medieval Muslims contributed further with development of another mathematical branch: trigonometry. The idea of trigonometry was certainly not new as some principles could be traced back to the ancient Greek and Hindu cultures. However, it was the medieval Muslims who complemented it with the invention of trigonometrical function of tangent, cotangent, secant and cosec. Further, the Muslims employed them extensively in various scientific fields.

As an example of integrated application of mathematics, we may pay a visit to a remarkable work of the legendary Muslim scholar Muhammad Al – Biruni3 on the estimation of the earth circumference. The study on the global circle was motivated by an interest to determine the vast empire the Muslims had to administrate, thus enabled them to understand the portion of their realms in the global map. More importantly, the data was essential to determine the qibla, a fixed place Muslims should face in the daily prayers. Before Al – Biruni, a Greek scientist Erastothenes of Cyrene, proposed a method on the subject by measuring the distance between two places which produced few degree of difference on an object’s sun shadow. Once the distance and the angle differences could be determined, full circle circumference could be calculated from the proportional ratio of angle and distance (Figure 3).
 



Figure 3. Simplified illustration of the Erasthotenes method to determine the earth circumference. Syene or Aswan was selected as starting point of observation for its location around the Tropic of Cancer, thus at midday during the summer solstice the sun is relatively vertical /overhead to the town.

The principal idea of Erastothenes was simple but in practical it was too difficult to apply. To produce 1o difference on sun – ray shadow for instance, an experimenter would need to relocate a distance of hundreds of kilometers from his/her original position. The accurate distance measurement between both points had been problematic as there was no reliable method to calculate such a long range. Scientists then carried out an approach by counting a number of a person’s pace between two observation stations as a method for distance measurement. This practice certainly has large margin of errors due to several uncertainties, such as experimenter physical conditions, weather, and other external factors. No wonder, Erastothenes method produced different results from one experimenter to another. (Erasthothenes suggestion of observation between two places of Alexandria and Syene (now Aswan) in Egypt obtained 7.5o of difference, turns out to be approximately 800 - 900 km of distance in modern calculation).



Figure 4. The Al – Biruni’s method of the earth circumference measurement:
(I) determination of the height of the mountain from two points of 1 and 2
(II) determination of the earth radius from an angle of observation of ϕ (observer at A position)

Al – Biruni proposal was much simpler in idea as well as implementation. Using a large astrolabe, Al – Biruni picked two places with known distance, approximately 100 m, at the same sea level and measured angle of elevation of both to the top of a mountain. This step provided Al – Biruni the height of the mountain which he used to finalize his calculation. Climbing up to the mountain, he measured the angle of the sight from the mountain top, dipping far down to the horizon. Those four parameters, three angles of observation and one height of the mountain, were obtained and then correlated with trigonometry and simple algebra to determine the radius of the earth. The data of radius eventually enabled Al – Biruni to calculate the earth circumference (See Figure 4). The work of Al – Biruni in the 10th century was phenomenal as his estimation found to be 40233 km (25000 miles) for the earth circumference, less than 1% difference from modern calculation at 40075 km (24902 miles).  

There are still numerous studies in which mathematics was employed as references of the Islamic civilization accomplishments. Those may be found in the excellent works of: Ibn Haytham4 on optics and astronomy, Al Tusi5 and Ibn Shattr6 on celestial movements (by the way, Tusi and Shattr mathematical models were very influential on the development of the 16th Century AD Copernicus heliocentric theory), Jabr Ibn Hayyan7 and Al Razi8 on chemical processes (metallurgy, distillation, calcination, crystallization, extraction), Ibn Sina9 on astronomy and musical mathematics, Al Jazari10 and Banu Musa11 on automatic devices, Ibn Mu’adh12 in estimating the height of the earth atmosphere and Al-Battani13 in determining number of days of a solar year. All become factual examples of the civilization milestones from the Islamic world which at one time was very productive in science and technology, not only for the sake of curiosity but also in the effort to embrace the grandeur of the nature.


 Notes:
1) Muhammad Al – Khawarizmi (c.a 750 – c.a 850), was born and brought up as a Zoroastrian. There is no clear record actually, whether he converted to Islam. However, in his most famous book of Al Kitabul Muhtashar fii Hisab Al Jabru wal Muqabbala (The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing) -the first book on mathematical operation of Algebra- Al–Khawarizmi, known also as Algoritmus in the West, began his writing with Bismillahirrahmanirrahiim, or ‘In the Name of The Almighty God, the Most Gracious and the Most Merciful’, a line commonly written by muslim authors. Al – Khawarizmi’s step by step instruction to solve mathematical equations is immortalized in a term called algorithm.

2) Yusuf Ibn Ishaq Al Kindi c. 801 – 873 AD was an Arabic philosopher, born in Kufa, currently a small suburb of Najaf in modern Iraq. Al – Kindi is known as one of great philosophers the World has ever witnessed. Al – Kindi was a polymath, writing at least 200 books on various subjects; philosophy, mathematics, astronomy, medical science, pharmaceutical, psychology, chemistry and zoology. Al - Kindi was also remembered as an exquisite musician. 

3) Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad Al – Biruni, 973 – 1048 was a Persian polymath mastering mathematics, astronomy, geography, linguistics and philosophy. He is well known as the Father of Geodesy. Al – Biruni was also an avid historian, famous for his book Tarikh Al Hind or the History of the Hindu Land (India).

4) Abu Ali Al Hasan Ibn Hasan Ibn Al – Haytham, born in Basra c.a. 965, was a polymath, a master of mathematics, astronomy, physics, philosophy and optics. Ibn Haytham, sometimes also written in other Romanized Arabic spelling as Ibn Haytsam, is known as Alhazen in the West. He has been famous for his book Al Kitabul Manazhir or the Book of Optics/Visions, and Al – Shukuk ala Batlamyus or The Doubt on Ptolemy’s (theory of celestial movement).

5) Nashiruddin Al – Tusi, or Muhammad Ibn Hassan Al –Tusi, 1201- 1274, was a Persian polymath with expertise in mathematics, astronomy, physics, theology and chemistry. Al – Tusi is well known for his theory of Al–Tusi couple, a significant correction to the hypothesis of Ptolemy on planetary motion.

6) Ala Al-Din Abu'l-Hasan Ali Ibn Ibrahim Ibn al-Shatir (1304 – 1375), was an Arabic mathematician and engineer. Ibn Shattir was a pray – time keeper in the Grand Mosque of Umayyad in Damascus, famous for his versatile sundial to determine prayer-time in the medieval Islam. Ibn Shattir also reformed Ptolemy’s theory on celestial motion. The mathematical model proposed by Al-Tusi and Ibn Shattir has been closely similar to that of Copernicus in 1543.  

7) Jabir Ibn Hayyan, c.a. 721 – 815, was a polymath living in the time of Caliph Harun Al – Rashid of the Abbasid Baghdad. Jabir was among the pioneers to revolutionize alchemy into chemistry through experimental approach. Jabir is remembered as a productive scholar, writing at least 100 books on various topics. At least, another 3000 books and manuscripts were written bearing the name of Jabir (latinized as Geber) as attribution to Jabir’s authoritative knowledge from scholars who came after him.

8) Muhammad Ibn Zakariyya Al – Razi, 854 – 925 AD, was another outstanding Muslim polymath in the time of the Abbasids. He was well known for his expertise in medicine, chemistry, mathematics and philosophy. Al – Razi continued the approach Ibn Hayyan had done several decades earlier, in promoting quantification and experiments to chemistry and chemical processing. Al – Razi was also a renowned medical doctor, a pioneer in the establishment of hospital.  


9) Abū ʿAlī al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allāh ibn Al-Hasan ibn Ali ibn Sina, 980 -1037, was an Uzbek born scholar. Ibn Sina was a genius, authoring approximately 450 books on wide range of subjects notably medicine, mathematics, chemistry, philosophy and arts. His multi-disciplinary expertise is often overshadowed by his famous book  Al-Qanun Fil Tibb or The Canon of Medicine, the primary reference for medical practices in the Middle – East and Europe until around 1700s.  

10) Ismail Ibn Razzaz Al-Jazari, 1136–1206, was a Muslim engineer, mathematician, and artist.  Al – Jazari, commonly attributed as the Father of Robotics, is well-known for his automation concept in water - pump and water - clock. His gigantic elephant water – clock has been remembered as one engineering wonder, up to this day.

11) Banu Musa, c.a. 803 – 875 or the Moses Brothers: Muhammad Ibn Musa, Ahmad Ibn Musa and Hasan Ibn Musa, were prominent engineers in the time of the Caliph Abdullah Al Ma’mun Ibn Harun Al Rashid of the Abbasid dynasty. Banu Musa were among scholars trusted by Al – Ma’mun to develop automatic devices; such as pump, fountains and reading lamp. Banu Musa also wrote dozens books on astronomy.

12) Muhammad Ibn Mu’adh Al–Jayyani, 989 – 1079, was a Qadi, or Islamic Law judge in the time of Andalusian Islam in Spain. Ibn Mu’adh was a prominent scientist in the field of mathematics particularly in spherical trigonometry. 

13) Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan Al-Battani, 858 – 929, was born in Harran, southern part of modern day Turkey. Al – Battani was an expert in astronomy and mathematics, well – known for his expansion of trigonometry function of sines and tangent. Al–Battani was the first person to revise Ptolemy theory on solar apogee. The work of Al-Battani was influential to medieval European scientists such as Copernicus, Brahe and Galileo.